Renungan Harian
Selasa 22 Februari 2022
Bacaan I: 1Ptr. 5: 1-4
Injil: Mat. 16: 13-19
DI saat saya sudah lelap tertidur, saya dikejutkan oleh bunyi HP. Awalnya, saya abaikan dan berusaha tidur lagi, tetapi HP itu terus berbunyi. Saya meraihHP dan melihat jam.
Jam di dinding kamar menunjuk pukul tiga dini hari. Saya mengangkat HP dan memulai menyapa yang menelepon.
Di seberang telepon seorang bapak memberitahukan bahwa anggota keluarganya meninggal dan bapak itu mengatakan bahwa ketua lingkungan tidak mau mengurusi.
Saya agak kaget dengan pernyataan bapak itu dan bertanya apakah sudah menghubungi ketua lingkungan. Bapak itu mengatakan bahwa sudah menelepon berkali-kali dan tidak diangkat, sehingga bapak itu menyimpulkan bahwa ketua lingkungan tidak mau mengurusi warganya.
Setelah menutup telepon saya terdiam, sembari agak jengkel. Saya jengkel bukan karena dibangunkan dini hari, tetapi jengkel dengan bapak yang marah dan membuat kesimpulan bahwa ketua lingkungan tidak mau mengurus warganya.
Saat bapak menelepon saya pukul tiga dini hari, berarti menelepon ketua lingkungan lebih awal lagi.
Dalam hati saya bergumam: “Bapak… ini kan masih subuh, ketua lingkungan juga butuh tidur tidak mungkin 24 jam stand by untuk warganya. Kasihan ketua lingkungan kalau diperlakukan seperti itu.”
Peristiwa itu membuat saya melihat diri saya sebagai imam yang sering disebut sebagai gembala.
Seandainya bapak itu marah, karena imamnya ditelepon tidak mengangkat maka saya bisa mengerti dan menerima bahwa bapak itu marah dan jengkel. Karena para imam yang seharusnya siap untuk melayani jam berapa pun.
Saat saya sedang berpikir tentang hal itu, ingatan saya membawa pada banyak kritik dari umat yang seringkali merasa sulit untuk bertemu dengan imamnya, sulit untuk mendapatkan pelayanannya.
Banyak umat mengeluh bahwa imam sekarang tidak seperti imam pada zaman dulu yang rajin mengunjungi umatnya; imam yang selalu berdiri di depan gereja menyapa umat yang mau ikut misa dan pulang misa; imam yang mudah untuk dijumpai; imam yang selalu mudah untuk membantu.
Saya ingat dalam berbagai kesempatan, umat mengatakan bahwa setiap imam itu “sratenane dhewe-dhewe” (cara mendekatinya berbeda-beda), maka umat harus tahu dan harus menyesuaikan dengan para imamnya.
Artinya umat harus lebih memahami imamnya dan menyesuaikan diri dengan imamnya. Kalau imamnya berganti, maka umat harus siap untuk mengganti cara pendekatan dan harus menyesuaikan diri lagi.
Aduh, kalau begitu bukankah terbalik?
Seharusnya imamnya yang mengerti, dan menyesuaikan diri dengan umatnya. Seharusnya imam yang “ngemong” umatnya bukan umat yang “ngemong” imamnya.
Artinya kalau seperti ini domba menggembalakan gembala, bukan gembala menggembalakan domba.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Surat St. Petrus yang pertama menjadi bahan refleksi yang mendalam bagi saya kalau sungguh mau disebut gembala dan menghayati perutusan dengan baik dan benar.
“Gembalakan kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mencari keuntungan tetapi dengan pengabdian diri.”
Ada teman dari suatu Paroki juga kadang ada gembala yang perlu digembalakan. Kadang katanya muncul jawab bapak sdh katolik berapa tahun