Gembala yang “Prengus” Berbau Domba.

0
451 views
Romo Alexander Joko Purwanto Pr berjibaku naik sepeda motor melawati jalan berkubang penuh lumpur di sebuah wilayah Keuskupan Ketapang, Kalbar. (Arsip Romo Joko Purwanto Pr)

Puncta 03.11.22
Kamis Biasa XXXI
Lukas 15:1-10

SUATU kali, Paus Fransiskus mengadakan perjalanan pastoral ke Brasil.

Paus bertanya kepada para uskup Amerika Latin, “Manakah yang lebih menyita waktu anda sebagai pimpinan Gereja, kesibukan dalam perkara-perkara administratif gerejani atau pelayanan pastoral keluar?”

“Kalau para pimpinan Gereja lebih sibuk dengan urusan administrasi, maka bisa jadi wajah Gereja yang dihadirkan lebih berupa Gereja yang sibuk melayani dirinya sendiri,” lanjutnya.

Paus juga memberikan pesan kepada para kardinal: “Kardinal bukanlah pangeran Gereja, tapi pelayan Gereja dan umat Allah”.

Agar Gereja sungguh dirasakan hadir di tengah hiruk pikuknya dunia, maka para gembala hendaknya sering “blusukan” ke tengah-tengah domba-domba.

Dalam seruan Apostolik tentang Sukacita Injil (Evangelii Gadium) dikatakan bahwa seorang pewarta janganlah terlihat seperti orang yang pulang dari pemakaman. Murung dan sedih.

Gembala seharusnya berbau domba. Ia harus hadir di tengah-tengah dombanya. Paus menggambarkan Gereja itu seperti rumah sakit di medan perang.

Gereja bukan untuk yang sempurna, tapi bagi siapa saja yang ingin mencari Tuhan. Gereja hendaknya dipersembahkan bagi orang miskin, terluka, lemah, dan tersingkir,” demikian Paus menegaskan.

Dalam Injil hari ini, Yesus menjawab sungut-sungut kaum Farisi, karena Yesus sering duduk makan bersama pemungut cukai dan orang-orang berdosa.

Ia mengisahkan seorang gembala yang punya seratus ekor domba. Tetapi ada seekor domba yang tersesat. Gembala itu tidak diam saja. Ia meninggalkan yang sembilanpuluh sembilan dan pergi mencari satu domba yang sesat itu.

Sang Gembala mencari domba sampai ketemu. Ketika ditemukan domba itu dipanggulnya dengan sukacita dan ia mengundang semua orang untuk berpesta.

Ia sangat bersukacita karena menemukan domba yang tersesat.

Begitulah seharusnya seorang gembala. Ia tidak hanya duduk di kantor menunggu orang datang atau “nunggu rantangan dikirim.”

Tetapi terjun langsung blusukan ke tengah-tengah umat mencari domba-domba yang tersesat.

Dalam kunjungannya ke kamp pengungsi Lampedusa, Paus Fransiskus mengingatkan bahaya “globalisasi ketidakpedulian”.

Budaya kemewahan dan mengejar kemakmuran menjadikan orang cenderung hanya memikirkan dirinya sendiri.

Akibatnya, orang tidak peduli dengan jeritan penderitaan orang lain.

Banyak pastor dimanja oleh kemewahan fasilitas sehingga lupa melayani dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Hidup hanya seperti sabun, yang tampak indah adalah busanya yang berbuih-buih tetapi tak berisi. Penuh bayangan kosong, tertutup, dan tidak peduli pada sesama.

Itulah globalisasi ketidakpedulian yang sedang melanda masyarakat dewasa ini, termasuk para gembala.

Anjuran Paus Fransiskus mestinya menjadi refleksi kita bersama.

Jangan heran kalau umat tidak peduli karena para gembalanya lupa mencari domba-domba yang perlu diselamatkan.

Angin badai bikin burung-burung panik,
Mereka terbang dan jatuh ke sawah ladang.
Sudahkah aku menjadi gembala yang baik,
Blusukan mencari domba-domba yang hilang?

Cawas, banyak gembala yang baunya wangi…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here