Generasi Millenial dan Tantangan Gereja Temukan Model Berkomunikasi Baru (8)

0
4,079 views
Partisipan acara diskusi terbatas "Komunikasi Generasi Millenial" bersama Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta (FMKI KAJ) di Jakarta, Minggu siang 17 Desember 2017. (Ist)

MEDSOS.  Mungkinkah cara berkomunikasi virtual yang kini kita hidupi  di ‘’Zaman Now’ dan makin diakrabi oleh Generasi Millenial ini bisa menggoyahkan demokrasi? Pertanyaan menghentak ini dirilis oleh majalah beken The Economist edisi November 2017.

Laporan serial tentang “Membedah ‘Jeroan’ Generasi Millenial” ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan tersebut. Namun, kilas balik sejarah politik internasional dan domestik Indonesia sudah mengamini kebenaran hal tersebut.

Arab Spring

Gelombang Arab Spring yang bermula di Tunisia dan kemudian merembet ke Libya, Mesir, dan Suriah adalah buktinya. Demikian pula, terpelantingnya Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama dari peluang meneruskan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua menjadi bukti selanjutnya.

Generasi Millenial: Melek Politik dan Komitmen Menjaga Pancasila (7)

Padahal kita mafhum fakta-fakta berikut. Yakni, betapa kuatnya jaringan politik dan modal duit yang dimiliki Presiden Zine El Abidine Ben Ali untuk tetap menggenggam Tunisia. Lalu, kokohnya pemimpin kharismatis Kolonel Moammar Khadafi mencengkeram Libya dan juga Marsekal Hosni Mubarak menguasai Mesir pasca tewasnya Presiden Anwar Sadat.

Gelombang Arab Spring di kawasan Afrika dan Timur Tengah terhenti geraknya di Suriah. Berkat dukungan Rusia, Presiden Suriah Bashir al-Assad masih tetap kokoh berkuasa.

Di ‘rumah kita’ sendiri, kita telah dibuat sedih menyaksikan tumbangnya Ahok. Padahal, Gubernur DKI yang ‘bener’ ini membuktikan dirinya telah  berhasil membawa perubahan berarti bagi tata kelola Jakarta yang lebih baik.

Medsos is so powerful

Mengapa semua itu bisa terjadi? Bukan khayalan lagi, peluang jatuh-bangunnya kekuasaan politik itu kini bisa ‘disetir’ medsos.  Pada konteks inilah, pertanyaan menghentak The Economist itu mendapatkan jawabannya.

Studi terakhir menyebutkan, di negara-negara  maju, orang  menyentuh tombol smartphone-nya dalam sehari  sedikitnya 2.600 kali. Mari kita masing-masing iseng mulai menghitung, seberapa sering kita menyentuh layar gadget untuk melakukan komunikasi virtual ini.

Penetrasi Millenial terhadap sumber-sumber informasi. (Courtesy of CSIS)

Tantangan Gereja Katolik

Nah, pada konteks inilah, sebuah catatan kritis tentang mencari pola atau model berkomunikasi baru perlu diketengahkan. Termasuk, misalnya, bertanya:

  • Bagaimana otoritas Gereja Katolik mesti menyikapi paradigma berkomunikasi baru ini.
  • Bagaimana di kurun ‘kekinian’ ini, Gereja mampu merespon panggilan asalinya untuk senantiasa mewartakan “Kabar Gembira’ bagi semua orang.

Peneliti CSIS memberi paparan hasil polling survei tingkat penetrasi informasi yang diserap oleh Generasi Millenial sebagai berikut:

Sekitar 54,3 % kelompok Generasi Millenial mengaku,  setiap hari  mereka mengakses sumber-sumber berita online, sementara hanya sebanyak 11,9 % Generasi Non Millenial mengaku tidak tertarik melakukan hal itu.

Masalahnya adalah sekarang ini  –seperti dikemukakan Dominique Nicky Fahrizal dari CSIS Jakarta – banyak sumber-sumber berita online itu tidak imun terhadap praktik-praktik information deception.

Tingkat kepemilikan akun medsos Generasi Millenial di Indonesia. (Courtesy of CSIS Jakarta)

Hoax juga muncul dan beredar sagat kencang di ‘sumber-sumber’ berita online yang tidak jelas metode pengumpulan informasi dan etika penulisan informasi tersebut. Berita-berita bohong dan tidak benar bisa dengan mudah ‘ditelan’ dan dipercayai sebagai hal benar.

Padahal, informasi tersebut  melulu merupakan hasil ‘gorengan’ tangan-tangan nakal yang sengaja menggunakan data lain yang berbeda  –dan bisa jadi malah data lama—untuk kemudian sengaja ‘ditempelkan kembali’ pada konteks berbeda di waktu kekinian.

Mari mewartakan yang baik dan benar

Inilah sekilas tantangan serius Zaman Now. Inilah kurun waktu dimana yang benar malah sering tidak ‘diwartakan’. Sebaliknya, peristiwa dan data yang tidak benar alias palsu disertai dengan banyak ‘bumbu gorengan’ malah banyak muncul di layar virtual medsos.

Kita semua –termasuk Generasi Millenial— juga  telah menyerap rembesan informasi itu di gawai pintar dan kadang lalu bertanya: Benarkah semua ini?

Kalau tidak benar, lalu kepada siapa kita mesti bertanya untuk mengkonfirmasi sebaran berita deceptive (cenderung menipu dan tidak bisa dipercaya) namun sudah terlanjur tersebar kemana-mana itu?

Pada konteks inilah, pertanyaan kritis The Economist yang menjadi prolog paparan ini telah menemukan relevansinya.  Medsos bisa menggoyang demokrasi, tata kehidupan sosial, dan –tak terhindarkan juga- hidup beriman umat katolik serta pola relasional umat dengan otoritas Gereja Katolik.

Pertanyaan lainnya adalah apakah Gereja Katolik (baca: para pemimpin umat katolik) itu sudah memberi perhatian serius terhadap tendensi rembesan informasi ‘model kekinian’ tersebut? Lalu, apakah Gereja sudah serius memikirkan untuk  merumuskan sikap dan pandangan umum bagaimana hal itu harus disikapi secara baik dan bijak?

Format berkomunikasi baru

Menurut Nicky Fahrizal di forum diskusi tentang “Komunikasi Generasi Millenial” di Jakarta tanggal 17 Desember 2017 lalu, Gereja Katolik perlu mencermati fenomena cara berkomunikasi yang serba cepat dan tak mudah ditangkal (baca: disensor) ini.

Di acara besutan Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) KAJ itu, semua partisipan kembali disadarkan bahwa model atau cara berkomunikasi baru antara segenap umat beriman dengan para pemuka Gereja Katolik perlu dicari format yang lebih ‘kekinian’.

Kita tidak bicara model berkomunikasi satu arah sebagaimana terjadi di mimbar altar gereja ketika pastor berkotbah atau memberi homili saat berlangsung Perayaan Ekaristi atau ibadat liturgis lainnya.

Kita membahas model berkomunikasi yang lebih ‘kekinian’ sehingga umat bisa berkomunikasi dengan lebih mudah –tanpa banyak protokol birokrasi yang tidak perlu—dengan para para pastor dan uskupnya. Juga dicari model komunikasi efektif dan saling menghargai antara orangtua murid sekolah dengan para suster atau bruder yang mengampu yayasan atau lembaga pendidikan sekolah katolik tempat anak-anak mereka bersekolah, dan bentuk-bentuk relasi lainnya.

Paus Fransiskus yang mantan Provinsial Jesuit Provinsi SJ Argentina ini tahu bagaimana memanfaatkan alat komunikasi modern untuk misi pewartaaan iman. (Ist)

Model komunikasi kekinian

Kilas sejarah membuktikan bahwa model berkomunikasi ‘kekinian’ itu sangat efektif bisa mengena semua kalangan dan  -lebih penting lagi— Generasi Millenial pun juga merasa ikut tersapa.

Lihat bagaimana Paus Fransiskus tiba-tiba saja bersikap tidak mentabukan sesi berfoto wefie dengan orang-orang yang mengajaknya berfoto bersama. Ini adalah hal yang tak pernah terjadi dengan paus-paus sebelumnya.

Lihat bagaimana catatan-catatan perjalanan dan refleksi Mgr. Johannes Pujasumarta Pr pernah mengisi laman-laman virtual di internet. Hal itu pula yang  telah menjadikan almarhum sebagai sosok “Uskup Gaul” yang semasa masih hidup sangat aktif dan suka hati menjawab email atau SMS dari umat yang menghubunginya melalui platform  berkomunikasi ‘model kekinian’.

Alm. Mgr. Pujasumarta –Uskup Keuskupan Bandung dan lalu Uskup Agung KAS- berhasil menjadikan motto pastoralnya Duc in Altum sebagai kata-kata penuh makna dan populer. Kini, mayoritas umat Katolik di Indonesia telah menjadi akrab dengan potongan teks biblis berbahasa Latin ini.

In Memoriam Mgr. Johannes Pujasumarta: Uskup Gaul Internet (2)

Gerak dinamika pastoralia di Keuskupan Purwokerto bisa menjadi lebih hidup dan dinamis berkat aktifnya Mgr. Julianus Sunarka SJ menulis catatan-catatan perjalanan dan sapaan akrab di forum milis SerayuNet. Dinamika serupa tiba-tiba saja muncul dan terjadi di pekan terakhir 2017 ini dengan paparan cara berkomunikasi ‘kekinian’ Uskup Agung KAS Mgr. Robertus Rubiyatmoko.

Melalui pola pendekatan baru yang diampu Komisi Komsos KAS saat ini, Mgr. Robertus Rubiyatmoko berani ‘tampil beda’ dalam semangat komunikasi ”kekinian’ ketika ingin menyebarkan Pesan Natal 2017 Keuskupan Agung Semarang secara audio-visual.

Langkah sebelumnya juga ditempuh, ketika Bapak Uskup Agung KAS ingin berbagi informasi tentang Arah Pastoral KAS tahun 2018.

Yesus dan para murid-Nya dihantam gelombang besar sebagaimana dilukis oleh Rembrandt. (Ist)

Kita menyambut gembira keputusan Sidang Tahunan KWI 2017 yang akan merilis dokumen-dokumen gerejani agar bisa dibaca oleh khalayak ramai melalui situs resmi Departemen Dokumentasi dan Penerangan (Dokpen) KWI di www.dokpenkwi.org.

Revolusi mental

Cara-cara berkomunikasi ‘model kekinian’ seperti itu jelas menarik dan merupakan terobosan baru. Itu karena telah menggugah rasa kebersamaan Gereja Katolik sebagai “Paguyuban Umat Beriman”, sebuah istilah ciamik besutan Romo BS Mardiaatmadja SJ.

Pola komunikasi yang bernafaskan ‘lebih kekinian’ itu juga akan  menggugah semangat Generasi Millenial mau merespon kebutuhan dan keprihatinan Gereja dalam komitmennya menghadirkan ‘Kabar Gembira” di tengah masyarakat.

Harapan kita semua adalah bahwa cara-cara baru berkomunikasi ‘bernuansa kekinian’ itu juga akan mengubah gaya hidup para pastor, suster dan bruder yang selama ini sudah terbiasa hidup di  ‘zona nyaman’ mereka masing-masing.

Harapannya adalah agar kaum berjuban ini mulai berani keluar dan menyapa ‘pasar’: umatnya, orangtua murid sekolahnya, termasuk orang-orang yang telah membantu kerjaan pastor mengurusi hal-hal remeh-temeh di paroki.

‘Revolusi Mental’ yang mengubah cara pikir dan habitus kelompok internal Gereja Katolik inilah yang sekarang perlu bergulir.

Partisipan acara diskusi terbatas “Komunikasi Generasi Millenial” bersama Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta (FMKI KAJ). Narasumber dan peserta berdiskusi  mengisi gambaran tentang tantangan berkomunikasi masa depan dengan Generasi Millenial. (Ist)

Itu karena, demikian Dominique Nicky Fahrizal di akhir diskusi FMKI KAJ, kegiatan atau program yang sesuai “Zaman Now” perlu mengandung hal-hal berikut ini:

  • Act quickly and being flexible.
  • Helping to build community.
  • Cultural awareness.
  • Analyze ‘cost and benefit’ before each action.
  • Everyone must be involved in any program of  nation or community building.

Kalau tidak ada gerak perubahan yang harus menyesuaikan diri dengan ‘tuntutan kekinian’, maka jangan kaget dan jadi  jumpalitan kalau sampai terjadi seperti hal ini. Yakni, bahwa ‘berita’ yang diproduksi dan didesain seadanya di panggung medsos itu bisa menjungkirbalikkan banyak hal (disruptif).

Bila sampai terjadi demikian, maka something has gone very wrong.

Kalau tidak mau mengubah habitus sekarang, lalu kapan lagi?  

In Memoriam Mgr. Johannes Pujasumarta: Hilangkan Jurang Komunikasi Uskup – Umat (7)

Kini izinkan kami –Redaksi Sesawi.Net- mengucapkan “Selamat Natal 2017 dan Tahun Baru 2018” kepada para pembaca sekalian. Semoga kasih Tuhan senantiasa menjadi pelecut semangat kita mengarungi peziarahan hidup yang panjang dan kadang berliku ini.

 Ad Maiorem Dei Gloriam. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here