Gereja Katolik Indonesia Songsong 70 Tahun Indonesia Merdeka

0
1,082 views

Pengantar Redaksi

Hari Jumat tanggal 14 Agustus 2015 ini, Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia Mgr. Ignatius Suharyo menggelar jumpa pers dengan awak media di Kantor KWI Jl. Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat. Didampingi Sekretaris Eksekutif KWI Romo Edy Purwanto dan anggota Komisi Kerawam KWI Prof. Adrianus Meliala bersama Ketua ISKA Muliawan Margadana, Mgr. Suharyo memberi materi jumpa pers berikut ini.

Kami mengedit naskah tersebut hanya sebatas pemenggalan alinea demi nyamannya visualisasi dan pembacaan disertai tambahan sub judul, tanpa merubah isi materi jumpa pers.

————–

Sumbangsih Gereja Katolik Indonesia dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-70

 “70 Tahun Merdeka Menuju Indonesia yang Bermakna untuk Semua”

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang telah menginjak usia ke-70. Rahmat kemerdekaan telah memampukan kita semua untuk ambil bagian dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.

Selama 70 tahun sudah banyak capaian dan kemajuan yang berhasil diraih bangsa Indonesia, terutama yang tampak dari semakin membaiknya berbagai indikator pembangunan manusia, kualitas demokrasi, infrastruktur fisik, hingga kontribusi regional dan global sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Meski demikian, Gereja Katolik masih merasakan adanya sejumlah permasalahan fundamental yang menghambat pemenuhan hakikat kemanusiaan dan perkembangan peradaban bangsa Indonesia yang majemuk ini. Hingga kini, masih banyak anak bangsa yang belum bisa merasakan cita-cita kemerdekaan. Kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, keterbelakangan daerah, ketidakadilan hingga kekerasan masih menjadi situasi keseharian yang dialami oleh banyak saudara-saudari kita di berbagai belahan Nusantara.

Bahkan karena keterbatasan kesempatan yang ada, masih banyak dari kita yang harus menempuh perjalanan jauh untuk menyambung hidup. Kehadiran negara terkadang juga belum terasa pada saat dibutuhkan oleh warga negara, dan pelayanan publik masih jauh dari kondisi memuaskan di banyak sektor.

Komitmen moral

Gereja Katolik memandang bahwa salah satu akar permasalahan fundamental yang ada adalah karena kurangnya komitmen moral para penyelenggara negara, pemimpin politik, dan warga terdidik untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan seperti yang telah diamanatkan para pendiri bangsa. Dalam konstitusi dituliskan bahwa pada akhirnya semangat penyelenggara negara dan pemerintahan yang akan menentukan jalannya negara.

Semangat yang hidup dan dinamis hanya akan tumbuh dari komitmen moral yang kuat di bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya. Selama tujuhpuluh tahun merdeka, komitmen moral ini masih terasa perlu terus diperkuat agar penyelenggaraan negara semakin bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan pragmatisme yang telah menempatkan kepentingan pribadi, golongan, dan kelompok di atas kepentingan bangsa.

Dalam bidang politik, komitmen moral para pemimpin politik dan penyelenggara negara masih jauh dari upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi yang substantif, fungsi check and balances lembaga legislatif yang nyaris tidak ada, dan pelemahan kekuatan oposisi di parlemen. Banyak produk legislasi yang tidak aspiratif dan penuh muatan kepentingan sempit sehingga akhirnya menuai gugatan oleh masyarakat.

70 tahun Indonesia Merdeka 2
Jumpa pers Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) oleh Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo. Beliau didampingi (ki-ka) Sekretaris Eksekutif KWI Romo Edy Purwanto, Ketua ISKA Muliawan Margadana, anggota Komisi Kerawam KWI Prof. Adrianus Meliala. (Dok. Dokpen KWI/Matius Bramantyo)

Hal ini terjadi karena kualitas anggota lembaga legislatif yang rendah, baik di pusat maupun di daerah, akibat rekrutmen dan kaderisasi yang lemah; peran pimpinan partai politik yang terlalu dominan; menjamurnya elit politik yang miskin etika dan budaya politik; serta sistem pertanggungjawaban terhadap konstituen yang lemah.

Politik transaksional

Praktik politik yang transaksional dan berorientasi pada kekuasaan semata telah memberikan pendidikan politik yang buruk tentang hakikat amanat dan pengabdian luhur kepada bangsa. Uang telah menjadi pendorong utama perpolitikan bangsa, menggantikan semangat kegotongroyongan dan nilai-nilai Pancasila. Bahkan karena dorongan nafsu kekuasaan, politik telah dijadikan instrumen untuk menguasai sendi-sendi kenegaraan oleh segelintir elit oligarki yang menguasai modal, media, dan mesin-mesin mobilisasi massa.

Oleh karena itu, Gereja Katolik mengharapkan kehadiran para pemimpin di segala lapisan yang memiliki kejujuran kepada diri sendiri, keluarga, rakyat, dan bangsa ini serta setia terhadap nilai-nilai Pancasila.

Dalam bidang ekonomi, Gereja Katolik merasakan betapa semakin beratnya kehidupan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat negeri ini masih berkubang dalam penderitaan karena ketimpangan pendapatan antara yang kaya dan miskin serta antara daerah maju dan daerah terbelakang yang melebar, kesempatan mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diamanatkan konstitusi yang makin tidak adil dan tidak merata, dan pengelolaan perekonomian negara yang kurang optimal dalam kurun waktu yang cukup lama.

Saat ini, tingkat pendidikan sebagian besar anak bangsa masih rendah karena keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga mereka. Padahal, negeri ini harus segera bersiap diri menghadapi berbagai perkembangan globalisasi dan bonus demografi agar bisa melakukan lompatan transformasional ke depan.

Dalam bidang hukum, warga negara Indonesia yang Katolik dapat merasakan belum hadirnya keadilan di tengah masyarakat. Pedang keadilan seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Keadilan masih bisa dibeli dengan uang oleh mereka yang berkelimpahan materi. Penegakan supremasi hukum kurang berjalan sebagaimana mestinya, menjamurnya mafia hukum, dan makin banyaknya aparat penegak hukum yang tidak dipercaya karena melanggar hukum, melanggar komitmen pro iustitia, dan menggadaikan hukum demi memperkaya diri.

Penegakan hukum terkadang juga tampak tebang pilih dan pilih kasih sehingga kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum yang adil dan transparan menjadi luntur. Akibatnya, tidak sedikit warga masyarakat yang main hakim sendiri sehingga kekerasan sering terjadi di tengah masyarakat dan menjadi cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sosial-budaya, Gereja Katolik merasakan keprihatian yang mendalam dengan masih adanya penindasan terhadap kaum minoritas dan marginal, yang sering kali kurang mendapatkan perlindungan dari negara. Sejumlah elemen ekstrem masyarakat yang menyebarluaskan kebencian dan perpecahan yang jelas-jelas mengancam Pancasila belum tersentuh proses penegakan hukum.

Kebebasan beragama

Kebebasan beragama dan menjalankan kegiatan keagamaan, termasuk di dalamnya pembangunan sarana keagamaan, masih terkendala oleh ulah sekelompok oknum warga yang tidak menghendaki kehidupan harmonis antarumat beragama, dan terkadang pemimpin daerah kurang memiliki komitmen untuk menegakkan konstitusi karena ketakutan atas karir politiknya di masa depan.

Ke depan, Gereja Katolik mengharapkan Indonesia menjadi negara yang adil, makmur, tertib, dan aman agar cita-cita kehidupan bersama yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan dapat dirasakan oleh semua anak bangsa. Dalam perjalanan ke depan, Gereja Katolik memandang bahwa pemerintah dan para pemimpin bangsa harus mulai mengubah mentalitas berkuasa dari yang berorientasi pada proses menjadi yang berorientasi pada hasil, sehingga rakyat dapat merasakan perbaikan kualitas hidup yang gradual secara lebih cepat serta berbagai ekses pembangunan dapat diminimalisasi.

Menjadi tugas para pemimpin bangsa untuk selalu memberikan contoh dan teladan bagi rakyat semua dalam melakukan perubahan mentalitas bekerja dan bekerjasama agar berbagai permasalahan fundamental bangsa dapat segera teratasi. Untuk itu, Gereja Katolik Indonesia sebagai bagian integral dari bangsa ini tetap memiliki komitmen yang kuat dan secara terus-menerus memberikan kontribusinya bagi perbaikan kehidupan rakyat.

Melalui perenungan mendalam terhadap kondisi kekinian bangsa Indonesia, Gereja Katolik masih berkeyakinan bahwa negeri ini akan semakin maju dan sejahtera apabila seluruh pemimpin bangsa ini bersedia melakukan konsolidasi komitmen moral untuk membangun Indonesia, bukan semata-mata untuk menguasai negara yang penuh anugerah dari Tuhan ini.

Menjadi kewajiban bagi para pemimpin bangsa semuanya ke depan untuk membuat Indonesia semakin bermakna bagi seluruh warga bangsa ini dan menghadirkan Indonesia yang bahagia dan gembira. Semoga Tuhan selalu memberkati Indonesia. Amin!

Jakarta, 14 Agustus 2015

Mgr. Ignatius Suharyo

Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

 

Kredit foto: Dokpen KWI/Matius Bramantyo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here