SEBUAH aturan baru yang saja dirilis Hirarki Gereja Jerman membuat kaget banyak pihak. Isinya memang kontrovesial untuk ukuran Gereja Indonesia, karena mereka yang kedapatan lupa atau bandel membayar pajak akan dikenai sanksi sosial yakni tidak dianggap katolik lagi.
Loh, kok begitu?
Aturan baru ini mewajibkan, setiap orang katolik di Jerman harus membayar pajak ekstra sebesar 8% dari kewajiban umum yang berlaku untuk setiap warga Jerman yakni membayar pajak penghasilannya kepada Negara. Aturan baru yang sebentar lagi akan berlaku di Jerman ini tentu saja membuat banyak kepala orang berdenyut-denyut, karena penghasilan mereka akan semakin berkurang akibat membayar pajak dua kali.
Satu pajak harus dibayarkan kepada Negara sebesar 8% dari penghasilan mereka. Lainnya, pajak tambahan harus juga dibayarkan kepada Gereja karena mereka masih resmi menyandang status sebagai orang katolik.
Kalau kewajiban kedua tidak dipenuhi alias mangkir membayar pajak kepada Gereja, maka hukumannya jelas: tidak ada pelayanan sakramental kepada warga negara Jerman (katolik) yang tidak taat bayar pajak khusus ini.
Reaksi keras langsung bergaung keras di Jerman. Banyak pihak langsung mengancam tidak akan ragu-ragu meninggalkan Gereja.
Dari total penduduk Jerman, terhitung sekitar 30% warganya resmi mengaku katolik. Lainnya mengaku protestan atau malah menganut kepercayaan Judaisme.
Dari total jumlah penduduk katolik sebesar 30% itu, ternyata pada tahun 2010 silam saja sudah terhitung ada 181 ribu umat katolik telah ‘lepas agama’ alias katolik KTP saja. Menurut laporan media lokal, makin bertambahnya umat katolik Jeman yang tidak mau lagi mengaku katolik lantaran terburu ‘sakit hati’ mendengar berbagai kasus skandal seks yang melibatkan para padri katolik.
Bahkan sejak tahun 2007, Prof Harmut Zapp –seorang pakar hukum Gereja—tanpa sungkan sudah berteriak takkan mau berkompromi dengan aturan harus bayar pajak ekstra kepada Gereja, sekalian dia tetap mengakui diri katolik.
Profesor Hukum Gereja dari Freiburg Universiteit ini tetap ingin bisa menerima komuni suci dan pelayanan sakramental lainnya, meski berterus-terang takkan mau bayar pajak.
Pajak Gereja itu sudah lama diberlakukan di negara Jerman, bukan aturan baru Gereja. Dekrit yang dikeluarkan Konferensi Para Uskup Jerman itu menyatakan bahwa umat Katolik yang mendeklarasikan dirinya bukan Katolik di hadapan negara tidak dapat menerima pelayanan sakramen dan pelayanan gerejawi lainnya. Tetapi, para pastor paroki akan mengunjungi mereka ini untuk menjelaskan konsekuensi yang terjadi bila mereka menyatakan diri bukan Katolik sembari mengajak mereka untuk mempertimbangkan keputusan itu.
Silahkan baca: Respon Terhadap Isu Pajak Gereja di Jerman http://www.indonesianpapist.com/2012/09/respon-mengenai-isu-pajak-gereja-di.html
Bukan aturan baru mas. Pajak gereja sudah ada sejak abad 19. Yang bikin heboh sekarang lantaran ada gerakan yang tidak mau lagi bayar pajak, sementara Gerreja Jerman berpendirian, “No pay, no pray.”