AKU merasakan Gereja Katolik benar-benar bercitarasa sangat universal, sepanjang aku berada di ajang gelaran World Youth Day 2023. Gaung itu terasa sangat kuat dan kencang, saat kami para OMK Sedunia melakukan pertemuan dengan Bapa Suci Paus Fransiskus.
Semua orang sangat antusias menyambut Paus Fransikus sambil meneriakkan “Papa Fransisco” dan dalam serentak kami semua tergugak emosi bersama untuk bertepuk tangan.
Perkataan-perkataan Bapa Suci Paus Fransiskus semakin menunjukkan, Gereja Katolik yang asli adalah Gereja yang sifatnya sangat terbuka; bisa menerima siapa saja tanpa pandang bulu.
Gereja yang tidak penuh judgement kepada umatnya.
Aku sungguh merasa bersyukur atas pengalaman istimewa ini. Terlebih karena dengan sangat intens bisa merasakan kebersamaan dengan Orang Muda Katolik dari seluruh dunia.
Secara khusus bisa berada-bersama dalam satu tempat dengan anak-anak muda dari seluruh dunia yang juga bergiat aktif mendalami Spiritualitas Ignatian.
Jujur hati, bahwa memang tidak semua orang muda bisa mendapatkan kesempatan ini. Oleh karena itu, pengalaman Magis Gathering dan World Youth Day 2023 di Lisabon ini sungguh adalah peristiwa bersejarah dalam hidupku.
Tentunya, pengalaman istimewa yang sangat membahagiakan dan selalu wajib disyukuri.
Melalui pengalaman ini, aku merasa Tuhan mengajakku untuk semakin bangga menjadi orang Katolik. Bukan berarti bangga, maka kemudian ingin menjatuhkan agama lain dan jadi fanatik.
Panggilan menjadi orang Katolik adalah panggilan untuk mencintai semua orang tanpa pandang bulu seperti yang dilakukan oleh Yesus.
Finding God in many cultures
Sebelum berangka ke Portugal, aku memiliki disposisi batin kurang setuju dengan sebagian besar masyarakat Indonesia -termasuk umat Katolik- yang punya cara pikir sangat kaku. Juga akan hierarki Gereja yang penuh dengan aturan, dan kadang para personilnya suka menghakimi umatnya.
Sebagian besar orang suka menganggap, kalau orang bertato, pasien terjerat konsumsi narkoba, praktik seks bebas, disorientasi seksual dan LGBT. Juga orang yang suka memanggil nama orangtuanya dengan serampangan dan lain lain adalah orang “nakal’, tidak sopan; bahkan dianggaap berdosa.
Mungkin saja, orang-orang seperti ini dianggap “menyimpang” dari norma umum sosial dan kemudian malah disingkaikan.
Berdasarkan pertemuan dengan banyak orang muda lain di Indonesia, aku melihat anggapan seperti inilah yang justru sering kali membuat banyak orang muda merasa berdosa, tidak berharga; bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Budaya yang telah tertanam justru membuat orang semakin terpuruk.
Hal itu banyak terjadi pada kaum muda di Indonesia. Sering kali orang muda dituntut untuk selalu menjadi anak baik, berhasil, dan sukses “versi budaya” masyarakat Indonesia. Padahal menurutku, Yesus adalah Tuhan yang Maha Kasih, Maha Penyayang, tidak suka menilai dan menghakimi orang. Ia adalah Tuhan yang sangat fleksibel, dan tidak suka menghakimi manusia. Yesus menerima siapa pun tanpa pandang bulu.
Dari disposisi batinku itu, akhirnya aku mendapatkan “penglihatan” baru dan peneguhan selama di mengikuti dua program kegiatan internasional di Portugal. Aku diajak untuk berpikir lebih luas dengan mengenal dan memahami bagaimana Tuhan hadir di dalam banyak kebudayaan.
Satu hari sebelum Magis Gathering dimulai, kami berjalan-jalan ke taman terbuka. Namanya Paraque Canino Do Campo Grande Lisboa.
Ada pasangan melakukan aktivitas seksual sewajarnya dengan sangat santai; sama sekali seakan tidak “terpengaruh” oleh lingkungan sekitarnya. Pasangan itu seperti tidak peduli sekitarnya.
Setelah aku bercerita dengan beberapa teman dari Eropa, mereka mengatakan bahwa aktivitas seks adalah wujud ekspresi cinta; bukan hal yang tabu mereka. Hal itu sudah biasa dilakukan di Eropa.
Syering lain dengan banyak teman adalah saat ini banyak orang muda di Eropa dan Amerika telah meninggalkan Gereja. Salah satu alasan meninggalkan Gereja adalah banyak orang saat ini memilih menjadi LGBT. Mereka merasa tidak diterima oleh Gereja. Oleh karena itu, fokus gereja di Eropa dan Amerika saat ini adalah membuat orang tertarik dan kembali ke Gereja.
Hal itu membuat aku tercengang. Wow. Berbeda sekali dengan Indonesia.
Bapa Suci Paus Fransiskus pada pidatonya di hari ke-2 World Youth Day juga mengatakan bahwa Gereja terbuka untuk siapa pun. Semua orang dipanggil, tanpa pandang bulu. Tujuan Yesus datang ke dunia adalah mencintai manusia secara total, tidak ada alasan lain.
Aku merasa sangat kagum dengan Katolik dan bangga menjadi orang Katolik setelah mendengar perkataan Bapa Paus.
Ternyata ajaran Katolik seindah ini. Di Indonesia, mungkin beberapa orang bisa memahami dan menerima. Namun, beberapa orang dan bahkan lebih banyak lagi yang masih kolot dan menolak.
Gereja memperlihatkan dirinya yang sangat mengikuti perkembangan zaman.
Hal itu semakin dipertajam setelah mendengar penjelasan Pater James Martin SJ, Jesuit asal Amerika dalam seminarnya di Gereja Saint Roque pada hari ke-2 World Youth Day.
Lagi-lagi dikatakan, Gereja mau menerima siapa saja tanpa pandang bulu termasuk orang-orang yang memilih menjadi LGBT. Ia mengatakan bahwa kita membutuhkan Gereja, karena kita membutuhkan komunitas yang berjalan bergandengan bersama.
Hal lain lagi yang menjadi peneguhan terjadi. ketika di Santo Tirso, kami para peserta mendapat sesi mendengar syering anak muda Portugal yang memiliki komunitas pejuang climate change.
Namun di sisi lain, komunitasnya juga memperjuangkan keberadaan para LGBT.
Dalam perjalanan di Lisabon, kami juga menemukan tempat berkumpulnya para LGBT. Ganja juga beredar legal di Portugal. Iklim ini sungguh berbeda dengan budaya Indonesia.
Berdasar pengalaman ini, benar sesuai prediksi awalku bahwa Tuhan bukanlah penghukum. Tuhan mencintai semuanya. Dosa menjadi sangat fleksibel di mana dan dengan siapa. Dan itu benar adanya.
Disisi lain, aku juga mendapat tamparan, ketika merasa bahwa budaya Eropa dan Amerika lebih baik dari Indonesia. Tuhan seperti membisikkan padaku bahwa Ia hadir dalam segala budaya yang bermacam-macam.
Bukan berarti satu lebih baik dan yang lain lebih buruk. Sebelumnya aku merasa bahwa beberapa orang Indonesia culun dalam hal berpikir. Banyak orang mabuk agama, mabuk aturan sehingga melupakan kemanusiaan padahal semua pasti ada plus dan minus-nya.
Jika di Indonesia, aku merasa banyak orang mengaku beragama; baik dalam Katolik maupun dalam agama lain, namun ternyata hanya terjebak dalam agama dan melupakan kemanusiaan sehingga menganggap orang yang memilih jalan LGBT, seks bebas, ganja, dan lain lain adalah orang berdosa yang layak disingkirkan.
Justru ini adalah panggilanku: ingin bisa ikut menyuarakan martabat kemanusiaan kita dan jaminan keberlangsungan aneka keberagaman di Indonesia.
Tuhan mengajak aku untuk bersyukur, menerima dengan bangga bahwa aku adalah anak muda Katolik dan Indonesia: 100% Katolik dan 100% Indonesia dan terlibat dalam isu keberagaman dan kemanusiaan. (Berlanjut)
Baca juga: Gereja Katolik Universal Bergaung Keras di World Youth Day 2023 di Lisabon, Portugal (3)