Gereja Paroki Jadi Rumah Kedua

1
454 views
Romo Wihong dan umat Stasi Napu di lereng Pegunungan Meratus, Kalsel. (Dok. Keuskupan Banjarmasin)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Selasa, 14 Desember 2021.

Tema: Perendahan diri.

Bacaan

  • Zef. 3:1-2, 9-13.
  • Mat. 21: 28-32.

ADA saat di mana kita keliru. Bahkan jatuh terjerembab.

Manusia itu pada dasarnya mahluk yang lemah. Apa yang dikatakan, dipikirkan dan dilakukan, kadang berbeda.

Ia tidak bisa hidup sendiri. Kepada siapa ia bergaul; di mana ia tinggal; dan apa yang sering menarik minat kiranya itu mempengaruhi corak pribadinya.

Satu hal yang tersadari, ia selalu ingin menyenangkan sesama. Ia terarah pada yang lain.

Ketertarikan.

Ia sanggup dan  berupaya menyenangkan orang lain. Takdirnya memang bersekutu dengan yang lain. Kebersamaan dan berjalan bersama orang lain Lebih banyak mengarahkannya pada kebaikan.

Namun dalam dirinya pula tersisip kelemahan asali. Kalau tersadari bisa menjadi ungkapan cinta.

Demi kebahagiaan yang lain atas nama cinta, ia rela berkorban.

Apa pun motifnya, mulai karena takut kehilangan sampai rasa sungkan diusahakan menyenangkan orang lain.

Ada aku untukmu. Berjalanlah bersamaku.

Gerak bibir kadang lebih cepat dari pertimbangan Nalar. Sebuah janji spontan bergulir.

Risiko apa pun diminimalisir. Hatinya pun terlatih peka.

Dalam sebuah persiapan perayaan gerejani banyak yang terlibat. Ada yang kelihatan sibuk.

“Bro sedang apa? Ngalamun ta?”

“Nggak juga. Lagi nunggu seseorang.”

“Persiapannya?”

“Iya Mo. Persiapan perayaan iman kita. Kami kan tim Mo. Janji bertemu pukul 9. Tetapi sampai pukul 10 belum ada.”

“Lalu?”

“Ya, kalau nggak ada saya kerjakan sendiri dulu. Takutnya nanti tidak selesai. Atau terburu-buru mengerjakan.”

“Ada jadwal perencanaan bersama ta?”

“Sudahlah. Tapi ya begitulah. Alasannya, kami semua punya keluarga; punya pekerjaan yang berbeda. Ada banyak alasan yang diutarakan. Tapi kami ya, tahulah Mo. Siapa yang serius, siapa yang wegah-wegahan. Tapi karena satu tim ya, memahami saja.”

“Dah kontak ta?”

“Ya udah. Habisin pulsa malah.”

Tak selang berapa lama teman-teman pada datang. Belum sampai mengucapkan salam, ada pengakuan dosa. Padahal tidak ditanya.

“Duh sori yo aku lali. Terus aku menenangkan anakku ndisik.”

“Aku yo lupa. Tak kiro libur. Makane tangi awan. Untung isteriku mengingat. Yen ora, yo bablas turune.

“Aku mikir sederhana ae. Pasti banyak yang sibuk. So, aku rodo malas-malasan. Tak kikmati kopiku sik karo bojoku.”

“Aku arep mangkat. Neng ngelih. Bojoku tak kon masak sego goreng.”

Saya dan dia hanya mendengarkan dan tersenyum.

Kutinggalkan mereka. Sungguh terasa, semua mengerjakan apa yang menjadi bagiannya. Ada kekompakan. Muncul semangat kebersamaan.

Sungguh, mereka tim yang solid. Apa pun yang diminta oleh Gereja, tidak pernah menolak. Selalu sigap dan siap. 

Itulah yang membanggakan dari kelompok ini.

Yang kuamati, mereka sudah sampai pada kesadaran: semua yang diperbuat, kesigapan melayani ditujukan hanya untuk Gereja; bagi Tuhan sendiri.

Siapa pun yang memimpin paroki tidak masalah. Kendati mereka kadang dipandang sebelah mata; diduga provokator; diomongin mereka tetap setia melayani.

Mereka hanya memandang Tuhan dalam aktifitas paroki.

“Mas, aku salut. Kenapa kalian begitu care pada paroki dan pelayanan-penugasan yang diharapkan?”

“Ini paroki kami Mo. Saya lahir dan besar di paroki ini. Dan saya pun  akan menutup mata di paroki ini. Ini rumah kedua saya, Mo. Rumah Tuhanku.”

Saya terdiam, kagum dan bersyukur.

Nabi Zefanya bersaksi, “Di antaramu akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan lemah, dan mereka akan mencari perlindungan pada nama Tuhan.” ay 12. Tuhan, jadi aku seia sekata tinggal di kemah-Mu. Amin.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here