Puncta 11.08.21
PW. St. Klara, Perawan
Matius 18: 15-20
PESTA perkawinan di Gyantipura bikin hati Samba, putera Dwarawati gundah gulana.
Masalahnya pengantin puteri, Dewi Hagnyanawati mengucapkan janji nikah tidak menghadap ke pengantin putera, Boma.
Justru dengan bibir tersenyum dan kedipan mata mengerling sebagai isyarat ke Samba, adik tiri Boma.
Sejak saat itu, Samba “ngengleng” jatuh cinta kepada kakak iparnya. Ia berniat merebut cinta Hagnyanawati.
Apalagi dia tahu, Hagnyanawati tidak bahagia hidup bersama Boma. Jelas tindakan ini melanggar norma dan keliru.
Dewaguna mengingatkan Samba. Tetapi pendapatnya tidak digubris. Samba sudah sumpah mati.
Samba diajak menghadap ke Arjuna. Arjuna dan Setyaki juga memberi nasehat agar niatnya diurungkan. “Cinta itu buta,” kata Samba.
Ia menerjang siapa pun yang menghalangi niatnya.
Kresna sendiri sebagai ayah Samba dan penjelmaan Dewa Wisnu sudah menasehati.
Namun ayah dan Dewa sebagai instansi tertinggi juga tidak didengar oleh Samba.
Samba sudah diperingatkan, tetapi tidak mau mendengar. Ia nekad berperang dengan Boma untuk merebut Hagnyanawati.
Samba kalah dan dibunuh oleh Boma. Hagnyanawati ikut bunuh diri di atas pusara Samba.
Mekanisme etis dalam menyampaikan kebenaran ada tahap-tahapnya. Menegur teman dekat atau saudara memang tidak mudah.
Orang Jawa sering dihinggapi rasa “ewuh pekewuh” atau sungkan. Tidak enak harus mengingatkan teman. Takut menyakiti dan ditolak.
Orang mudah tersinggung, jika diingatkan. Tidak sedikit yang dibenci, diputus hubungan (Jawa: Dijothak).
Mengingatkan pada sebuah kebenaran harus dilakukan dengan bijaksana dan tulus.
Bukan untuk menjatuhkan atau menghakimi, tetapi untuk memenangkan sebuah kebenaran.
Mengingatkan bukan menghancurkan tetapi justru tanda perhatian dan kasih agar tidak terjerumus ke jurang yang lebih dalam.
Yesus menjelaskan tahap-tahap bagaimana orang menegur saudaranya.
Pertama, diingatkan di bawah empat mata, secara pribadi. Kemudian membawa seorang atau dua orang saksi. Tahap ketiga membawanya ke tengah jemaat.
Jika masih tetap membandel, anggaplah dia sebagai orang yang tidak mengenal Allah, atau pemungut cukai.
Menegur dengan bijaksana adalah wujud cinta. Kalau kita diam atas suatu pelanggaran kebenaran, kita justru menjerumuskan.
Kita berdosa karena diam, tidak berbuat apa-apa. Mari kita belajar menyampaikan teguran dengan bijaksana.
Kita memilih waktu yang tepat dan cara yang baik agar orang sadar akan kesalahannya.
Tidak mudah memang. Namun lebih untung kita menyelamatkan jiwa teman daripada membiarkannya jatuh terjerumus ke jurang kehancuran.
Lebih baik berkorban perasaan daripada kehilangan jiwa tak terselamatkan.
Mari kita tidak diam untuk menyelamatkan sahabat dan teman.
Bunga mawar bermekaran,
Tumbuh di antara rerumputan.
Kasih sejati itu menyelamatkan,
Bukan diam menjerumuskan.
Cawas, mari bahagia…