Guru Besar Hukum Pertanian Unpar Prof. Koerniatmanto: “Justru karena Katolik, Saya Perlu Studi dan Kuasai Hukum Pertanian” (2)

0
656 views
Guru Besar Fakultas Hukum Unpar Bandung - Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro SH: "Saya ini Katolik, orang desa, dan WNI cinta petani, maka harus belajar dan kuasai Hukum Pertanian." (Mathias Hariyadi)

DI MANA-mana dan sampai kapan pun, nasib mayoritas kaum petani kecil di seluruh kawasan tanahair Indonesia selalu kalah dalam bersaing. Selalu harus dan karena juga dipaksa keadaan untuk bisa menerima “nasibnya” kalah dalam posisi tawarnya untuk ikut menentukan harga jual semua hasil produk pertanian di hadapan para pengepul dan tengkulak.

“Apalagi ketika mesti berhadapan dengan mafia produsen beras dan hasil aneka produk pertanian lainnya,” demikian pendapat dan keyakinan Guru Besar Hukum Pertanian Universitas Katolik Parahyangan Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro dalam perbincangan ringan dengan Titch TV di Bandung, akhir Juli 2022 lalu.

Argumentasi di atas itu lalu menemukan rasionalitasnya sebagai berikut.

Politik Pangan Murah

Dulu, kata Prof. Koerniatmanto, pernah ada kebijakan nasional yang sering disebut Politik Pangan Murah. “Itu hasil besutan pemerintahan Presiden SBY,” papar Prof. Koerni.

Politik Pangan Murah itu, kata dia lebih lanjut, sebenarnya tidak lain adalah kebijakan “akal-akalan” pemerintah untuk “menenangkan” masyarakat kota.

Alur argumentasi ringkasnya demikian.

Ketika harga-harga pangan mulai cenderung merangkak naik -termasuk harga semua hasil produksi pertanian seperti beras dan gandum- maka “jenis” elemen masyarakat yang paling cepat “berteriak” biasanya adalah orang-orang kota.

Itu bisa dimaklumi. Karena masyarakat di wilayah permukiman perkotaan itu rata-rata secara umum sudah “melek politik”. Juga, karena mereka sudah punya akses “bisa bicara” ke publik melalui media.

Ilustrasi – Etos kerja keras dan tahan banting selalu menjadi ciri khas hidup para petani kecil, meski nasibnya tak pernah bisa hidup lebih makmur. (Ist)

Hal sama tidak (pernah bisa) terjadi di masyarakat permukiman pedesaan.

Selain tidak “pintar bicara” (baca: protes), akses bicara untuk bisa menyuarakan pendapatnya di ruang publik -dan kemudian bisa diliput media- juga masih sangat terbatas.

Kaum petani kecil rata-rata juga belum “melek politik”. Mereka juga tidak kenal dan apalagi juga memang tidak dikenal oleh media.

Bisa jadi juga, media massa barangkali juga tidak merasa berminat menemui mereka dan tertarik memerankan fungsinya sebagai “juru bicara” orang-orang pedesaan.

Karena itu, terang Prof. Koerni, dengan mempraktikkan kebijakan Politik Pangan Murah itu maka yang akhirnya selalu “dimenangkan” kepentingannya adalah orang-orang kota yang sudah “pintar bicara” itu.

Bukan membela nasib para petani yang terlanjur jatuh menderita itu. Lantaran harga aneka produk pertanian anjlok atau mengalami kerugian besar. Dampak terjadinya gagal panen karena berbagai sebab: hujan tiada henti, banjir bandang, hama, tanah longsor. Atau faktor lain seperti harga pupuk dan benih naik, jasa transportasi melonjak karena harga BBM naik, dan masih banyak lagi.

Itulah ironisnya di Indonesia yang katanya sejak dulu disebut Negara Agraris.

Ilustrasi: Nasib para petani kecil di Indonesia yang selalu kalah dan juga sering dikurbankan demi menenangkan masyarakat perkotaan dan memenangkan kepentingan mereka. (BUMN)

Panggilan suara hati

Justru karena melihat nasib mayoritas petani kecil di Indonesia ini selalu kalah dan ya memang dikalahkan karena dikurbankan untuk kepentingan masyarakat kota, maka suara hati Prof. Koerniatmanto Soetoprawiro sebagai ahli hukum dari Unpar Bandung semakin tertantang.

Menurut alumnus Seminari Mertoyudan angkatan tahun 1969 ini, Indonesia perlu merancang bangun “rambu-rambu” aturan main yang jelas -dan itu sifatnya mengikat semua pihak- agar nasib mayoritas kaum petani kecil di Indonesia mendapat perlindungan.

“Harus ada yang namanya Hukum Pertanian,” tegasnya tanpa sungkan.

Berdasarkan keprihatinan yang sangat mendalam itulah, maka kemudian Prof. Koerniatmanto memutuskan belajar ilmu hukum. Sesudah rampung menamatkan sarjana S-1 bidang hukum, Prof. Koerniatmanto masih memilih meneruskan studi lanjut.

Kali ini, ia memilih studi S-2 bidang hukum pertanian dan kemudian berlanjut sampai studi doktoral S-3 hingga mendapat predikat sebagai Guru Besar.

“Hukum Pertanian itu harus ada (di Indonesia). Kalau tidak, mau sampai kapan nasib para petani kecil di tanahair Indonesia ini akan bisa dilindungi hak-hak dan kepentingannya?” papar Prof. Koerniatmanato.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro SH, bicara tentang Hukum Pertanian, Hukum Agraria dan nasib petani kecil di Indonesia. (Ist)

Bukan “barang basah”, tapi menarik karena panggilan hidup

Prof. Koerniatmanto Soetoprawiro kemudian menjelaskan kepada Titch TV tentang mengapa dia akhirnya serius menggumuli studi bidang hukum pertanian.

Padahal, katanya super jujur, bidang studi Hukum Pertanian itu sungguh bukan “lahan basah”.

Namun, justru karena merasa Hukum Pertanian itu begitu strategis dan sangat penting untuk melindungi kepentingan “rakyat banyak” dari kalangan kaum petani kecil, maka keputusan studi lanjut di bidang “hukum yang tak terkenal” ini lantas dia tekuni dengan sangat serius.

Alasan yang lebih “spiritual” pun ikut memotivasi keputusan Prof. Koerniatmanto hingga ia mantap menekuni studi Hukum Pertanian.

“Justru karena saya Katolik, maka (suara hati) mantap memutuskan saya harus menekuni studi bidang hukum yang tidak terlalu ‘menjanjikan’ ini,” tegasnya.

Motivasi rohani ini ada benarnya, kata dia kemudian, karena sebagai anak desa dari Dusun Morangan di Klaten, Jateng, ia melihat sendiri bagaimana nasib para petani kecil di permukiman dusun di daerah asalnya.

Ilustrasi: Para petani di wilayah Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, tengah panen. (Mathias Hariyadi)

Mereka selalu saja hidup dalam kesederhanaan -untuk tak ingin mengatakan mereka hidup miskin- dan kondisi sosial macam itu tetap saja berlangsung di banyak tempat lainnya. Bahkan sampai saat ini pun.

Kalau pun studi bidang Hukum Pertanian ini masih dianggap “asing” di Indonesia, maka dalam hal ini Prof. Koerniatmanto Soetoprawiro boleh merasa sedikit berbangga hati.

Lantaran, Universitas Katolik Parahyangan di Bandung inilah yang menurut perhitungannya merupakan lembaga perguruan tinggi swasta yang telah ambil prakarsa untuk menginisiasi studi serius mengenai Hukum Pertanian.

Buku tentang Pengaturan Kekayaan Pengairan dan Perikanan karya Prof. Koerniatmanto dari Unika Parahyangan Bandung.

Hukum Peternakan dan Perikanan

Pada hemat Prof. Koerniatmanto, minat orang sekarang untuk menggumuli studi bidang Hukum Pertanian sudah mulai mengemuka.

Tapi, nasib lebih ngenes lagi tentu saja studi tentang Hukum Peternakan dan Hukum Perikanan yang menurut pendapatnya masih “di atas awang-awang”.

Sebagai pemikir di bidang Hukum Pertanian, Prof. Koerni pun lantas merasa ikut tertantang ingin juga mempelajari lebih lanjut tentang khazanah dua bidang studi berbeda itu.

“Perjalanan ke sana itu,” demikian penegasan Prof. Koerniatmanato menjawab Titch TV akhir Juli 2022 lalu, “rasa-rasanya kini menjadi panggilan hidup saya.” (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here