Guru dan “Orang Pintar”: 25 Tahun Menjadi Guru di Ketapang, Kalbar (2)

0
421 views
Amon Stefanus saat mulai menekuni profesi menjadi guru (Dok Amon Stefanus)

Pengantar Redaksi

Tulisan ini kubuat untuk mengenang 25 tahun pengabdianku dan beberapa teman lainya —Yohanes Aliman, Adi Haryono dan Andreas Anastasius—menjadi guru di SMP St. Augustinus, Ketapang, Kalbar.  Tentang hari-hari pertama menjadi guru di SMP St. Augustinus.

 Ini tulisan yang kedua. Tulisan pertama berjudul Guru dan Sebotol Bir.

—————-

Menuju ke tempat tugas

Setelah hampir sebulan berlibur di kampung, maka pada tanggal 10 Juli 1995, aku pun  berangkat menuju Kota Ketapang. Diantar abang sepupuku dengan sepeda motor. Sekitar pukul 09.00 kami berangkat dari kampung Banjur menuju Perawas.

Perawas adalah bekas pelabuhan Perusahaan HTI Hutan Raya. Saat itu, berfungsi sebagai pelabuhan penumpang speedboat dan motor air yang menuju atau datang dari atau ke Teluk Melano, Kecamatan Simpang Hilir yang  sekarang masuk wilayah Kabupaten Kayong Utara.

Aku hampir saja terlambat. Motor air sudah hampir berangkat.

Di dalam motor air,  aku bertemu dengan kakak kelasku ketika di SMA.  Ia seorang insinyur pertanian tamatan salah satu perguruan tinggi yang cukup terkenal di Kalbar. Kami terlibat diskusi tentang PIR-Trans, HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengelolaan Hutan).

Menurut dia, masuknya perusahaan-perusahaan itu telah menguras sumber daya hutan di daerah kami. Setelah kayu-kayu habis, sekarang muncul perkebunan kelapa sawit.

Masyarakat lokal bukannya tambah maju. Masyarakat cenderung hanya menjadi penonton. Hasil hutan dibawa keluar. Kekayaan lari entah dibawa kemana.

Diskusi cenderung melankolis. 

Hari sudah gelap, ketika kami sampai di Teluk Melano. Puji Tuhan masih ada bis terakhir yang menuju Ketapang. Kami buru-buru naik bis. Untung penumpang hanya sedikit sehingga bisa duduk.

Sudah sering kami melewati rute perjalanan seperti ini. Perjalanan hari ini termasuk sangat lancar.

Ketika SMP, kami ujian ke Teluk Melano. Perjalanan naik motor air dari Simpang Dua ke Teluk Melano memerlukan waktu sehari semalam. Ketika SMA, aku dan teman-teman pernah berjalan kaki selama 13 jam dari Teluk Melano menuju Ketapang.

Waktu itu, jalan belum diaspal dan bis yang kami tumpangi rusak.

Hampir pukul 21.00, barulah kami tiba di Ketapang. Setelah sampai, aku dan seorang sepupu serta anaknya menumpang di tempat keluarga. Setelah hampir sepekan tidur menumpang di tempat keluarga tersebut, Minggu, 16 Juli 1995 aku pindah ke asrama guru SMP Usaba 2.

Ada beberapa orang yang tinggal di asrama tersebut. Mereka adalah guru dan para  karyawan Rumah Bersalin Fatimah –sekarang menjadi RSU Fatimah– milik Kongregas Suster OSA.

Ada juga satu orang keponakan Pak Thomas yang sekolah di SMP Usaba 2. Mereka yang tinggal di asrama ini semuanya masih lajang. Bila berkeluarga mereka harus pindah dari asrama ini.

Memang sejak awal asrama ini dibangun khusus untuk para guru bujangan. Ada beberapa guru seperti Pak Musa dan Pak Philip yang pernah tinggal di asrama guru ini, sebelum mereka berkeluarga. 

Motor air yang beroperasi di Ketapang dari dulu sampai saat ini di tahun 2020 (Dok Amon Stefanus)

Hari pertama jadi guru

Keesokan harinya Senin, 17 Juli 1995 adalah hari pertama aku secara resmi menjadi guru di SMP Usaba 2 Ketapang. Pagi pukul 07.00, ketika diadakan upacara bendera, aku diperkenalkan oleh kepala sekolah kepada para siswa sebagai guru baru di SMP ini.  Aku akan mengajar matematika.

Berada di lingkungan yang baru, aku masih asing. Orang-orang baru, tempat baru, teman-teman baru, guru-guru yang baru kukenal. Semua serba asing.

Ada sedikit kecemasan dalam diriku. Namun rasanya aku lumayan tenang menghadapi semua ini.

Selama sepekan pertama, kegiatan sekolah belum efektif belajar. Pekan pertama diisi dengan penataran. Istilah kala itu. Pada masa penataran murid baru ini aku kebagian tema: Cara Belajar dan Pemanfaatan Waktu.

Bagiku, materi ini tidak terlalu sulit. Karena ketika mahasiswa, aku cukup banyak membuat tulisan untuk koran dan majalah dengan tema cara belajar yang efektif. Bahan untuk itu tidak sulit kudapat karena aku memiliki kliping-kliping tulisanku, ketika masih di bangku kuliah.

Hari ketiga masa penataran itu aku merasa tidak enak badan. Tengkukku agak pedih serta gatal. Mungkin digigit kepinding, begitu aku berpikir.

Tapi aku juga kuatir jangan-jangan kena malaria. Karena ketika SMA aku pernah terbaring hampir sepekan lamanya terkena malaria. Malamnya aku demam. Aku minum obat penurun panas dari Sr. Imma dan obat malaria dari Dodik.

Kuberharap besok bisa pulih dan mengkuti kegiatan di sekolah. 

Diteror virus “herpes”

Keesokan harinya demamku turun, tapi tengkuk masih panas. Meskipun demikian aku tetap pergi ke sekolah.  Dengan agak terpaksa aku menyampaikan materi ceramah kepada para para siswa baru. Karena sorenya masih demam, maka aku minta diantar Pak Frans berobat ke dokter Ongko.

Dokter itu bilang, ini mungkin alergi. Karena ada bintik-bintik yang muncul di sekitar leher sampai ke pundakku. Dia memberiku obat alergi.

Hari keempat aku masih sakit. Walaupun sudah ke dokter, sakitku bukannya berkurang, tapi malah terasa lebih parah. Aku mengalami sakit kepala sebelah kanan sampai ke telinga, leher serta pundakku seperti melepuh.

Perih rasanya. Kadang kala terasa gatal sekaligus sakit. Dari cermin aku melihat ada gelembung-gelembung yang berisi nanah.  Malamnya aku pergi lagi ke dokter.

Dokter bilang penyakit ini namanya herpes yang disebabkan oleh semacam virus. Ia memberiku obat anti virus.

Tiga hari berikutnya aku lebih banyak berbaring di tempat tidur. Kondisiku saat ini betu-betul  tidak menguntungkan. Kepalaku terasa perih dan berdenyut. Seperti bisul menghisap nanah.

Aku sangat jengkel dengan situasi ini. Aku merasa putus asa. Sudah banyak obat yang kutelan. Antibiotik, anti virus, vitamin, obat penurun panas serta obat anti gatal. Tapi belum sembuh juga.

Malamnya aku pergi lagi ke dokter. Kali ini bukan ke dokter Robert, tapi ke dokter Sembiring. Dokter ini tidak banyak bicara. Ia hanya mendengar saja keluhanku. Ia hanya memberikan obat anti nyeri.

Senin, 24 Juli 1995, pekan kedua kami masuk sekolah. Aku terpaksa tidak bisa mengajar. Padahal harusnya hari ini pertama kali menyampaikan materi pelajaran.  Jengkel rasanya.

Ada seorang siswa yang diutus Pak Musa datang ke asrama untuk minta tugas kepadaku. Dalam keadaan menahan sakit, aku berusaha menulis di kerta folio, tugas-tugas yang harus dikerjakan para murid.

Kasihan, para murid terpaksa harus belajar sendiri dari buku paket.

Sakitku bukannya berkurang.  Telingaku seperti ditempeli bara api. Aku ingin menjerit dan menangis. Berkali-kali aku menyerukan kepada Tuhan. Seperti orang yang putus asa.

Kapan penyakit ini sembuh? Aku tak tahan. Sakitnya luar biasa! Belum pernah aku merasakan sakit seperti ini. Ingin rasanya semua barang kulempar, kutinju dan kubanting.

Menjelang sore aku panik. Dicekam ketakutan lantaran gelembung di telingaku ada yang pecah. Mengapa aku harus menderita seperti ini? Rasanya bosan menanggung penderitaan ini.

Beberapa kali aku menyerukan nama Tuhan, berdoa Salam Maria meskipun terputus-putus. “Tuhan, aku tidak tahan menanggung beban penderitaan ini”.

Diobati “orang pintar”

Selasa, 25 Juli 1995. Dari kepala, telinga hingga pundakku seperti koreng. Orang-orang pasti  ngeri, bila melihatnya. Aku tak habis pikir mengapa semua ini terjadi ketika mulai bertugas. Sedih memikirkan semuanya ini.

Rasanya mau masuk rumah sakit, dirawat dan dilayani orang-orang yang mengasihi diriku.

Untunglah tadi siang, adikku Tinsi datang membawa surat dari kampung. Ia kusuruh mencuci beberapa lembar pakaianku yang kotor. Siangnya hampir hilang kesadaran.

 Beberapa kali aku meninju dan memukul kasur sambil mengerang.  Tak mampu menahan sakit yang luar biasa ini.

Ketika Pak Frans ke asrama kuminta ia mencari dokter Robert. Ia pergi dan kembali membawa 10 tablet cargesik obat penghilang rasa sakit.

Rabu, 26 Juli 1995. Siangnya sehabis pulang sekolah,  Suster Kepala sekolah kami datang menjengukku. Beliau iba hatinya, ketika melihatku merintih kesakitan. Sambil memegang kepalaku, beliau menganjurkan agar pergi ke dokter lagi, bila tidak ada perubahan. Kemudian beliau pamit pulang ke Biara.

Aku tinggal sendirian di kamarku. Kamarku kubiarkan terbuka agar teman-teman dan mungkin rekan guru lebih gampang bila mau menjegukku.

Sekitar setengah jam kemudian datang seorang bapak. Orangnya tinggi besar. Rambutnya sudah berwarna kelabu semua. Ia berkumis tebal yang juga berwarna kelabu. Mungkin usianya sudah menjelang 60 tahun.

Ia memperkenalkan namanya dan mengaku warga sekitar sini. Rumahnya tidak jauh dari asrama kami. Lalu, ia komat-kamit menggumankan sesuatu kemudian menyemburkan liurnya ke lukaku. Ada bau petai yang menusuk hidungku.

Kedua kalinya ia menyemburkan liurnya ke lukaku. Kali ini aku menahan nafas beberapa detik agar tidak mencium bau petai dari mulutnya. Selesai melakukan aksinya dia bercerita sering mengobati orang dengan cara demikian.

Aku baru sadar bahwa bapak ini adalah “orang pintar”.

Sebenarnya aku tidak pernah lagi mengandalkan kekuatan magis seperti itu lagi. Dulu, kakekku punya banyak mantra, karena dia termasuk dukun. Aku pernah diajarnya, ketika di kelas 1 SD. Beberapa mantra kucatat dan juga kuajarkan kepada beberapa teman sebayaku.

Karena di sekolah kami diajarkan agama Katolik yang cukup militan, maka hal seperti itu sudah kutinggalkan. Lagi pula melihat bapakku juga sudah menjadi pemeluk Katolik yang taat. Beliau tidak mau mengandalkan jampi-jampi itu lagi.

Pernah, ketika tamat SMA. aku demam tinggi dan nenekku mau cari dukun, tapi aku melarangnya dan memilih mencari perawat dengan berpesan kepada anak-anak sekolah agar perawat tersebut datang ke rumah kami.

Tapi sekarang, semua serba salah. Karena sang bapak datang tak terduga. Saya tidak tahu siapa yang mengundangnya. Aku pun tidak bertanya karena masih menahan sakit yang begitu hebat. Lagi pula beliau juga cepat-cepat pulang.

Sorenya, Pak Frans datang membawa “sinsang” seorang ahli obat Cina. Sinsang tersebut ternyata orang Katolik. Ia bernama Tonglie.

Oleh sinsang tersebut luka-lukaku diolesi dengan obat ramuan yang dibawanya. Ramuan tersebut dari sisik naga dicampur dengan umbi ubi kayu yang ditumbuk lalu ditempeli pada luka-lukaku.

Lukaku terasa dingin.

Sembuh

Setelah hampir sepekan lamanya mengalami sakit,  kondisiku mulai pulih. Walaupun  belum pulih benar, tapi rasa sakit yang luar biasa itu sudah hilang. Senin, 30 Juli 1995 aku sudah bisa mengajar dengan normal.

Kepada para siswa kukatakan bahwa selama hampir sepekan lamanya mengalami sakit herpes. Bahasa daerahnya dampa atau dampe. Kuperlihatkan lukaku kepada siswa. Mereka memahami sakit yang telah kualami.

Senang rasanya mengajar di SMP Usaba 2 ini. Walaupun sepekan tidak mengajar, akhir bulan Juli aku telah menerima gaji utuh sebesar Rp 99.500,00.

Uang itu kuterima lewat Sr. Imma, bendahara sekolah.  Sebagian baru kupakai untuk bayar utang pada Pak Frans, iuran beli beras, ambil foto, beli obat dan beli kertas serta beli beberapa bungkus mie instan. Tanggal 5 Agustus nanti gajian lagi.

 Asyik juga. Rencanaku membeli sebuah sepeda. Tapi berapa harganya?

Bulan Juli berlalu, tibalah bulan Agustus. Aku tenggelam dalam kesibukan mengajar. Selain itu sorenya memberikan les. Menjelang malam aku pulang ke asrama sudah dalam keadaan lelah. Tidak heran, kalau sudah pukul 21.00 mataku pun sudah sulit diajak kompromi.

Sedikit demi sedikit aku mulai menghayati peran guru. Di mana-mana aku dipanggil “bapak”.

Citra diriku sebagai seorang pendidik menjadi semakin melekat. Peran ini kadang juga membuat diriku “terpaksa” bersikap harus “digugu dan ditiru”.

Rasanya aku mulai menyenangi profesi ini. Buktinya setiap akan mengajar jauh dari ketegangan dan kecemasan – penyakit yang kerap melanda seorang guru baru. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here