Guru Lemot Mengajar, Jangan-jangan tak Punya Spiritual Solidaritas dalam Pendidikan

21
1,867 views
Ilustrasi: Mengajar anak-anak Papua di pedalaman Sagare Keuskupan Agats. Lokasi stasi ini ditempuh selama hampir tujuh jam perjalanan dengan naik speedboat dari pusat kota Asmat. (Mathias Hariyadi)

Sepenggal waktu.

Aku diam seribu bahasa.

Jengkel hati menyelimuti amarah.

Kukepalkan bara api di tangan.

Rasanya sulit memahami mereka.

Tuhan, tolonglah aku.

Walau hanya sekejap.

(Pantai Gedo, Nabire, Papua, 1 Agustus 2004)

PENGGALAN teks puisi di atas ditulis oleh seorang guru muda cerdas. Katakanlah namanya Joni yang tentu saja bukan nama sebenarnya.

Ia menulis guritan emosi itu, saat dia tengah mengalami rasa galau luar biasa. Karena sebagai pendidik atau guru di sekolah, ia benar-benar telah merasa gagal; merasa diri belum mampu menjadi seorang mentor yang baik.

Pantai Gedo di Nabire, Papua. (Romo Bei Witono SJ)

Guru merasa gagal

Joni dalam keseharian di sekolah itu berkembang menjadi pribadi yang sensitif. Ia juga mudah menyalahkan diri sendiri; seakan menjadi tidak tahu lagi cara mengajar. Juga mulai muncul perasaan kurang layak untuk menjadi pendamping para murid.

Perasaan galau disampaikan Joni di pinggir pantai. Dalam kesendirian. Sambil merasakan hembusan angin diiringi deru ombak yang datang silih berganti.

Ia gelisah. Kadang berteriak-teriak sendirian, sampai akhirnya ia merasa lelah dan tersungkur. Lalu memohon kepada Tuhan untuk dikirimkan rahmat peneguhan hati. Agar selanjutnya dapat menjadi berkat bagi para murid yang dilayani.

Kegalauan Joni sebagai seorang pendidik atau guru macam itu -pada hemat penulis- kiranya mengindikasikan bahwa kecakapan intelektual yang dimiliki ternyata belum cukup memadai untuk menjadi dasar mengajar atau mendidik.

Hatinya hambar. Mungkin saja -secara ekstrim- pada dirinya tidak atau belum ada hasrat kuat untuk mau mengajar saat berada di ruang kelas.

Ilustrasi – Pusing pikiran cari solusi atas masalah. (Ist)

Dibantu mencari solusi

Sudah pasti, dalam kasus eksperiensial ini, Joni sungguh perlu dibantu. Dicarikan solusi baik agar supaya ia dapat keluar dari masalah yang tengah dia hadapi.

Dalam analisis penulis, Joni bisa jadi sangat membutuhkan inspirasi pendorong dari dalam dirinya. Katakanlah itu berupa “api” semangat yang menyala kuat; yang memberi dorongan semangat pelayanan.

Inspirasi terdalam itu bisa saja digali melalui spiritualitas yang pas dalam mewujudkan rasa peduli yang kuat terhadap peserta didik yang dilayani.

Spiritualitas pendorong gerakan

Spiritual dalam praksis ditempatkan pada batin seseorang. Berupa keinginan, sikap-sikap, dan pandangan hidup. Karakteristik dominan yang terkandung dalam spiritual itulah yang akhirnya membentuk spiritualitas.

Dalam spiritualitas itulah, roh maupun jiwa mampu menginspirasi, dan menggerakkan manusia untuk bertindak; juga menggerakan orang untuk kemudian mau melakukan aneka aktivitas.

Spiritualitas dalam hal ini sangat memegang peran penting. Karena, dorongan batin itu akan mampu menggerakkan siapa saja. Dalam melakukan transformasi diri guna mengupayakan hal-hal yang luhur bagi kehidupan.

Kisah tentang Piri Thomas (1928-2011)

Kisah Piri Thomas (1928-2011) dapat menjadi jembatan penghubung yang dapat menyelesaikan persoalan Joni.

Piri Thomas dikenal sebagai seorang penjahat yang bertobat, namun kemudian berubah dan menjadi penceramah. Ia kemudian menjadi seorang “guru” yang berani memberi kesaksian tentang bahaya obat-obatan terlarang.

Dan “ajaran” dia itu bisa menjadi efektif, karena dia sendiri mengetahui seluk-beluk kehidupan kelam di jalan-jalan atau di gang-gang sempit di wilayah New York.

Di sana ada dimensi spiritual yang telah menggerakkan Piri Thomas untuk bertobat. Mau kembali ke jalan yang benar. Melalui visi hidup baru yang kini dia miliki, maka kemudian ia mampu menjadi mentor kebaikan. Bagi sesama yang membutuhkan pencerahan.

Puchalski dkk. (2014) secara tegas mengatakan demikian.

“Spirituality is the aspect of humanity that refers to the way individuals seek and express meaning and purpose and the way they experience their connectedness to the moment, to self, to others, to nature, and to the significant or sacred.”

Terjemahan bebasnya demikian.

“Spiritualitas merupakan aspek kemanusiaan yang mengacu pada cara individu mencari dan mengungkapkan makna dan tujuan yang terkoneksi dengan diri, sesama, dan alam termasuk relasi dengan yang suci: Tuhan.”

  • Spiritualitas dapat dipandang sebagai cara seseorang mengalami, memahami, dan memberlakukan hubungan seseorang dengan Yang Ilahi.  
  • Spiritualitas menjadi perekat yang dapat menyatukan orang dengan Tuhan. Melalui relasi rohaniah dan tindakan luhur yang dijalankan dalam realitas hidup.

Dalam analisis Rahner (Masson: 1984), spiritualitas itu ibarat pendulum penggerak, dari yang rohani mengarah ke aktivitas sosial.

Ilustrasi: Solider.

Solidaritas kemanusiaan

Spiritualitas mendapat locus atau tempat rujukan yang jelas dalam bentuk solidaritas kemanusiaan.

Solidaritas dalam kamus Webster dipahami sebagai kesatuan yang menghasilkan sesuatu. Kesatuan kelompok atau organisasi dapat dibuat berdasarkan minat, tujuan, dan standar tertentu.

Dalam hal ini, Joni jelas tidak sendirian.

Nantinya, ia akan ditemani oleh guru-guru yang mempunyai minat, tujuan, dan standar yang juga kurang lebih sama dalam mendidik.

Bersama guru-guru lain, Joni membangun visi bersama; membangun karya pendidikan yang lebih baik.

Kesatuan relasional dan kesetiakawanan

Dengan adanya solidaritas, rasa kesetiakawanan dapat dibangun. Kesetiakawanan dalam arti positif itu melambangkan nilai persatuan.

Kekuatan persatuan dalam banyak segi, potensial mengubah peradaban suatu bangsa yang tadinya (mungkin) biasa-biasa saja menjadi lebih maju dan bermartabat.

Sekolah yang mempunyai kesatuan relasi baik antar guru menciptakan suasana komunitas pendidik yang kondusif.

Ilustrasi: Membantu orang menderita (ist)

Dengan demikian, Joni tidak perlu merasa galau. Apalagi merasa sendirian, karena di dalam komunitas yang baik, ia dapat belajar bersama; juga bisa meningkatkan mutu pelayanan sebagai pendidik.

Spiritual Solidaritas

Jika digabungkan dengan kata “solidaritas”, maka spiritual akan membentuk istilah baru: Spiritual Solidaritas.

Di sana ada nilai rohani di balik kata “solidaritas”. Salah satu aspek mendasar dari spiritualitas keagamaan, menurut Lovette-Colyer (2016), adalah solidaritas.

Solidaritas itu generalis

Solidaritas dalam bahasa berbeda dipahami sebagai kepedulian. Peduli terhadap sesama secara historis dialami manusia lintas usia dan generasi.

Masing-masing orang digerakkan oleh Roh yang sama. Karena sadar bahwa pada hakikatnya, manusia itu sama, sama-sama ciptaan Tuhan. Menjadi berbeda, karena masing-masing mempunyai keunikan sendiri.

Ilustrasi: Seni lukis di sebuah dinding sekolah di Paroki Atsj, Keuskupan Agats, Papua. (Mathias Hariyadi)
Ilustrasi: Seorang Suster OSA menjadi guru PAUD tengah mengajar di sebuah sekolah Katolik di Nanga Mahap, Keuskupan Sanggau, Kalbar. (Dok. Sr Ludovika OSA)

Ini tentang Spiritual Solidaritas

Spiritual Solidaritas mendorong orang melakukan kebaikan terhadap sesama. Para pendidik yang peduli menaruh jiwanya bagi karya pendidikan.

Mereka bekerja melayani dengan sepenuh hati guna memajukan dan mencerdaskan anak-anak bangsa.

Para guru yang mempunyai rasa solider kuat akan dengan sukacita pula mau membantu para murid bertumbuh kembang. Bukan hanya fokus pada pengembangan kompetensi, tetapi juga sikap-sikap hidup baik yang perlu dimiliki.

Ilustrasi: Suster ADM mengajar di kelas. (ist)
Ilustrasi: Sr. Alfonsa Triatmi PMY mengajari anak-anak praktik bertani ramah lingkungan kepada BIAK dan REKAT di halaman Biara PMY Wonosobo, Keuskupan Purwokerto, Jateng. (Dok. Kongregasi Suster PMY Indonesia)

Sebagai catatan akhir, penulis menyimpulkan pentingnya peran Spiritual Solidaritas dalam mengembangkan karya pendidikan.

Spiritualitas yang kuat di dalam diri dan pribadi para pendidik -termasuk Joni- berpengaruh sangat signifikan. Dalam pemberian diri guna melayani peserta didik dengan sepenuh hati.

Kedewasaan spiritual menjadi salah satu modal solusi rohani dalam pendampingan edukatif terhadap peserta didik.

Para pendidik yang mempunyai Spiritual Solidaritas dapat menunjukkan kualitas rasa peduli terhadap peserta didik.

Semoga karya pendidikan di Indonesia semakin maju. Juga semakin berkembang dengan adanya para pendidik yang mempunyai Spiritual Solidaritas yang kuat.

Itu karena mereka merasa siap secara pribadi dan rohani untuk mau mendidik dan melayani anak-anak bangsa.

21 COMMENTS

  1. Trm kasih Rm Bei share nya, memang sangat perlu Sprititual Solidaritas seorang pendidik. Karena Gurulah ujung tombak keberhasilan peserta didik, mereka harus senangat, kreatif, berwawasan, sangat berbahaya jika seorang guru LEMOt, semoga para pendidik dibawah naungan MPK/KAJ penuh senangat, tentu saja berkat sering mendapat sharing dari Romo Bei. Tuhan memberkati.

  2. Terima kasih Rm. Bei atas tulisan sharing yg menginspiratif pembacanya. Ini benar2 kadang pengalaman realitas seorang pendidik di hadapkan dgn para anak didiknya

  3. Selamat pagi Romo, terima kasih atas inspirasinya. Apakah kalau mudah marah kepada peserta didik juga termasul low spiritual solidaritas Romo?
    Karena perilaku anak² kita saat ini memancing suara saya berubah jadi menakutkan.. ???

  4. Terima kasih Romo Bei. Tulisan Romo memberikan semangat untuk selalu bangkit dalam kondisi sesulit apapun. Terima kasih Romo. Semoga selalu diberikan rahmat Sehat. Berkah Dalem.

    • Terima kasih Rm. Bei atas tulisan sharing yg menginspiratif pembacanya. Terima kasih tulisan Romo memberikan semangat untuk selalu bangkit dalam kondisi sesulit apapun. Terima kasih Romo.

  5. Terimakasih romo Bei tulisan yang sangat menginspirasi. pendidik yang sebaiknya memiliki spiritualitas solidaritas.

    .

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here