Gus Mus: Pemuda Jangan Bermental Miskin

0
3,063 views

Budayawan KH Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus mengajak generasi muda, termasuk pelajar untuk tidak bermental “miskin” dan tidak berlaku berlebihan dalam kehidupan.

“Sekarang ini banyak orang ’miskin’, rumahnya gedung tapi masih ikut antre bantuan langsung tunai (BLT),” katanya, saat “Pemantapan Wawasan Kebangsaan Bagi Siswa SMA se-Jawa Tengah”, di Semarang, Senin.

Ada pula, kata kiai yang dikenal juga sebagai pelukis dan penyair itu, pejabat tinggi yang punya banyak uang, namun masih tetap berbuat korupsi, berarti menandakan bahwa orang semacam itu bermental “miskin”.

Ia membandingkan dengan sosok petani desa yang makan seadanya dengan sambal dan ikan asin, namun tidak pernah mencuri milik orang lain atau menyakiti sesama, berarti orang semacam itu sebenarnya “kaya”.

Karena itu, budayawan yang humoris itu mengingatkan generasi muda jangan meniru mental “miskin” yang dimiliki orang-orang tua sekarang yang cenderung mencintai keduniaan sampai kehilangan akal sehatnya.

Selain tidak boleh bermental “miskin”, kata pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin Rembang itu, dalam hidup harus bersikap “sak madya”, artinya berlaku secukupnya dalam berbagai aspek kehidupan.

“Cinta harta ya ’sak madya’, cinta jabatan ya ’sak madya’, dalam beribadah juga ’sak madya’, jangan berlebihan,” kata Gus Mus.

Ia menyinggung organisasi-organisasi keagamaan ekstrim yang tidak sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun ternyata banyak anak-anak muda yang tertarik mengikuti organisasi semacam itu.

“Paham organisasi ekstrim seperti itu bagusnya di mana? Namun kenapa laku juga dan banyak anak-anak muda ikut? Ini menandakan generasi muda ternyata miskin. Miskin secara spiritual,” kata Gus Mus.

Senada dengan itu, Gubernur Jateng Bibit Waluyo menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini terjebak dalam empat krisis, yakni krisis jatidiri, krisis ideologi, krisis karakter, dan krisis kepercayaan.

Menurut dia, penyebab munculnya empat krisis yang melanda bangsa itu disebabkan berbagai faktor, antara lain globalisasi yang membawa pengaruh terhadap aspek ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat.

“Secara ekonomi masyarakat kian konsumtif, secara budaya membuat masyarakat kian glamour, dan sikap solidaritas yang dulu dijunjung kini berubah menjadi individualitas, serba instan dan tidak kreatif,” katanya.

Faktor lainnya, kata Bibit, reformasi yang berjalan tidak jelas, kebebasan yang tanpa batas, dan implementasi otonomi daerah yang cenderung eksklusif, mengabaikan hirarki hubungan bupati/wali kota dengan gubernur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here