BAGAIMANA sebenarnya isi ‘konlfik’ antara Curia Generalis SJ dengan Curi Vaticana ketika Tahta Suci di bawah kendali mendiang Beato Paus Johannes Paulus II?
Di kalangan internal Curia SJ waktu itu, sudah mulai terpikirkan bahwa acting Superior General yang akan melaksanakan tugas dan tanggungjawab Superior Generalis adalah “wakil” Pedro Arrupe SJ yakni Pater Vincent O’Keefe, seorang Jesuit berdarah Amerika dan sudah lama malang melintang di Curia SJ.
Namun apa lacur, Tahta Suci justru melempar “sauh” untuk bisa berlabuh lebih cepat di markas besar Curia SJ di Jl. Borgo Spirito 5 yang hanya selemparan batu dari Lapangan Santo Petrus di Vatikan.
Mendiang Beato Paus Johannes Paulus II menentukan pilihannya sendiri agar SJ –ketika terjadi “vacuum of power” dengan tidak mampunya Pedro Arrupe menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai Jenderal—tetap bisa berkiprah. Tentu saja dengan harapan besar, Curia SJ tetap menunjukkan sikap loyalitas dan ketaatannya kepada Gereja melalui Pontifex Maximus alias Sri Paus.
Pilihannya jatuh ke atas pundak Pater Paolo Dezza SJ.
Campur tangan Vatikan
Tindakan Paus sedikit “campur tangan” dalam urusan internal Curia SJ inilah yang kemudian disikapi oleh respon “kurang berkenan” di kalangan SJ pada waktu itu. Apalagi, ketika sebagai “administrator temporarum” Delegatus Kepausan untuk SJ Pater Paolo Dezza menggunakan kewenangannya untuk memanggil semua Provinsial SJ dari seluruh dunia untuk melakukan “Sidang Umum”.
Serangkaian Sidang Umum inilah yang akhirnya dikenal sebagai Kongregasi Jenderal ke-33. Hasil dari Kongregasi Jenderal ke-33 inilah yang kemudian menghantarkan Pater Peter-Hans Kolvenbach SJ dari Beirut menjadi Superior Generalis yang baru.
Kalau tak salah ingat, selain Provinsial SJ Provinsi Indonesia waktu itu yakni Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, yang ikut menghadiri Konggregasi Jenderal ke-33 di Roma adalah mendiang Romo A. Soenarja SJ (mantan Provinsial SJ pribumi pertama) dan Romo F. Danuwinata SJ, mantan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta dan Rektor USD Yogyakarta.
Meski ada aroma ketidaksenangan SJ terhadap keputusan Paus “mengirim” Pater Paolo Dezza menjadi administrator SJ sementara, namun dari dirinya sendiri Pater Pedro Arrupe SJ tidak pernah menunjukkan sikap berontak atau protes terhadap keputusan Paus Johannes Paulus II tersebut. Inilah barangkali sikap loyalitas dan ketaatan penuh seorang Jesuit yang harus ditunjukkan kepada Gereja melalui Pontifex Maximus sebagaimana selalu diucapkan dalam kaul keempatnya dalam pengucapkan profesi kekalnya sebagai seorang Jesuit.
Pada masa-masa inilah muncul istilah Paus Hitam dan itu ditujukkan baik kepada Pedro Arrupe SJ selaku Superior Generalis Curia SJ dan pemangku administrator sementara Pater Paolo Dezza SJ.
Sebagai seorang Jesuit, mereka sama-sama mengenakan jubah hitam. Dan karena pengaruhnya yang besar –kadang melebihi batas territorial di luar Sungai Tiber dan Roma—maka tak jarang, kepada para Jesuit pemakai jubah hitam inilah sering muncul sebutan bernada ejekan sekaligus hormat: Paus Hitam.
Pater Paolo Dezza SJ sendiri jelas bukan pastur biasa. Dia adalah orang besar tidak hanya di lingkaran internal Curia SJ di Borgo Spirito 5, melainkan juga di lingkaran Vatikan.
Jesuit berpengaruh di Vatikan
Lahir di Parma, Italia (13 Desember 1909-17 Desember 1999), Kardinal Paolo Dezza adalah mantan Rektor Universitas Kepausan Gregoriana di Roma ketika era kepemimpinan Paus Pius XII. Dia menjadi Bapa Pengakuan Dosa untuk Paus Paulus VI dan kemudian Paus Johannes Paulus I dan malah menjadi semacam mentor bagi Paus Johannes Paulus II.
Bersama koleganya sesama SJ yakni Giusseppe Pittau SJ inilah, Paus Johannes Paulus II menugaskan Paolo Dezza memimpin SJ saat masa-masa “kevakuman” karena Pedro Arrupe sakit stroke. Pilihan Paus jatuh ke tangan Paolo Dezza SJ dan Giuseppe Pittau SJ agar memimpin Curia SJ, karena Gereja Katolik Semesta dilanda kehebohan dan kebingungan luar biasa atas sikap puluhan dan mungkin ratusan Jesuit di Amerika Latin yang mempraktikkan teologi pembebasan dan hal itu seakan mendapat restu dari Superior General mereka: Pedro Arrupe SJ.
Sikap Curia SJ sebagaimana ditunjukkan oleh Pedro Arrupe SJ jelas membuat gusar Vatikan, terutama para teolog konservatif yang melihat teologi pembebasan sebagai hal yang membahayakan bagi Gereja karena para tokohnya mulai terlibat dalam politik praktis. Untuk membendung gerakan liberal di kalangan SJ sekaligus mengendalikan dari dalam Curia SJ, maka dipilihlah Paolo Dezza SJ dan Giuseppe Pitau SJ untuk memimpin Curia SJ. Dan sakit stroke Pedro Arrupe sepertinya menjadi momentum penting bagi Curia Vatikan untuk sekali lagi bisa “menjinakkan” Curia SJ dari tangan-tangan para Jesuit liberal.
Kini, mulai tanggal 13 Maret 2013, Tuhan telah mengutus Paus Hitam bernama Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ –Uskup Agung Buenos Aires di Argentina—menjadi Paus Putih di Vatikan.
Dan sekarang pun, orang mulai bertanya-tanya penuh menyelidik: akan terjadi apa dengan Gereja Katolik Semesta ketika seorang Paus Hitam berjubah Putih sekarang mulai mengendalikan Vatikan? (Bersambung)