“Habis Gelap, Terbitlah Terang”, Warisan Apik RA Kartini

0
446 views
Ilustrasi: “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, warisan apik RA Kartini. (Ist)

INI surat tertanggal 19 Maret 1953, ditulis oleh Francis Crick dan ditujukan kepada puteranya yang bernama Michael Crick.

Di dalamnya berisi sebuah pesan akan indahnya penemuannya atas penguraian stuktur DNA, salah satu memoar terbaik The Letters of Ernest Hemingway: Volume 1, 1907-1922, hingga surat Martin Luther King Jr. yang mengharukan dari Penjara Birmingham.

Di situ pula terdapat surat-surat Raden Ajeng Kartini sebagai bagian dari teks-teks sejarah berpengaruh di dunia.

Orang mengenal Kartini lebih banyak justru sebagai pengarang melalui karangan-karangannya, baik dalam bentuk surat, catatan harian, puisi maupun prosanya. (Pramoedya Ananta Toer, 2012:202)

Mengarang. Profesi itulah satu-satunya menjadi kekuatan minimal yang dipunyai Kartini. Sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan sebagaimana halnya dengan Kartini. Kartini begitu menginsyafi bahwa kepengarangan adalah tugas sosial dan keinsyafan. (Pramoedya Ananta Toer, 2012: 5).

Surat-surat Raden Ajeng Kartini menjadi salah satu pemikiran tertulis paling inspiratif sepanjang masa.

Diperingati setiap tanggal 21 April sebagai Hari Kartini, Raden Ajeng Kartini tidak akan dikenal, karena pertempuran epiknya melawan pemerintah kolonial atau kekuatan fisiknya dalam memerangi penindas Indonesia.

Melainkan dirayakan atas pemikiran visionernya tentang kemanusiaan dan kesetaraan yang menginspirasi banyak gerakan dalam memproklamirkan persamaan hak dan persatuan Indonesia melawan pemerintah kolonial. 

Belajar dari berbagai media, Kartini menulis untuk beberapa majalah dan surat kabar Belanda, seperti pernyataan Th. Sumartana dalam bukunya Mission at the Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936.

… Kartini relied heavily on the information and guidance of her Dutch friends. Concerning the problem of her own people, however Kartini procured information from her own experience, her father and her siblings.

It is interesting that as much as Kartini relied on the Dutch for information, her writings were highly critical of them. (Th. Sumartana, 1991: 271)

… Kartini sangat bergantung pada informasi dan bimbingan dari teman-teman Belandanya. Mengenai masalah bangsanya sendiri, namun Kartini memperoleh informasi dari pengalamannya sendiri, ayah dan saudara-saudaranya.

Menarik, bahwa meskipun Kartini mengandalkan Belanda untuk mendapatkan informasi, tulisan-tulisannya sangat kritis terhadap mereka.

Influenced by Dutch feminists, Kartini wrote passionately for improvement of education, public health, economic welfare and traditional arts her country (Hurights Osaka, 2009:2)

Dipengaruhi oleh kaum feminis Belanda, Kartini menulis dengan penuh semangat untuk peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, kesejahteraan ekonomi dan seni tradisional negaranya.

Kesetaraan jender

Dalam publikasi tahun 1991, JH Abendanon memperkenalkan Kartini kepada publik sebagai perempuan muda dengan pemikiran serius tentang isu-isu seperti poligami, perkawinan anak, pendidikan kejuruan, dan peran perempuan sebagai ibu dan perselisihan ras dalam kehidupan kolonial. 

Topik-topik yang ditulis Kartini untuk media Belanda itu menarik perhatian dari seluruh dunia untuk lebih mendalami pemikirannya. Dua sahabat surat menyurat Kartini yaitu EH Zeehandelaar (Stella) dan Ibu Nellie Van Kol mendukung, memberinya semangat, dan mengusahakan beasiswa Belanda untuk Kartini dan adiknya, Rukmini.

Meskipun dia mempertahankan kegigihan dan argumennya tentang betapa besar peluang itu untuk memperluas pengetahuannya, keluarganya menentang dan memaksanya untuk menolak peluang ini. Raden Ajeng Kartini: Indonesia’s Feminist Educator by Hurights Osaka in Focus, June 2009 menyatakan:

She also explained that the purpose of formal education is not merely to learn the Dutch language. She argued that knowledge of the Dutch language by itself does not represent cultural refinement, that being civilized consists of something more than simply speaking Dutch, or superficially adopting Dutch manners, and even less in wearing Dutch clothes.

Knowledge of Dutch language is the key which can unlock the treasure houses of western civilization and knowledge; one has to exert oneself to appropriate some of that treasure for oneself.

She criticized the Javanese culture’s hierarchical nature, where younger siblings had to serve older ones and where norms dictated elaborate rituals of hierarchy. (Hurights Osaka 2009:3).

Ia juga menjelaskan bahwa tujuan pendidikan formal bukan semata-mata untuk mempelajari bahasa Belanda, karena bahasa Belanda dengan sendirinya tidak mewakili penyempurnaan budaya.

Dan bahwa menjadi beradab lebih dari sekadar berbicara bahasa Belanda, atau secara dangkal mengadopsi tata krama Belanda, serta mengenakan pakaian Belanda.

Pengetahuan bahasa Belanda dianggap Kartini sebagai  kunci untuk membuka peradaban dan pengetahuan Barat; dan seseorang harus bersedia mengerahkan diri dan upaya untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Ia mengkritik sifat hierarkis budaya Jawa, di mana adik-adik harus melayani yang lebih tua dan norma-norma ritual hierarki yang rumit.

Meski tidak bisa kuliah di luar negeri, Kartini terus bergerak dan menyumbangkan pemikirannya melalui karya sastra hingga akhir hayatnya.

The Letters of Javanese Princess adalah kompilasi korespondensi Kartini kepada teman-temannya di Eropa semasa hidupnya yang diterbitkan sekitar 17 tahun setelah kematiannya pada tahun 1904.  

Berbahasa asli Belanda, kompilasi korespondensi berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers dengan kata pengantar oleh Louis Couperus.  

Buku ini menginspirasi banyak pembaca Belanda, sebagaimana Jean Gelman Taylor dalam Letters from Kartini, An Indonesian Feminist, 1900-1904 oleh Joost Cote dalam The Journal of Asian Studies Vol 53 No 1, menyatakan: 

The letters of Raden Ajeng Kartini to Rosa Abendanon-Mandri bring their readers the satisfactions peculiar to collected correspondence, immersion in the daily details of a life, as well as in the inner journey of the self over a span of years. From Kartini’s letters we learn much about the web noble families in the Javanese arm of the colonial civil service. (1994: 279)

Surat-surat Raden Ajeng Kartini kepada Rosa Abendanon-Mandri memberikan kepuasan tersendiri bagi para pembacanya akan detil kehidupannya sehari-hari hingga perjalanan batinnya selama bertahun-tahun.  

Jaringan keluarga bangsawan 

Dari surat-surat Kartini, kita belajar banyak tentang jaringan keluarga bangsawan di tangan pegawai negeri kolonial Jawa, pemikirannya tentang isu-isu sosial yang melampaui usia, waktu, agama, budaya, dan banyak hal dalam masyarakat Kartini yang mengganggu, menggerakkan, serta membentuk kepribadiannya.

Semua itu pada akhirnya, menjadikan Kartini sebagai salah satu perempuan Indonesia yang paling inspiratif dalam mematahkan ketidakadilan, memperjuangkan hak asasi manusia, dan emansipasi wanita.  

Semoga Kartini menginspirasi kita dalam melawan ketidakadilan, membela hak asasi, dan emansipasi wanita, karena hingga sekarang, ketidakadilan, penindasan hak asasi, serta ketidaksetaraan wanita masih ada dalam masyarakat kita. 

Sumber:

  • Hurigts, Osaka. 2009. “Raden Ajeng Kartini: Indonesia’s Feminist Educatory”, Focus. Volume 56. June.
  • Sumartana, Th. 1991. Mission at The Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  • Rahadianto, Desiderius Alrin. 2015. “Kartini Thoughts on Social Issues in Letters of A Javanese Princess: A Hermeneutic Approach”, Surabaya.
  • Taylor, Jean Gelman. 1994. “Letters from Kartini, An Indonesian Feminist, 1900-1904 by Joost Cote”. The Journal of Asian Studies, Vol 53 No 1. February. pp. 279-281, Association for Asian Studies. Melbourne.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here