[media-credit name=”bestpicturegallery.com” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]DI lereng Long’s Peak di Kolorado terdapat reruntuhan sebuah pohon raksasa.
Para ahli ilmu hayat mengatakan bahwa pohon tersebut sebelumnya pernah hidup selama empat ratus tahun.
Pohon itu mulai tumbuh ketika Columbus mendarat di San Salvador dan tumbuh setengah umur tatkala kaum Pilgrims (Puritan Inggris) menduduki Playmouth pada tahun 1620.
Selama masa hidupnya yang panjang itu, pohon raksasa tersebut telah disambar petir empat belas kali dan diserang badai serta salju longsor beribu-ribu kali.
Hal itu terjadi selama empat abad. Pohon itu tetap hidup dan berdiri dengan megah. Akan tetapi akhirnya pohon raksasa tersebut tumbang dan roboh menggeletak rata dengan tanah setelah diserbu oleh pasukan militer kumbang kayu.
Kumbang-kumbang yang badannya amat kecil bila dibandingkan dengan pohon raksasa tersebut mampu mengalahkan pohon yang kuat perkasa. Serangga kecil itu melobangi batangnya sedikit demi sedikit namun tak kunjung berhenti sampai akhirnya pohon raksasa itu kehilangan kekuatannya.
Pohon raksasa yang gagah perkasa tidak mempan disambar petir, tak goyang diserang badai, tak lapuk dimakan usia, akhirnya roboh dan hancur hanya karena diserang kumbang – serangga kecil yang dapat kita bunuh dengan menggunakan satu jari saja. Kisah ini bisa dibaca dalam Petunjuk Hidup Tentram dan bahagia tulisan Dale Carnigie (1888 – 1955)
Perhitungkan hal sepele
Hal sepele yang seharusnya tidak diperhitungkan itu malah justru bisa mengganggu kehidupan kita. Dalam biografi orang terkenal dapat dipelajari, betapa banyak orang kuat yang akhirnya mati atau kalah dengan hal-hal yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Alexander Agung (356 s.M –323 s.M), Julius Caesar (100 s.M – 44 s.M), Jengis Khan (1162 – 1227) dan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) mangkat bukan karena perang besar, melainkan karena penyakit atau kelelahan.
Padahal, cita-cita seorang satria harusnya mati di medan laga. Berbahagialah Bisma, dalam Mahabharata tulisan C. Rajagopalachari dan Achilles dalam Illiad tulisan Homerus serta Winnetou dalam End of Winnetou tulisan Karl May, karena para pahlalwan itu gugur dalam medan laga.
Romo Mangunwijaya (1929 – 1999) pun tercapai cita-citanya, karena ketika wafat sedang menjalankan tugasnya sebagai penceramah yang pada waktu itu berbicara tentang “Buku dan Masa Depan Bangsa.”
Hilang orientasi
Sebagai manusia, tidak jarang dalam hidup ini kita kehilangan orientasi, karena memikirkan hal-hal yang remeh-temeh. Kita lihat saja, hidup sebagai pengkritik ternyata lebih mudah, dibandingkan sebagai pemuji.
Kalau ada satu lembar kertas putih bersih dan di sana ada satu titik noda hitam, maka orang akan dengan mudah melihat titik noda hitam tersebut.
Orang lebih terfokus pada titik noda hitam tersebut, sehingga melupakan satu lembar kertas putih bersih. Demikian pula, hidup kita itu diwarnai dengan masa lampau yang mungkin bersimbahkan dosa.
Oleh karena itu, pandangan kita ke depan menjadi kabur dan kita tidak jernih lagi melihat masa depan yang terbuka luas membentang. Kita lihat bagaimana seseorang yang mau keluar rumah tetapi Hand Phone-nya tertinggal, tentu saja akan sangat terganggu.
Tanpa kehadiran handphone, maka dirinya akan terganggu, bahkan dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan ini dan itu. Sarana yang semestinya membantu kita untuk memudahkan pekerjaan, malah mempersulit diri kita. Begitu pula dengan sarana yang namanya Air Conditioner.
Orang yang sudah terbiasa dan menggantungkan dirinya kepada Air Conditioner tersebut, akan merasa sulit jika tinggal di tempat yang panas. Ia akan terganggu dengan udara yang panas dan tidak bersahabat, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengeluh dan mengeluh.
Richard Carlson dalam “Don’t sweat the small stuff for men” ini mengajari kita untuk lebih rileks dalam menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini. Salah satu tulisan yang berbicara tentang kecemasan hati sungguh baik untuk disimak. Kita sering mencemaskan hal-hal kecil yang berhubungan dengan orang lain.
Kita menjadi cepat marah, terganggu, cemas dan tidak sabar atau heran mengapa orang berperilaku (atau tidak berperilaku) menurut cara yang kita anggap benar.
Dicontohkan bahwa seorang bapak membawa putrinya ke sebuah restoran dan melihat seorang pria yang mengeluh tentang pelayanan di restoran itu dengan nada yang sangat marah.
Dia berkata, “Bodoh sekali pelayan-pelayan itu,” Dia marah dan menganggap pelayanan di restoran itu buruk sekali. Pria itu tidak berpikir kalau si pelayan tersebut sedang melayani lusinan meja.
Saat itu tampaknya restoran sangat padat oleh pengunjung dan kekurangan pegawai. Pria itu marah di tempat dan saat yang seharusnya tidak perlu marah yang pada gilirannya bisa menimbulkan penyakit mental.
Christmas Carol
Untuk mengakhiri permenungan ini, saya menjadi ingat akan novel tulisan Charles Dickens (1812 – 1870) yang berjudul, “Christmas Carol” dan novelnya sudah di-film-kan. Novel ini menceriterakan tentang Ebenezer Scrooge, seorang rentenir London yang amat pelit.
Selama hidupnya dia amat terganggu dengan orang-orang yang meminjam uang darinya. Maka, setiap hari dia berusaha supaya uang itu dapat kembali dengan bunga yang mencekik. Dia mempunyai pandangan bahwa orang lain yang meminjam uangnya adalah sarana untuk memperkaya dirinya sendiri.
Saat menjelang Natal, Scrooge dikunjungi oleh roh dari rekan kerjanya yang terakhir yakni almarhum Marley, yang memperingatkan supaya peduli dengan kehidupan orang. Orang lain bukanlah sebagai gangguan, melainkan sebagai rekan ataupun mitra untuk hidup bahagia.
Malam itu, Marley memperlihatkan Natal yang telah lampau dan mengingatkan masa mudanya. Natal saat ini menunjukkan dia sebuah keluarga yang miskin tetapi bahagia yakni keluarga Cratchit.
Termasuk Tini Tim yang pincang. Kemudian ditunjukkan juga penglihatan dari Natal yang akan yang melukiskaan suatu kematian Scrooge dan orang-orang yang selama ini diberi pinjaman bersuka ria.
Ketika Scrooge bangun dari tidurnya pada Natal pagi, ternyata dirinya masih hidup serta sehat. Pada saat itulah, ia baru bisa bersyukur karena selama hidupnya telah menyia-nyiakan relasinya dengan sesama.
Dalam kisah ini, kita diingatkan kembali tentang Zakheus, pemungut cukai yang bertobat dan rela memberikan hartanya bagi orang lain yang telah diperasnya (Luk. 19: 1 – 10). Orang lain yang dulunya dianggap sebagai “gangguan” kini menjadi berkat. Maka, jangan mudah terganggu.