Renungan Harian
Jum’at, 16 April 2021
Bacaan I: Kis. 5: 34-42
Injil: Yoh. 6: 1-15
SUATU sore, saya kedatangan tamu seorang pemudi yang akan konsultasi. Saya duga dia akan konsultasi perkawinan.
Setelah sedikit berbasa-basi, dia bertanya: “Romo, menurut Romo, hidup yang saya jalani ini memanggul salib atau memanggul dosa?.”
“Lho memang ada apa dengan hidupmu?,” tanyaku.
“Romo, dua tahun lalu saya salah dalam berpacaran, sehingga saya hamil sebelum menikah. Ketika saya tahu bahwa saya hamil, dunia ini rasanya runtuh.
Saya sudah membayangkan banyak kesulitan yang akan saya hadapi. Saya gak tahu harus bagaimana menghadapi orang tua saya dan bagaimana dengan orang tua pacar saya, karena mereka adalah orang-orang terhormat di tempat saya. Pada saat itu saya masih membayangkan akan menghadapi ini berdua dengan pacar saya, jadi minimal ada teman.
Ketika saya mengatakan pada pacar saya bahwa saya hamil, spontan pacar saya ngomong supaya digugurkan saja. Itu karena dia belum siap untuk berumahtangga dan menjadi seorang ayah.
Waduh Romo, rasanya dunia runtuh lagi ketika mendengar apa yang dikatakan pacar saya. Padahal saya membayangkan dia bertanggungjawab dan akan menghadapi masalah ini berdua.”
“Lebih parah lagi Romo, orangtua saya marah besar dan meminta saya untuk menggugurkan kandungan ini.
Demikian pula orangtua pacar saya, dengan jelas tidak mau menerima saya dalam keadaan hamil. Tidak ada satu orang pun pada saat itu yang mengerti situasi saya.
Semua pada keputusan agar tidak menjadi aib bagi keluarga, maka saya harus menggugurkan kandungan.”
“Romo, air mata ini rasanya sudah kering. Berhari-hari saya menangis dan bingung. Saya tidak mau menggugurkan anak saya.
Saya tahu dan sadar bahwa saya telah berdosa, dan saya tidak ingin menambah dosa lagi.
Tetapi kalau saya tidak menggugurkan kandungan, berarti saya menimbulkan penderitaan bagi keluarga saya dan keluarga pacar saya.”
“Romo dalam situasi yang demikian entah dorongan dari mana, saya memutuskan untuk tidak menggugurkan kandungan.
Perasaan yang timbul adalah rasa cinta yang luar biasa pada anak dalam kandungan saya.
Ketika saya menyampaikan keputusan saya, orangtua marah besar. Dan saya harus keluar dari rumah.
Dan bukan hanya dari rumah Romo, saya harus pergi ke kota lain. Dan saya ambil risiko itu Romo.
Saya anggap semua itu sebagai silih atas dosa saya.”
“Perjalanan selanjutnya menjadi sungguh-sungguh amat sulit dan penderitaan luar biasa bagi saya. Masih untung (syukur pada Allah) masih ada yang mau mempekerjakan saya sehingga saya masih bisa menyambung hidup.
Saya bekerja sampai hari saya melahirkan. Saat saya melahirkan, tidak ada keluarga yang menemani. Mungkin juga tidak ada yang mendoakan saya.
Romo, sepekan setelah melahirkan, saya langsung bekerja. Karena saya butuh uang untuk hidup terutama untuk anak saya.
Setiap pagi saya bawa anak saya ke penitipan anak dan saya bekerja.
Sampai sekarang saya jalani hidup ini.
Romo, saya selalu berpikir dan selalu merenungkan bahwa saya sedang memanggul salib.
Pemikiran dan permenungan itu membuat saya kuat menjalani semua ini.
Saya juga tidak tahu Romo, kenapa perasaan saya jauh lebih tenang dan ada kebahagiaan dalam diri saya, meski saya mengalami penderitaan dan kesulitan yang membuat saya sering menangis.
Jadi Romo, kembali ke pertanyaan saya, apakah yang saya jalani ini memanggul salib atau memanggul dosa?,” gugatnya.
Saya sungguh-sungguh kagum dengan perjuangannya dan keberaniannya. Dan bagi saya amat sulit untuk menjawab pertanyaannya.
“Mbak, siapa saya sehingga saya bisa menentukan itu memanggul salib atau memanggul dosa. Hal penting dan membuat saya sungguh-sungguh kagum dan hormat pada Mbak adalah keberanian Mbak memutuskan untuk mempertahankan kandungan dengan konsekuensi penderitaan yang luar biasa.
Keputusan yang tidak mudah dan saya sendiri kalau berada dalam situasi seperti itu belum tentu berani membuat keputusan seperti itu.”
“Berikutnya menurut saya, Tuhan Yesus tidak akan terhina karena Mbak menyatukan penderitaan Mbak dengan penderitaan-Nya dan tidak ada yang salah dengan itu.
Apalagi dengan Mbak menyatukan penderitaan itu dengan penderitaan Yesus membuahkan rahmat besar dalam hidup; ada kedamaian, ada sukacita dan ada kekuatan.”
“Menurut saya, tidak penting mempertentangkan ini memanggul salib atau memanggul dosa. Bagi saya lebih baik melihat bahwa benar saya berdosa dan saya telah berdosa, tetapi saya yang berdosa ini dipanggil untuk hidup lebih baik bahkan didorong untuk mengambil resiko penderitaan yang luar bisa. Karena berani memutuskan untuk memperjuangkan dan menghargai kehidupan,” jawab saya.
Seseorang yang menemukan kebahagiaan dalam penderitaan luar biasa sebagai konsekuensi pilihan hidup yang mulia dengan menyatukan penderitaannya dengan penderitaan Yesus.
Sebagaimana pengalaman para rasul sejauh diwartakan dalam Kisah Para Rasul: “Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah aku mampu menemukan kebahagiaan dalam penderitaan?
Terima kasih Romo Iwan atas renungannya….
Sangat berkesan…..
Amen, di balik penderitaan pasti ada kebahagiaan ??