KEJADIAN yang kedua saya alami sewaktu kembali ke Novisiat dari tugas mengajar agama di Dusun Wringin Putih, Klepu, Paroki Girisonta, Ungaran.
Pada waktu itu saya tengah menemani Frater Markus mengadakan kunjungan keluarga dan mengajar agama di desa Wringin Putih sampai kira-kira pukul 19.00 malam. Biasanya Frater Markus mengajar –kalau tak salah ingat– bersama dengan Frater Warnobinardjo. Namun, karena Fr. Warno sedang mendapat tugas ke tempat lain maka saya diberi kesempatan untuk mengenal daerah lain selain desa Sambeng yang saya geluti selama menjadi novis di Girisonta.
Dengan ngepit (bersepeda) beriringan kami pulang lewat jalan setapak yang berkelok-kelok kira-kira berjarak 2 (dua) kilometer dari jalan raya. Frater Markus di depan dengan membawa senter, saya di belakang mengikuti jalurnya, tidak bisa cepat karena jalanan gelap karena tidak ada lampu jalanan, kadang-kadang menurun lalu menanjak, licin atau berbongkah-bongkah.
Di sebuah turunan sepeda Frater Markus sempat terpeleset dan jatuh, senter terlempar ke udara. Untung bahwa senter yang terlempar masih menyala, nyalanya berputar-putar indah di udara, sehingga sewaktu jatuh di tanah tahu jatuhnya dimana.
Setelah ngulat-ngulet sedikit melemaskan otot perjalanan dilanjutkan, Frater Markus tetap di depan karena membawa senter, saya tetap di belakang karena jalanan sempit sehingga sepeda tidak bisa berjalan berdampingan.
Waktu mendongak ke atas, langit saat itu terlihat agak aneh, disebelah kiri mendung tebal sedangkan di sebelah kanan justru cerah berbintang. Antara langit yang mendung dengan langit cerah berbintang seperti dibatasi dengan garis memanjang sepanjang langit yang kelihatan.
Setelah mengayuh sepeda beberapa saat kami tiba di tempat dimana jalan setapak agak gelap karena dinaungi pohon bambu yang tumbuh di sebelah kiri jalan, sedangkan di sebelah kanan jalan terlihat agak cerah karena merupakan tegalan tanaman singkong.
Frater Markus tiba lebih dulu di jalan setapak yang agak gelap itu, tiba-tiba dia mulai ngebut mengayuh sepedanya. Saya berteriak:” Hei, pelan-pelan dong..” tetapi Frater Markus tetap ngebut.
Ketika giliran saya sampai di bawah rimbunan pohon bambu itu, tiba-tiba saya terkesiap, bulu tengkuk berdiri…ada sesuatu yang menggetarkan hati. Saya menjadi waspada, untung saya pernah diajari untuk tidak mudah takut. Dalam pikiran saya, keadaan semacam ini hanya mungkin terjadi apabila disebabkan oleh dua hal, yang pertama karena kehadiran ‘macan’ atau yang kedua ‘sing mbaurekso’.
Kalau hal ini disebabkan oleh adanya sing mbaurekso saya yakin tidak ada masalah karena Tuhan Yesus lebih berkuasa, sedangkan kalau ada macan akan saya hadapi dengan cara menjatuhkan diri dari sepeda, dan sepeda akan saya gunakan sebagai perisai untuk menangkis serangan macan (bisa-bisanya saat itu saya berpikir seperti itu…).
Nggenjot sepeda semakin pelan, telinga saya buka lebar-lebar mencermati keadaan. Kalau suara berkerosak dari sebelah kiri saya akan menjatuhkan diri ke kanan, kalau suara dari sebelah kanan saya akan menjatuhkan diri ke kiri dan mengangkat sepeda ke atas badan.
Ternyata sampai dengan melewati tempat gelap tak terjadi suatu apa pun.
Bulu kuduk sudah tidak berdiri lagi, saya percepat sepeda saya untuk menyusul Frater Markus yang sudah jauh di depan, dan baru tersusul di jalan raya Karangjati, Klepu, Ungaran. Di jalan raya ada lampu jalanan cukup terang sehingga kelihatan wajah Frater Markus yang lebih putih dari biasanya.
Saya bertanya kepadanya:” Kenapa kok ninggalin saya, kamu kan yang bawa senter?”.
Frater Markus menjawab:” Wah…di bawah pohon bambu tadi aku takut sekali”.
Ternyata di tempat yang sama saya dan Frater Markus mengalami suasana yang mencengkam, mendirikan bulu kuduk. – Hantukah?
Pengalaman yang ke dua ini berbeda kualitasnya dengan yang pertama. Disini terasa ada energy yang sangat nyata mempengaruhi kondisi tubuh dan menimbulkan rasa tidak nyaman sampai bulu kuduk berdiri. Untung saya tidak mudah takut sehingga kesadaran diri masih berperan.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah: bagaimana mekanismenya sehingga suatu energy (seperti ini) dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, dan bisakah dipelajari? (Bersambung)
Photo credit: Pohon beringin di Gua Tabuh, Pacitan (Mathias Hariyadi) — ilustrasi
Artikel terkait:
Setelah baca ini,saya yg asli Wringinputih membayangkan kejadian itu di daerah mana ya???Apakah ini terjadi di dekat perkebunan karet itu? Saya ingat waktu saya kecil masih mengalami bagaimana para frater naik sepeda onthel dengan membawa senter dan jalannya pun masih batu2 besar itu.Kalo sekarang sih sdh banyak berubah, sdh banyak perumahan dan jalannya punsdh di aspal dan sdh terang benderang.
pasti konteks alaminya sudah banyak berubah mbak.
kami di sana tahun 84 saja pasti sudah berubah, ketika penulisnya di sana tahun 70-an