Renungan Harian
Senin, 22 November 2021
PW. St. Caecilia, Perawan dan Martir
Bacaan I: Dan. 1: 1-6. 8-20
Injil: Luk. 21: 1-4
IBU itu bagi banyak orang di paroki tidak dianggap sebagai seorang aktivis, karena tidak pernah terdaftar sebagai salah satu pengurus baik di lingkungan maupun paroki.
Ibu tidak juga pernah disebut sebagai donatur paroki, karena namanya tidak pernah disebut dalam daftar penyumbang bagi paroki bila ada kegiatan-kegiatan paroki.
Ibu itu seorang ibu rumah tangga biasa, sederhana tidak pernah kelihatan menonjol di paroki.
Namun demikian, saya melihat ibu itu melakukan banyak hal untuk paroki yang kiranya luput dari perhatian banyak orang.
Ibu itu selalu membereskan bunga-bunga hiasan di altar ketika sudah mulai layu, dan sering kali merangkai kembali dari bunga-bunga bekas rangkaian yang masih segar.
Ibu itu selalu dengan suka rela mencuci taplak-taplak altar, dan tirai-tirai dalam gereja. Bahkan tidak jarang ibu itu memberi tirai baru, yang kainnya dia beli sendiri, dijahit sendiri dan dipasang sendiri dengan bantuan koster paroki.
Ibu itu selalu dengan gembira menyiapkan masakan untuk para pastor bila pada hari itu yang memasak berhalangan dan bahkan ibu itu selalu siap memasak “ala kadarnya” bila di pastoran tidak ada kiriman.
Ibu itu pandai memasak, sehingga masakannya meski sederhana rasanya amat enak, sehingga menyenangkan.
Ibu itu menjadi “andalan” karyawan pastoran, bila harus menyediakan masakan.
Dari semua hal yang ibu itu lakukan, sebenarnya ibu itu melakukan banyak hal. Bahkan bisa disebut melakukan lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang disebut aktivis, dan ibu itu juga memberi banyak hal mungkin lebih banyak daripada mereka yang disebut donatur.
Hal yang membedakan, ibu itu tidak pernah disebut namanya dalam buku-buku paroki maupun ucapan-ucapan terima kasih di gereja.
Suatu ketika saya pernah berkomentar saat ibu itu sedang memasang tirai di gereja:
“Wah, ibu itu luar biasa ya, membeli kain sendiri, menjahit sendiri dan memasang sendiri. Belum lagi sering kali harus direpotkan untuk masak bagi para pastor.”
“Romo, saya itu punyanya hanya tenaga, jadi hanya ini yang dapat saya persembahkan,” jawab ibu itu.
Sikap ibu itu bagi saya seperti sikap seorang janda miskin yang memberi persembahan sebagaimana diwartakan dalam Injil Lukas:
“Tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.”
Bagaimana dengan aku?
Apa yang telah kupersembahkan?