PADA awal tahun 2021, media online www.tekno.kompas.com menyampaikan laporan hasil riset oleh layanan manajemen konten Hootsuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social.
Di situ terungkap, penggunaan media sosial di Indonesia telah meningkat 15,5 % dibanding tahun 2021. Perangkat praktis yang banyak digunakan oleh orang Indonesia adalah telepon pintar atau smartphone.
Peningkatan itu terjadi sebagai imbas terjadinya pandemi Covid-19 yang sampai sekarang juga belum ada tanda-tanda kapan akan berhenti.
Situasi wabah ini juga telah membatasi ruang tersedianya banyak kegiatan. Mobilitas orang terpasung.
Akibatnya, mayoritas orang terpaksa harus mau mengikuti prokes: tinggal di rumah saja. Sambil rebahan, mereka dapat cepat terhubung dengan teman, sahabat dan saudara dari berbeda belahan kota maupun negara.
Tentunya kenaikan pengguna medsos ini menjadi tanda kemajuan yang baik; bahkan hampir seluruh orang Indonesia memahami perkembangan teknologi komunikasi.
Dengan kata lain, tidak ketinggalan zaman atau menjadi mahkluk jadul. Mereka jadi lihai menggunakan berbagai platform media sosial.
Bertolak belakang
Hanya saja kita perlu mencermati fenomena berikut ini. Yakni, kemajuan yang baik ini rupanya berjalan seiring dengan makin banyak muncul penggunaan media sosial yang tidak benar dan bijak.
Kita mendengar dan tahu dari berbagai media online adanya berbagai penghinaan nama baik atau pun tanggapan yang tidak pantas terhadap suatu “berita”.
Mari kita cermati hal ini. Tentang kasus komentar yang tidak sepantasnya atas peristiwa duka tenggelamnya KRI Nanggala-402.
Seorang pemuda pemilik akun TikTok memberi komentar di video jogetnya menyatakan dirinya senang KRI Nanggala tenggelam. Bahkan ia sampai “nekad” mengimbau masyarakat untuk ikut hepi saja.
Komentar minus simpati dan empati ini langsung direspon keras oleh admin di jalur Instagram. Ia menuduh pemuda yang berkomentar negatif itu paling-paling hanya mencari pansos. Selebihnya bisa dilihat di tautan di bawah artikel ini.
Yang terjadi berikutnya sudah bisa diprediksi. Mayoritas netizen merespon juga tidak menyukai komentarnya.
Kata mereka, bukannya ikut berduka dan bersimpati bersama keluarga korban dan bangsa Indonesia, melainkan pencuit komentar itu malah menjadikan bencana itu sebagai bahan bercandaan.
Biasa, langsung minta maaf
Setelah komentarnya ditanggapi netizen dengan ramai dan menjadi viral, barulah pelaku buru-buru minta maaf secara publik. Dengan alasan, kata dia, tidak tahu. Juga tidak bermaksud memviralkan.
Video jogetnya sempat dihapus, tetapi rekam jejak digital tetap ada. Video tersebut terlanjur diunggah di media lain.
Yang terjadi berikutnya, kepolisian lalu turun tangan. Membereskan perkara ini.
Kasus-kasus macam ini masih banyak lagi.
Tak paham dengan UU ITE
Hal di atas semakin meyakinkan hal ini. Yakni, peningkatan jumlah pengguna media sosial belum diikuti peningkatan kesadaran yang baik.
Kesadaran penting bahwa menyampaikan komentar santun dan simpati itu penting dan bahkan juga perlu.
Padahal berbagai edukasi bermedsos dengan benar serta pentingnya UU no 19 tahun 2016 yakni Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa dengan mudah kita dapatkan di mesin pencari populer.
Sanksi hukum pidana jelas tertulis di UU ITE pasal 45 ayat 3.
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,-
Sayangnya, ancaman pidana ini kurang diketahui dan dipahami oleh kebanyakan orang. Terutama orang muda, remaja atau anak-anak di bawah umur yang kurang mendapat pendampingan, perhatian dan pengawasan orangtua atau lingkungan sekitarnya.
Minat mereka rata-rata hanya terpaku oleh keinginan besar mau melihat konten medsos teman. Ingin cek harga barang-barang yang dijual online.
Ingin nonton atau menciptakan video joget yang makin trending di TikTok.
Saksi kebenaran
Fenomena di kalangan pengguna media sosial ini mendapat perhatian Paus Fransiskus pada hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 55 bertema “Datang dan Lihatlah” (Yoh 1: 46).
Bapa Suci mengingatkan kita cara berkomunikasi yang baik dan intens. Yakni dengan menjumpai orang lain di luar sana apa adanya.
Bagaikan murid-murid Yesus kala itu, mereka berjalan mengikuti Yesus, mendengar dan mengamati-Nya berbicara serta mengajar di tengah orang banyak.
Juga seperti orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus; lalu orang itu memberitakan ke mana-mana. Murid-murid Yesus dan orang kusta itu telah menyaksikan kebenaran dan menceritakan pengalaman akan kebenaran tersebut.
Sama halnya dengan kita yang hidup di dunia modern dengan maraknya berbagai media sosial dan internet.
Kita bukan hanya bertemu dan melihat langsung seperti murid Yesus, tetapi bisa cepat membaca berbagai berita melalui media resmi dan menceritakan kembali dengan baik.
Internet menolong kita memperoleh berita sangat cepat.
Tapi ingat ya. Kita harus pintar-pintar memilih media yang terpercaya dan terverifikasi. Utamanya dalam layanan mereka memberi pengetahuan yang berguna bagi publik.
Karena itu, kita mestinya menghindari media yang informasinya kadang malah menyesatkan.
Paus Fransiskus mengingatkan bahwa semua dipanggil menjadi saksi kebenaran, melihat lalu berbagi informasi positif dan benar.
Dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, kita hentikan penyebaran segala komentar meresahkan, berita tidak akurat, maupun cerita hoaks.
Jika kita melihat postingan kalimat meresahkan, segera mengingatkan pemilik akun untuk memperbaikinya dengan kata-kata sopan.
Tunjukkanlah dan mengedepankan pesan baik, berita kebenaran, menyejukkan, damai dan yang mempersatukan ragam perbedaan antar sesama.
Ref:
- https://tekno.kompas.com/read/2021/02/24/08050027/riset-ungkap-lebih-dari-separuh-penduduk-indonesia-melek-media-sosial;
- https://www.instagram.com/p/CODdVUcllor/