22 Oktober 2023
“Hati berkobar-kobar, kaki bergegas pergi mewartakan Injil.“ (bdk. Luk. 24:13-35)
Saudara dan saudari terkasih,
Untuk Minggu Misi Sedunia tahun ini, saya telah memilih tema yang diilhami oleh kisah dua murid dalam perjalanan ke Emaus di Injil Lukas (bdk. 24:13-35): “Hati berkobar-kobar, kaki bergegas pergi mewartakan Injil.“
Awalnya kedua murid itu bingung dan cemas. Namun, perjumpaan mereka dengan Kristus dalam sabda dan pemecahan roti membangkitkan keinginan yang besar dalam diri mereka. Untuk berangkat kembali ke Yerusalem dan menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah bangkit.
Dalam kisah Injil, kita melihat perubahan pada diri murid-murid ini. Melalui beberapa gambaran yang tampak: hati mereka berkobar-kobar, ketika mereka mendengar Yesus menjelaskan Kitab Suci. Mata mereka terbuka mengenali-Nya dan akhirnya, kaki mereka bergegas melangkah pergi.
Dengan merenungkan ketiga gambaran ini -yang mencerminkan perjalanan semua murid yang diutus- kita dapat memperbarui semangat kita. Untuk penginjilan di dunia saat ini.
1. Hati kita berkobar-kobar, “ketika Dia menjelaskan Kitab Suci kepada kita”.
Dalam kegiatan-kegiatan misioner, sabda Allah mengubah dan menerangi hati. Dalam perjalanan dari Yerusalem ke Emaus, kedua murid itu putus asa, seperti terlihat pada wajah mereka yang muram, karena kematian Yesus yang mereka imani (bdk. ayat 17).
Dihadapkan pada kegagalan Sang Guru yang telah disalibkan, harapan mereka bahwa Dialah Sang Mesias telah runtuh (lih. ayat 21).
Kemudian, “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, Yesus sendiri yang mendekati mereka, lalu berjalan bersama dengan mereka.” (ayat 15). Seperti ketika Ia pertama kalinya memanggil para murid, saat itu juga -di tengah kebingungan mereka- Tuhan mengambil inisiatif.
Ia mendekati dan berjalan di samping mereka. Demikian pula, dalam belas kasih-Nya yang besar, Ia tidak pernah lelah menyertai kita; terlepas dari semua kegagalan, keraguan, kelemahan, dan kecemasan serta pesimisme yang membuat kita -orang-orang yang beriman kerdil- menjadi “bodoh dan lamban hati” (ayat 25).
Saat ini, seperti saat itu juga, Tuhan Yang Bangkit tetap dekat dengan para murid misionaris-Nya. Berjalan di samping mereka, terutama ketika mereka merasa bingung, putus asa, takut akan misteri ketidakadilan yang mengelilingi dan berusaha menguasai mereka. Maka, “Jangan biarkan diri kita kehilangan harapan.” (Evangelii Gaudium, 86).
Tuhan lebih besar dari semua masalah kita, terutama masalah-masalah yang muncul dalam misi kita untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Karena pada akhirnya, misi ini adalah milik-Nya dan kita tidak lebih dari rekan sekerja-Nya yang rendah hati, “hamba-hamba yang tidak berguna.” (bdk. Luk. 17:10).
Saya hendak mengungkapkan kedekatan saya di dalam Kristus kepada semua misionaris pria dan wanita di dunia, terutama kepada mereka yang sedang menanggung kesulitan dalam bentuk apa pun.
Teman-teman terkasih,
Tuhan Yang Bangkit selalu bersamamu. Ia melihat kemurahan hati dan pengorbanan yang Anda lakukan untuk misi penginjilan di negeri-negeri yang jauh. Hidup kita tidak selalu tenang dan tidak berawan.
Tetapi janganlah kita pernah lupa akan kata-kata Tuhan Yesus kepada sahabat-sahabat-Nya sebelum sengsaraNya: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh. 16:33).
Setelah mendengarkan kedua murid dalam perjalanan ke Emaus, Yesus Yang Bangkit, “mulai menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab Nabi-nabi.” (Luk. 24:27).
Hati para murid bergairah sebagaimana mereka kemudian saling mengungkapkan isi hati mereka: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, saat Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan saat Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (ayat 32).
Yesus sendiri adalah Sabda yang hidup, satu-satunya yang dapat membuat hati kita terbakar di dalam diri kita, ketika Ia menerangi dan mengubahnya.
Dengan cara ini, kita dapat lebih memahami ucapan Santo Hieronimus bahwa “ketidaktahuan akan Kitab Suci adalah ketidaktahuan akan Kristus.” (Penjelasan dalam Prolog –Yesaya).
“Tanpa Tuhan yang memperkenalkannya pada kita, mustahil bagi kita untuk memahami Kitab Suci secara mendalam; begitu pun sebaliknya: tanpa Kitab Suci, peristiwa-peristiwa misi Yesus dan Gereja-Nya di dunia tetap tidak terbaca.” (Aperuit Illis, 1).
Oleh karena itu, pengetahuan akan Kitab Suci penting bagi kehidupan Kristiani dan terlebih lagi untuk pewartaan akan Kristus serta Injil-Nya. Kalau tidak demikian, apa yang Anda sampaikan kepada orang lain jika bukan hanya sekadar ide dan proyek Anda sendiri? Hati yang dingin tidak akan pernah bisa membuat hati lain terbakar.
Untuk itu marilah kita tanpa ragu selalu membiarkan diri kita ditemani oleh Tuhan Yang Bangkit saat Dia menjelaskan kepada kita arti Kitab Suci.
Semoga Dia membuat hati kita berkobarkobar di dalam diri kita. Semoga Ia menerangi dan mengubah kita, sehingga kita dapat mewartakan misteri keselamatan-Nya kepada dunia dengan kuasa dan hikmat yang berasal dari Roh-Nya.
2. Mata kita “terbuka dan mengenali-Nya”, saat pemecahan roti.
Yesus dalam Ekaristi adalah sumber dan puncak misi.
Kenyataan bahwa hati mereka berkobar-kobar karena firman Tuhan mendorong dua murid Emaus untuk meminta Si Pengelana misterius tinggal bersama mereka saat malam semakin dekat. Ketika mereka berkumpul di sekitar meja perjamuan, mata mereka terbuka dan mereka mengenali-Nya saat Dia memecahkan roti.
Unsur penentu yang membuka mata para murid adalah urutan tindakan yang dilakukan Yesus: Dia mengambil roti, memberkatinya, memecahkannya dan memberikannya kepada mereka.
Itu adalah gerakan yang lazim dilakukan seorang kepala ruma tangga Yahudi, tetapi, ketika itu dilakukan oleh Yesus Kristus dengan rahmat Roh Kudus, gerakan itu dibarui bagi kedua rekan seperjamuan-Nya, simbol penggandaan roti dan terutama simbol Ekaristi, sakramen kurban salib.
Namun, pada saat mereka mengenali Yesus yang sedang memecahkan roti, “Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.” (Luk. 24:31).
Di sini kita dapat mengenali realitas esensial dari iman kita: Kristus yang memecahkan roti, sekarang menjadi Roti yang dipecahkan, dibagikan kepada para murid dan dimakan oleh mereka.
Ia tidak terlihat lagi, karena sekarang Dia telah memasuki hati para murid, untuk membuat mereka semakin terbakar, sehingga mendorong mereka bergegas pergi untuk berbagi dengan semua orang pengalaman unik mereka berjumpa dengan Tuhan Yang Bangkit.
Maka, Kristus Yang Bangkit adalah Orang yang memecahkan roti, dan pada saat yang sama, merupakan Roti itu sendiri, terpecah bagi kita.
Oleh karena itu, setiap murid yang diutus dipanggil untuk menjadi seperti Yesus dan di dalam Dia melalui karya Roh Kudus, sebagai orang yang memecahkan roti dan orang yang menjadi roti yang terpecah bagi dunia.
Di sini harus diingat bahwa membagikan roti milik kita kepada orang yang lapar dalam nama Kristus sudah merupakan sebuah karya misi Kristiani. Terlebih lagi pemecahan roti Ekaristi, yaitu Kristus sendiri, merupakan sebuah karya misi yang luar biasa (par excellence), karena Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan dan misi Gereja.
Seperti yang ditunjukkan oleh Paus Benediktus XVI:
“Kita tidak dapat menyimpan sendiri kasih yang kita rayakan dalam Sakramen [Ekaristi]. Pada dasarnya, kasih itu menuntut untuk dikomunikasikan kepada semua orang. Yang dibutuhkan dunia adalah kasih Allah, untuk berjumpa dengan Kristus dan percaya kepada-Nya. Untuk alasan inilah Ekaristi bukan sekadar sumber dan puncak kehidupan Gereja; Ekaristi juga merupakan sumber dan puncak misi Gereja: ‘Gereja Ekaristi yang otentik adalah Gereja misioner’.” (Sacramentum Caritatis, 84).
Untuk menghasilkan buah, kita harus tetap bersatu dengan Yesus (bdk. Yoh. 15:4-9). Persatuan ini dapat dicapai melalui doa harian, khususnya dalam adorasi Ekaristi, saat kita berdiam diri di hadirat Tuhan, yang tinggal bersama kita dalam Sakramen Mahakudus.
Dengan penuh kasih memupuk persekutuan dengan Kristus, murid yang diutus dapat menjadi seorang mistikus dalam perbuatan. Semoga hati kita selalu merindukan persekutuan dengan Yesus, menggemakan permohonan yang berapi-api dari kedua murid Emaus, terutama di malam hari, “Tinggallah bersama kami, Tuhan.” (bdk. Luk. 24:29).
3. Kaki kita bergegas pergi, dengan sukacita menceritakan kepada orang lain tentang Kristus Yang Bangkit.
Keabadian masa muda sebuah Gereja yang selalu pergi keluar.
Setelah mata mereka terbuka dan mereka mengenali Yesus “sedang memecahkan roti”, para murid “lekas-lekas berangkat dan terus kembali ke Yerusalem.” (bdk. Luk. 24:33).
Ketergesa-gesaan untuk berbagi dengan orang lain akan sukacita berjumpa Tuhan, menunjukkan bahwa “sukacita Injil memenuhi hati dan seluruh hidup mereka yang berjumpa dengan Yesus. Mereka yang membiarkan diri mereka diselamatkan oleh-Nya untuk dibebaskan dari dosa, kesedihan, kekosongan batin, dan keterasingan. Bersama Yesus Kristus, sukacita selalu lahir dan lahir kembali” (Evangelii Gaudium, 1).
Seseorang tidak dapat benar-benar menjumpai Yesus Yang Bangkit tanpa dibakar dengan antusiasme untuk mewartakan-Nya pada semua orang.
Oleh karena itu, sumber utama dan dasar dari misi adalah orang-orang yang telah mengenal Kristus Yang Bangkit di dalam Kitab Suci dan di dalam Ekaristi, yang membawa api-Nya di dalam hati mereka dan terang-Nya di dalam tatapan mereka.
Mereka mampu menjadi saksi akan hidup yang tidak pernah mati, bahkan di dalam situasi-situasi tersulit dan di saat-saat tergelap sekalipun.
Gambaran “kaki yang bergegas pergi” mengingatkan kita sekali lagi akan keabsahan abadi misi kepada segala bangsa (missio ad gentes), misi yang dipercayakan kepada Gereja oleh Tuhan Yang Bangkit untuk menginjili semua orang dan bangsa, bahkan sampai ke ujung bumi.
Saat ini, lebih dari sebelumnya, keluarga manusia kita yang terluka oleh begitu banyak situasi ketidakadilan, perpecahan dan peperangan, membutuhkan Kabar Baik tentang perdamaian dan keselamatan di dalam Kristus.
Saya menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan kembali bahwa “setiap orang berhak menerima Injil. Umat Kristiani berkewajiban untuk memberitakannya tanpa mengecualikan siapa pun, bukan sebagai orang yang memaksakan kewajiban baru, tetapi sebagai orang yang berbagi sukacita, yang menunjukkan suatu cakrawala yang indah, dan menawarkan suatu perjamuan yang menggiurkan” (Evangelii Gaudium, 14).
Pertobatan misioner tetap merupakan tujuan utama yang harus kita tetapkan bagi diri kita sendiri baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, karena “paradigma misioner merupakan model bagi semua kegiatan Gereja” (ibid., 15).
Seperti yang ditegaskan oleh Rasul Paulus, kasih Kristus menguasai dan mendesak kita (bdk. 2 Kor. 5:14). Kasih ini rangkap: kasih Kristus bagi kita, yang memanggil, mengilhami dan membangkitkan kasih kita untuk-Nya.
Sebuah kasih yang membuat Gereja secara terus-menerus berangkat pergi dengan cara baru, selalu muda. Kepada semua anggotanya dipercayakan misi pewartaan Injil Kristus, dengan keyakinan bahwa “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (ayat 15).
Kita semua dapat berkontribusi pada gerakan misioner ini melalui doa-doa dan kegiatan-kegiatan kita, dengan persembahan materi dan penderitaan kita, serta dengan kesaksian pribadi kita.
Serikat Misi Kepausan adalah sarana istimewa untuk memupuk kerja sama misioner ini baik di tingkat spiritual maupun material.
Oleh karenanya, kolekte yang terkumpul pada Minggu Misi Sedunia dikhususkan untuk Serikat Kepausan untuk Penyebaran Iman. Urgensi kegiatan misioner Gereja tentunya menuntut kerja sama misioner yang semakin erat di semua pihak anggotanya dan di setiap tingkatan.
Ini adalah tujuan penting dari perjalanan sinode yang telah dilakukan Gereja, dipandu oleh kata kunci: persekutuan, partisipasi, dan misi.
Perjalanan ini tentu saja bukan berarti Gereja berbalik pada dirinya sendiri; juga bukan keputusan bersama mengenai apa yang harus kita yakini dan praktikkan, atau persoalan pilihan manusia.
Sebaliknya, ini merupakan sebuah proses berangkat pergi, dan seperti dua murid Emaus: mendengarkan Tuhan Yang Bangkit. Karena Dia senantiasa datang di antara kita untuk menjelaskan arti Kitab Suci dan memecahkan roti untuk kita, sehingga dengan kuasa Roh Kudus kita dapat menjalankan misi-Nya di dunia.
Sama seperti kedua murid Emaus menceritakan kepada yang lain apa yang terjadi di tengah jalan (bdk. Luk. 24:35), demikian juga pewartaan kita akan menjadi kisah sukacita mengenai Kristus Tuhan, hidup, sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya, serta keajaiban yang telah diperbuat oleh kasih-Nya dalam hidup kita.
Jadi marilah kita berangkat pergi bermisi, diterangi oleh perjumpaan dengan Tuhan Yang Bangkit dan didorong oleh Roh-Nya. Marilah kita berangkat pergi bermisi dengan hati yang berkobar-kobar, mata terbuka dan kaki yang sigap melangkah.
Marilah kita berangkat pergi. Untuk membakar hati orang lain dengan sabda Allah. Membuka mata orang lain kepada Yesus dalam Ekaristi. Dan mengajak setiap orang untuk berjalan bersama di jalan perdamaian dan keselamatan yang telah dianugerahkan Allah dalam Kristus kepada seluruh umat manusia.
Bunda kami di dalam perjalanan, Bunda para misionaris Kristus, dan Ratu Misi, doakanlah kami.
Roma, Santo Yohanes Lateran, 6 Januari 2023