HARI Minggu, 22 April 2018, adalah Hari Panggilan. Saya dengan satu saudara novis MTB diminta memberi kesaksian sebagai ganti homili saat itu. Semacam sharing panggilan yang dipandu oleh Pastor Paroki St. Maria Assumpta Babarsari Yogyakarta dengan pendekatan wawancara.
Pertanyaan-pertanyaan seputar sejarah panggilan, mengapa memilih jadi religius, suka duka dalam hidup membiara, sejarah kongregasi, karya terakhir dan pertanyaan: “Bahagia ga sih hidup membiara?
Perayaan Ekaristi dengan tema panggilan hidup dimulai pukul 07.00. Misa ini dipimpin oleh pastor Paroki Babarsari Romo Yohanes Iswahyudi, Pr.
Kebahagian sejati
Hidup manusia pada hakikatnya mencari kebahagiaan. Baik dalam hidup religius maupun hidup berkeluarga. Tentu saja dalam memaknai dan merasa kebahagiaan itu, sesuai dengan caranya masing-masing.
Selama 45 kami mensharingkan pengalaman tersebut.
“Ibu pernah menelpon saya, sambil bertanya: ‘Apakah kamu bahagia hidup dalam biara?,” demikian ungkap Br. BercmansMTB saat mensharing pengalaman kebahagiaan dalam hidup membiara.
“Jika ada di antara umat sekalian yang punya putera-puteri ingin mencari kebahagiaan sejati, tunggu apa lagi, saatnya membuka mata untuk bisa memilih kehidupan ini,” demikian pancingan Romo Is kepada umat yang hadir saat itu.
Acara ini dapat berjalan dengan lancar didukung oleh OMK dan SEKAMI dengan melantunkan lagu-lagu tematis panggilan hidup.
“Wah misa hari ini sangat menarik loh, tidak seperti biasanya,” kata Bu Clara, anggota Ordo Ketiga Regula St.Fransiskus Yogyakarta.
Ia bertanya mengapa anak muda sekarang tidak tertarik lagi dengan hidup membiara? “Sebenarnya faktor budaya kekinian begitu kuat menghinoptis mereka,” demikian argumennya.
“Selain itu, peran keluarga sangat penting untuk mendorong putera puterinya untuk masuk mendukung anaknya yang bercita-cita menjadi religius,” cetus Prodiakon ini.
Menurutnya, ada pengalaman menarik dari anak tetangganya ketika mengunjungi salah satu seminari di Jawa Tengah. Anak itu tidak tertarik masuk seminari, karena melihat para seminarisnya sibuk nyepel di saat itu. Kalau dia masuk, nanti jadi pembantu. Padahal di rumah sudah ada pembantu. Selain itu, kalau jadi imam pasti tidak punya uang.
Ungkapan yang polos dan lugu ini, sebenarnya tidak salah karena pengetahuan tetang seminari begitu minim bagi anak itu sendiri. “Untunglah hari ini secara khusus ada Minggu Panggilan agar semua umat tahu apa sebenarnya hidup membiara,” ungkapnya.
Busana jadi daya tarik awal
Kongregasi Suster SJD jikut mensharingkan pengalamannya di hari Sabtu sore 21 April 2018 dengan tema yang sama. Komunitas susteran di paroki ini sangat senang, karena bisa berbagi dengan umat apa yang dialami dalam hidup membiara.
“Semoga ada satu-dua orang dari paroki ini nantinya mau menjadi romo, bruder, suster dan frater,” demikian pesan Romo Is sambil memperkenalkan anak-anak SEKAMI di akhir perayaan ekaristi tersebut.
Menarik bahwa ada beberapa anak-anak menggunakan kostum busana kaum religius. Ini menjadi semacam promosi dan itu terjadi dengan perarakan di penutupan ekaristi.
Bruder Bercmans pun masuk bruder yang awalnya terpikat dengan jubahnya.
Para model cilik religius itu berasal dari kelompok SEKAMI dan selama kurang lebih lima menit berdiri di depan altar memperlihatkan wajah-wajahnya kepada umat. Barangkali dengan cara demikian, muncul awal ketertarikan dengan pesona busana biara.
Demikian diungkapkan satu umat yang tidak mau menyebut namanya. Sebelum berakhirnya Ekaristi, anak-anak SEKAMI mempersembahkan lagu Dengar, Dia Panggil Nama Saya.