KEPUTUSAN harus menjalani operasi jantung bypass membuat diriku makin takut, cemas akan kehidupan selanjutnya. Apalagi aku bingung dan semakin bingung. Aku harus menunggu keputusan atasanku Pater Provinsial dan Keuskupan.
Pihak Keuskupan Agung Samarinda (almarhum Mgr. Sului Florentinus MSF) sangat mendukung apa pun keputusan dokter.
Dr. Irwan Gondo sudah menghubungi tiga RS di Singapura dan Jakarta untuk melaksanakan operasi bypass.
Dalam kebingungan dan menunggu tindakan perawatan selanjutnya di Rumah Sakit RKZ, aku hanya bertanya dalam hati: “Apakah ini soal biaya pengobatan? Siapa yang akan menangung biaya operasiku? Apa ini hanya soal gengsi jabatan dan prosedural? Atau soal nyawaku?”
Aku mengambil sikap dan menghibur diri:
”Yang sakit ini kan diriku, yang merasakan juga aku, bukan orang lain, bukan umat, bukan atasanku. Kalau aku memikirkan hal yang tidak pasti, jantungku makin terganggu dan makin parah. Bisa jadi aku cepat mati mendadak. Maka aku harus menerima diri dalam kesendirian.”
Penyakit membangkitkan pertanyaan tentang makna hidup, yang kita bawa ke hadapan Tuhan dalam iman (Paus Fransiskus).
Aku agak terhibur ada berita kepastian operasi bypass yang akan dilaksanakan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta, tanggal 13 Oktober 2011.
Lockdown dan karantina 10 pekan
Sambil menunggu operasi bypass di RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dokter menganjurkan diriku untuk masuk masa lockdown, karantina, masa persiapan. Maka aku tinggal di Wisma Klerek dekat Susteran SSpS dan masih di lingkungan RS RKZ Surabaya.
Aku sakit dan tinggal sendirian. Kesepian sering menghantui Liem Tjay selama menunggu 10 pekan.
Hiburanku adalah sapa dan menyapa. Aku memanfaatkan kesempatan untuk mengenal semua orang yang ada di lingkungan RS Vincentius. Aku menyapa karyawan, para tenaga medis, para suster SSpS, bahkan tukang parkir pun.
Aku terbiasa bercanda, berkisah dengan mereka khususnya dengan Perawat P6 dan Team Pastoral Care.
Mengapa? Aku pernah opname sepekan lamanya di Kamar 49 P6 maka aku mengenal team medis di P6.
Tetangga kamarku di Wisma Klerek adalah Ruang Pastoral Care. Aku sering mengisi waktuku yang panjang dengan membaca buku di perpustakaan Pastoral Care. Aku sering berkisah dan diskusi dengan tim Pastoral Care.
Dengan demikian, aku bisa belajar pastoral care, apalagi aku mengenal Romo Lukas SVD, sebagai Pastor Kapelan di RS RKZ.
Berelasi dengan tenaga medis dan karyawan di lingkungan RS ternyata membuat aku percaya diri dan berani secara objektif menerima kenyataan diri sakit jantung.
Aku pun tenggelam dalam pertemanan.
Keluargaku dari Solo, sepupu dan keponakan-keponakanku yang sedang kuliah di Surabaya rajin mengunjungiku. Ada hal yang positif dan meneguhkanku untuk memanfaatkan waktu makin akrab dengan saudara dan keluarga.
Selama aku bertugas di Kalimatan, aku jarang berjumpa dengan mereka. Lewat masa karantina ini, Tuhan memberikan waktu yang indah untuk berkumpul dengan sanak keluarga yang dekat.
Pentingnya kesetiakawanan
Pesan Paus Fransiskus:
”Di sini saya ingin menyebutkan pentingnya kesetiakawanan, yang secara konkret diwujudkan dalam pelayanan dan berbagai bentuk yang semua diarahkan untuk mendukung sesama. “Melayani berarti peduli […] untuk keluarga yang rentan, masyarakat dan rakyat kita” (Homili di Havana, 20 September 2015).
Jatuh dalam lamunan diri
Liem Tjay merasa jauh dari umat paroki.
Ketika aku sebagai imam yang sehat dan giat melaksanakan tugas pastoral di paroki, umat memberikan tanggapan positif dan antusias dalam mengembangkan stasi dan paroki. Ketika ada umat sakit, aku langsung datang mengunjungi dan memberikan pelayanan yang terbaik.
Namun apa yang kualami sekarang?
Aku, Liem Tjay, seorang pastor ketika aku opname dan sakit dalam penantian operasi bypass, siapa yang mengunjungi aku?
Sendirian. Tidak ada yang menjenguk. Beginilah nasib seorang pastor yang sakit? Habis manis sepah dibuang?
Yang dilakukan semasa karantina?
Tiap hari aku datang ke klinik jantung untuk persiapan fisik, treadmill. Setiap hari aku harus datang ke poli gigi untuk merawat enam gigi-ku yang tidak beres.
Gigi sehat dan netral adalah salah satu persiapan dan syarat operasi bypass. Pola makan dan irama hidupku diatur sambil tetap mempersiapkan mental untuk menghadapi operasi besar bagi hidupku selanjutnya.
Aku melakoni dengan tekun dan setia selama masa penantian dan melawan rasa bosan dan jenuh.
Ada juga godaan untuk kembali ke paroki, berjumpa dengan umatnya, dengan risiko bisa sembuh atau serangan jantung lagi dan meninggal.
Ke RS Jantung Jakarta
“Bagaimana Liem, ceritanya sampai kau dibawa ke RS Harapan Kita Jakarta?,” tanya Paimin.
“Aku lanjutkan lagi ya kisahku masuk Jakarta,” Liem Tjay berkisah dengan cukup tenang.
“Tanggal 10 oktober 2011 aku berangkat ke Jakarta. Ada perasaan takut dan ragu ragu menghadapi operasi bypass. Selama dua hari aku disiapkan dengan teliti dan masuk dalam proses sterilisasi di Pav RS Harapan Kita.
Ketika aku hendak dibawa ke ruang operasi tanggal 13 oktober 2011, macam-macam perasaan negatif menghantuiku: rasa takut, pasrah, cemas akan masa depan.
Jika selesai operasi aku meninggal, berarti gagal operasi atau keluar kamar operasi dengan berita berhasil, berarti masih diberi kesempatan hidup.
Ketika aku dibawa ke ruang operasi, kakak dan adikku dari Solo dan beberapa kerabat dekat menghantar sampai di depan pintu kamar operasi. Ucapan selamat, rangkaian doa dan harapan dari mereka mengakhiri perjumpaanku.
Aku pun dibawa oleh seorang tenaga medis memasuki lorong ruang operasi.
Dingin. Sendiri. Sepi. Takut. Gelisah. Itulah perasaanku, ketika aku berada di ruang operasi sambal menunggu tim dokter bedah jantung. Aku dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar karena obat bius.
Setelah itu, aku tidak ingat kembali apa yang terjadi.
Aku tenggelam dalam kepasrahan kehendak Tuhan yang bekerja lewat tim dokter. Jantungku diobok-obok oleh tim dokter bedah jantung, sementara aku tetap tidur dalam situasi tidak sadar selama 9 jam.
Bypass berhasil, 13 Oktober 2011
Setelah 9 jam, operasi dinyatakan selesai dan berhasil. Namun aku masih belum sadar diri dan ditempatkan di ruang ICU dan perawatan khusus selama dua hari.
Ketika aku membuka mata dan sadar diri ternyata aku masih hidup.
Air mata membasahi pipinya. Aku menangis dengan air mata bahagia, kemenangan dan kebesaran Tuhan.
Itulah karya Tuhan yang Mahakuasa lewat tim medis, rekan rekan yang menunggui, lewat doa doa dari seluruh umat, bahwa ternyata aku masih diberi kehidupan.
Melewati masa kritis
“Liem Tjay, saya pernah mendengar kisah masa kritis dari Mbak Ida,” tanya Paimin.
“Ya benar, memang aku tidak sadar pada saat kritis dan pasca kristis, cerita mbak Ida (karyawati Pastoran Penajam) itu sangat menyentuh dan historis bagiku,” ungkap Liem Tjay.
Lalu Liem Tjay melanjutkan kisahnya: ”Setelah aku kembali normal, Mbak Ida mengisahkan suatu pengalaman yang sama sekali di luar kesadaran dan kemampuanku sebagai manusia.
Mbak Ida berkisah
“Setelah Romo masuk ke ruang operasi, Mbak May Lan dan Mbak May Fang (saudari kandung Liem Tjay) dan Romo Rukmono OMI, beberapa yang mengantarkan langsung pergi sesuai dengan keperluan masing-masing. Saya memutuskan untuk tetap tinggal. Saya hanya berpikir, jika ada apa apa dengan Romo, pasti dokter atau perawat akan memanggil keluarga Romo.
Maka saya hanya ditemani Bpk. Polisi Gunawan Tarigan beberapa waktu dan duduk di ruang tunggu. Lalu beliau pulang. Saya sendirian sambil berdoa Rosario. Sekali-kali, saya menjawab SMS dari beberapa umat Paroki Penajam yang menanyakan keadaan Romo Nico.
Hari Kamis, 13 Oktober 2011, Jam 21.15 pas bersamaan waktu seorang perawat keluar dari Ruang Operasi dan menyampaikan bahwa Bpk. Nicolas sudah berhasil melewati operasi bypass, mereka pun baru kembali dari bepergian. Saya juga merasa lega dan bersyukur. Kakak dan satu dua yang diizinkan masuk ke ruang untuk menyapa Romo Nico dari kejauhan, karena Romo Nico belum sadar benar.
Mereka semua kembali ke hotel dan rumah masing-masing. Saya masih tinggal dan menunggu sampai pagi hari. Saya masih ingat benar Jumat tanggal 14 Oktober 2011, pukul 09.00 seorang perawat memanggil: “Keluarga Bpk. Nicolas?”, saya cepat cepat menemui perawat tersebut.
“Begini, mohon keluarga berdoa, seharusnya pukul 09.00 Bpk Nicolas sudah sadar dan kembali normal, namun sampai sekarang masih belum melewati masa kritis, tunggu saja sampai jam 11. Ibu mohon sabar dan berdoa,” pinta perawat tersebut kepada saya.
Saya sendirian. Saya terkejut. Saya bingung. Saya cemas. Saya tidak bisa buat apa apa untuk Romo Nico dalam keadaan kritis di Ruangan ICU.
Sambil meneteskan airmata, saya telepon keluarga saya di Penajam untuk mendoakan Romo Nico. Itu saja yang bisa saya buat sambil tetap menunggu kabar dari petugas medis.
Setiap kali ada perawat yang keluar dan memanggil salah salah satu keluarga pasien, saya merasa cemas dan mendengarkan baik baik. Saya merasa agak lega bukan yang dipanggil keluarga Bpk. Nicolas. Lalu saya melanjutkan doa Rosario dan berharap agar Tuhan memberikan yang terbaik bagi Romo Nico dalam melewati masa perpanjangan kritis.
Tepat pukul 11 dan pas juga jam bezuk, salah satu perawat memanggil saya sebagai wakil keluarga. Dia memberitahukan bahwa Bp Nicolas sudah sadar dan melewati masa kritis.
Keluarga bisa menjenguk sebentar.
Saya merasa bersyukur kepada Tuhan dan Bunda Maria atas berita yang melegakan dan menggembirakan ini. Kebetulan juga kakak (mbak May Lan) dan adik (mbak May Fang) Romo Nico dan beberapa umat berdatangan dan langsung menjenguk secara bergantian”
Beginilah kisah menegangkan bagi Mbak Ida asal Penajam yang setia menunggui Liem Tjay di saat kiritis.
Paimin meneguhkan Liem Tjay: ”Kisah pengalaman Mbak Ida menarik sekali dan dramatis baginya. Kau, kan tidur saja dengan alat alat medis. Lalu apa makna peristiwa kristis bagimu Liem Tjay?” (Berlanjut)
Halo Pak kalau boleh tau operasi bypass di rs harapan kita jakarta dipegang dokter siapa ya? Mohon dibalas ya pak Soalnya sy lagi cari rekomendasi dokter untuk operasi katup jantung. Terimakasih pak