Rabu, 17 Februari 2016, diadakan rapat evaluasi peringatan HPS (Hari Pangan Sedunia) dan Hari Ibu.
Hadir dalam acara tersebut dari 4 pemangku kepentingan, yaitu: Ketua Komisi PSE Keuskupan Purwokerto bersama dengan stafnya: Pak Sulis dan Mbak Cicil, Ibu Nety dari DPD WKRI Purwokerto, dari DPC WKRI Cilacap yang dihadiri oleh Ibu Ketua DPC WKRI sendiri bersama dengan Ibu Sari dan Ibu Betty, tuan rumah yaitu ibu-ibu dari DPC WKRI Gombong. Pertemuan yang mestinya dimulai pukul 16.00 baru dimulai pukul 16.15 di aula sayap kanan gereja yang sebagian juga menjadi kantor CU Artha Swadaya Gombong.
Hanya ada satu acara yaitu evaluasi HPS dan Hari Ibu. Acara langsung dipandu oleh Ketua Komisi PSE Keuskupan Purwokerto.
“Ada dua bagian penting dari Evaluasi ini, yaitu evaluasi yang menyangkut soal materi atau isi peringatan itu sendiri dan yang kedua adalah yang terkait dengan hal-hal teknis,” kata Ketua Komisi memulai proses evaluasi.
Proses evaluasi diawali dengan melihat kembali foto-foto, mulai dari rapat-rapat sampai hari H Peringatan Hari Pangan Sedunia dan Hari Ibu. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya peserta mengingat kembali acara pada hari H yang sudah berselang beberapa waktu lalu.
“Dalam foto-foto tampak bahwa mulai dari rapat-rapat awal sampai hari ini sebenarnya setiap acara yang dilaksanakan oleh PSE itu menyangkut 3 tahap: yaitu pra-acara atau persiapan, acaranya itu sendiri atau pada hari H, dan pasca-acara atau evaluasi dan laporan. Ini penting karena menyangkut pertanggungjawaban dengan pihak pemberi dana, dalam hal ini HPS KWI,” demikian ditekankan Ketua Komisi PSE sambil menunjukkan foto-foto yang ada.
Setelah itu, evaluasi dimulai:
Menyangkut Materi “Ibu: Pelopor Revolusi Meja Makan”
Bu Siti: Acara tersebut menambah pengetahuan karena di masyarakat, KDRT banyak terjadi. Kita hanya manthuk-manthuk saja dan tidak tahu harus apa. Tapi setelah mendengar bahwa ada jalan hukum, ada pengetahuan yang didapat. Pembicara kedua banyak sharing pribadi sehingga agak jauh hubungan antara pembicara pertama dan kedua. Waktu penyelenggaraan menjelang Natal sehingga banyak ibu yang tidak bisa ikut karena banyak acara.
Bu Markus: Acara tersebut berguna sekali karena membawa ibu-ibu Dasawisma. Mereka jarang mendapatkan acara seperti itu. Ternyata, KDRT bukan hanya oleh pihak suami tetapi ada yang memancing dan terpancing, entah itu pihak suami maupun pihak istri. Materi yang disampaikan oleh pembicara kedua terlalu cepat untuk kalangan menengah ke bawah dan lebih tepat untuk anak kuliahan. Mereka (ibu-ibu Dasawisma) mengapresiasi baik acara ini, relasi dengan ibu-ibu non-muslim menjadi terjalin lebih baik.
Bu Wiwik: Ternyata materi dari Bu Is membuka mata hati saya untuk peduli terhadap lingkungan kita ketika ada KDRT terjadi. Sebelumnya, kalau ada KDRT, hanya bisik-membisik, tidak berani menolong, dengan alasan “Itu urusan pribadi.” Kita sebagai tetangga, kalau melihat ada KDRT, boleh lapor pada yang berwajib. Masalahnya apakah kita berani melangkah sampai di situ atau tidak. Bagi ibu-ibu non-katolik yang sudah hadir, komentar mereka, “Itu bagus Bu. Sebenarnya di kelurahan sudah pernah, tapi tidak sejelas ini.” Mereka memuji pihak penyelenggara. Justru yang hadir banyak yang muslim meskipun yang menyelenggarakan katolik. Sayang, tema ‘Revolusi Meja Makan’-nya tidak tersentuh.
Bu Dyah: Terkait dengan relasi antar anggota WKRI sendiri, persaudaraan menjadi lebih akrab karena ada pekerjaan bersama dalam kepanitiaan. Karena hanya dijatah 5 orang per ranting, sepertinya kurang mencakup banyak orang.
Bu Wiwik: Dalam kepanitiaan, ada banyak pribadi berkumpul. Ada benturan-benturan antar pribadi dengan pendapat yang berbeda, tapi bukan untuk terpisah atau menjauh. Justru, hal itu membuat kita semakin mengenal lebih mendalam pribadi antar anggota.
Bu Siti: Dari ranting saya, yang aktif hanya 15. Tetapi dengan acara ini, ketika diberi tanggungjawab/kepercayaan tertentu, maka mau terliba secara lebih.
Bu Teguh: Bukan hanya dari cabang yang aktif, tetapi dari ranting yang baru menthingis sudah dilibatkan/jadi panitia. Yang di cabang memberi kesempatan pada mereka. Jebule dari ranting ya banyak potensi.
Menyangkut hal-hal teknis pelaksanaan
Bu Anna: Suara pembicara kurang sedemikian jelas didengar bagi peserta yang ada di belakang karena soal sound systemnya. Tempat kurang nyaman, kepanasan sehingga menyebabkan kurang konsentrasi.
Bu Dyah: Geber samping tampak tidak rapi, kurang sedap dipandang.
Bu Wiwik: Listrik sempat anjlok. Yang tercatat hanya 122 dalam daftar hadir. Ini belum termasuk yang dari panitia. Ada yang satu orang dapat 3 door prize. Door prize kurang terprogram dengan baik, siapa yang dapat, dls. Sambutan dari Ibu Ketua GOW cukup panjang, namun baru kali ini didatangi beliau dalam acara ini. Ibu Sekretaris PKK Kabupaten juga hadir. Ini penting menyangkut soal relasi dan pengakuan eksistensi ormas WKRI. “Kok tidak diundang ikut upacara 17-an?” tanya saya pada Ibu Ketua GOW (Gerakan Organisasi Wanita). Ibu itu tidak bisa menjawab. Namun, paling tidak, melalui acara ini, relasi dan eksistensi WKRI mulai diperhitungkan kembali. Acara pada waktu itu juga ditulis di buletin “GEMPAR” paroki, tetapi tidak diberi ucapan terimakasih atas ‘organ tunggal’. Padahal, yang ‘orgen tunggal’ itu sudah rela menyumbangkan suara dan iringannya. Foto-foto dokumentasi juga sumbangan.
Bu Siti: Ada keluhan dari tamu yang muslim. “Among tamu kok hanya dekat pintu, tidak ada yang mengajak-mengantar sampai tempat duduk.” Butuh keberanian bagi tamu untuk duduk di bagian depan. Ini efek karena among tamu hanya berada di depan pintu saja.
Bu Cicil: Door prize-nya banyak yang benda-benda rohani, padahal yang mendapat belum tentu Katolik.
Bu Markus: Kalau untuk acara umum, jangan benda-benda rohani. Panitia tidak menerima door prize, diutamakan untuk tamu.
Bu Sari: Pembawa acara harus bisa mengetahui situasi saat acara tersebut. Hal ini mengingat banyak yang dari non-Katolik. Hati-hati kalau menyebut soal istilah-istilah misalnya: DPD, WKRI, DPC, dll karena mereka tidak tahu.
Ibu Ria: Lain waktu, MC akan di-briefing dulu mengenai hal-hal teknis…soal istilah-istilah dls. Kami meminta maaf atas kekurangan dari pihak MC.
Acara berakhir pukul 17.30. Ibu Wiwik sebagai Ketua Cabang Gombong masih meminta Ibu-ibu yang dari Gombong untuk tinggal sejenak dan acara dilanjutkan dengan informasi internal terkait dengan WKRI Cabang Gombong.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)