MINGGU yang cerah, secerah wajah-wajah para tamu yang hadir di halaman gereja paroki St Yoseph Matraman dari berbagai kalangan. Semua berbaur menjadi satu tanpa memandang suku bangsa, agama, gender, semua bergembira bersama sesuai dengan hari perdamaian sedunia pada hari ini dengan thema “Damai tanpa Melupakan”. Beberapa perwakilan organisi yang hadir diantaranya adalah Mbak Yuli-dari LSM berkebutuhan khusus seksualitas trans gender Arus Pelangi, Mbak Evi dari sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus, Pak Eka dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (ketua Pertuni), Maria Hartati dari Yayasan Tri Asih dimoderatori oleh Pak Dedi Cipto dari Paroki Matraman, spesialis penyembuhan alternatif.
Pengantar untuk diskusi siang ini dimulai dari cerita dengan mengambil contoh jari tangan manusia. Jempol seumpama anak pertama yang selalu bersifat baik, karena selalu paling bagus, paling hebat dan paling-paling lainnya; jari telunjuk seumpama dengan anak kedua yang biasa mengacungkan telunjuknya untuk menuding, lalu ada jari tengah dan terakhir jari manis yang diumpamakan dengan anak bungsu. Tapi dari semua itu jika semua jari bersatu maka akan tercapai tujuan yang baik.
Dalam diskusi, moderator juga memperkenalkan Steve, seorang peserta Kursus Evangelisasi Pribadi terbaik ke-6 yang hadir dalam keterbatasannya di atas kursi roda. Steve bercita-cita untuk menjadi pewarta Injil untuk mempersatukan semua agama yang ada di Indonesia saat ini. Luar biasa semangat yang berkobar didalam hati seorang manusia walau dalam segala keterbatasan yang dimilikinya.
Perbincangan berlansung dengan seru dan hangat. Terik matahari tak mengurangi semangat para peserta diskusi untuk tetap mengikutinya, diantaranya dari Pak Eka, ketua Pertuni yang menyuarakan bahwa orang buta dilahirkan untuk membawa pedamaian. Pertuni berdiri sejak tahun 1966, bertujuan mempersatukan para tuna netra dan orang lain yang berkebutuhan khusus dengan sesama tanpa pengkotak-kotakan.
Tak lupa ada kesaksian yang indah pula dari seorang transeksualitas, Pak Yulianus, ketua perkumpulan waria, yang kemarin mencalonkan diri sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk kedua kalinya. Perjuangannya untuk mengaktualisasikan diri sebagai waria yang dapat diterima dalam masyarakat tanpa ada pembedaan. Kebanggaan kita, karena gereja Katolik menerima manusia dalam segala keterbatasannya.
Acara demi acara terus bergulir, diisi dengan berbagai acara seperti: qasidahan dari ibu pengajian, koor dari Putera Altar Paroki Matraman, nyanyian dari kelompok Pertuni dan akhirnya diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa setiap manusia dilahirkan walau berbeda, tapi sama dimata Tuhan. Perbedaan-perbedaan itu justru seharusnya memperkaya kita, dan mempersatukan kita. Dan diakhiri dengan melepaskan balon2 aneka warna ke angkasa untuk menyuarakan perdamaian ke seluruh penjuru. Semoga.