Hari Sabat di Israel, Toaster pun tak Boleh Hidup

2
4,254 views

HARI Sabat adalah Hari Tuhan. Orang tidak boleh bekerja pada hari itu. Pernyataan itu rasanya sering saya dengar dari kitab suci tetapi tidak pernah saya sadari sebagai sebuah kenyataan. Saya baru ngeh bahwa hal itu benar-benar terjadi saat saya ziarah ke Tanah Suci baru-baru ini. Saya semakin menyadari bahwa salah satu ciri utama umat Yahudi adalah pemeliharaan Hari Sabat.

Berasal dari kata bahasa Ibrani, kata kerja “shabat”  secara harafiah berarti “berhenti.” Implikasinya adalah orang “berhenti dari melakukan pekerjaan”. Pada hari Sabat orang beristirahat dari melakukan kegiatannya sehari-hari. Perayaan Sabat merupakan perintah keempat dari 10 Perintah Allah. (Keluaran 20:8-11 dan Ulangan 5:12-15).

Merasakan konflik

Larangan bekerja di Hari Sabat ini sering menimbulkan konflik antara orang Yahudi dan Yesus. Dalam Lukas 6:1-5, misalnya, orang Farisi menegur Yesus karena murid-muridNya memetik bulir gandum pada hari Sabat. Memetik bulir gandum adalah satu dari sekian banyak kegiatan yang dilarang pada Hari Sabat lainnya, misalnya menabur, membajak, membuat roti, menyalakan api, memotong hewan, dsb.

Yesus pun berkali-kali melakukan mukjizat pada Hari Sabat  antara lain Yesus menyembuhkan wanita yang telah 18  tahun dirasuki oleh roh kegelapan sampai terbongkok-bongkok (Luk 13:10-17) dan orang yang mati tangan kanannya (Luk 6:6-11).

Suasana konflik di atas tidak begitu terasa sewaktu saya mendengar bacaan kitab suci tersebut. Namun dengan mendengar, merasakan, dan mengalami Hari Sabat di Israel, membuat saya semakin sadar dan mengalami bagaimana kurang lebih konflik itu terjadi.

Yesus hidup di tengah masyarakat Yahudi yang penuh dengan tata cara yang sangat banyak dan sangat kuat. Dalam konflik itu, Yesus  hendak memberitahukan bahwa aturan yang ada di dunia ini penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah hati manusia untuk menolong dan mencintai sesamanya.

Kalau dulu saya hanya mengerti dengan pikiran, sekarang saya bisa memahami dengan hati, setelah bisa membayangkan bagaimana “suasana” konflik itu.

Roaster pun tidak menyala
Pada hari Sabtu pagi, yang masih terhitung sebagai Hari Sabat, saya sarapan roti di restoran. Saya hendak memanggang roti, ternyata toaster pun tidak dinyalakan. Katanya toaster memang tidak menyala karena masih terhitung Hari Sabat.

Toaster tidak dinyalakan sebagai penghormatan atas Hari Sabat. Saya juga mendengar cerita bahwa untuk menekan tombol listrik pun, kaum Yahudi taat harus minta bantuan orang lain yang bukan Yahudi untuk menyalakannya, sebagai bentuk penghormatan atas Hari Sabat. Akhir kata betapa bersyukurnya saya hidup menjadi orang Indonesia yang mempunyai hari Sabtu ala orang Indonesia.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here