Pengantar
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang masih melaju 6%, sementara negara-negara lain mengalami kemunduran di atas pertumbuhan ekonomi global yang mencapai 3%, bahkan negara Uni Eropa dan AS hanya sekitar 2% setahun. Jikalau pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dibandingkan negara-negara lain, maka hal itu berarti kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi baik dan maju.
Masalahnya, tetapi mengapa kinerja pembangunan ekonomi yang baik dan tinggi itu tidak berhasil membawa rakyat Indonesia hidup makmur dan sejahtera? Kemiskinan masih tetap ada dan terasakan (sekitar 30 juta orang). Pengaruh pertumbuhan jumlah penduduk dan ekonomi yang tidak seimbang juga menyebabkan persoalan rakyat dalam bidang ekologi (Bdk. Prof. Emil Salim: Refleksi Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan ).
Mengapa akhir-akhir ini sering terjadi konflik perebutan lahan tanah produktif antara pengusaha dan rakyat, antara rakyat dan rakyat antara kepentingan pemerinah dan usaha rakyat menggarap lahan? Mereka saling memperebutkan sumber daya alam yang kaya dan subur di tanah air Indonesia.
Keprihatinan akan keutuhan alam, bumi dan sumber dayanya itulah yang menjadi perhatian (concern) dari para waligeraja dalam hari studi ekopastoral dalam sidang sinodal KWI 2012 dengan tema: Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan.
Apa itu Ekopastoral?
Istilah “eco-pastora”’ terdengar sebagai peristilahan baru. Namun sesungguhnya tidak lebih dari simptom kesadaran pastoral gerejani yang berasal dari perubahan baru yang berlangsung dalam cara memandang ‘pembangunan’ (development) dalam dunia ekonomi-politik global sejak dasawarsa 1970-an (misalnya dokumen “Limits to Growth” yang dikeluarkan oleh The Club of Rome, 1972).
Pokok pemicunya adalah pola pembangunan ekonomi yang kian mengabaikan keberlanjutan ekosistem kehidupan di planet bumi, dengan implikasi luas pada berbagai kerusakan lingkungan, budaya, dan masa depan hidup generasi yang akan datang. Dari keprihatinan itu pula kemudian muncul tuntutan akan ‘pembangunan berkelanjutan’(sustainable development) yang dalam beberapa tahun ini menjadi penghias bibir berbagai pertemuan internasional.
Tak ada yang khas gerejani pada pola keprihatinan di atas. Para ilmuwan semakin intensif mencanangkan perlunya pembangunan yang sungguh memperhatikan keutuhan ekosistem (ecosystem) dan ciri berkelanjutan (sustainability). Ultimatum tentang bahaya pemanasan global (global warming) yang makin kencang belakangan ini adalah kelanjutan dari keprihatinan itu. Dan besok lagi akan muncul deretan ultimatum lain dengan peristilahan dan temuan baru.
Namun perlu diakui bahwa berbagai dokumen ajaran Gereja Katolik sudah lama mengungkapkan keprihatinan itu juga. Misalnya, perlunya keutuhan dan keberlanjutan ciri pembangunan sudah jelas dapat ditemukan pada ensiklik Populorum Progressio (1967) dan ditegaskan dengan jauh lebih eksplisit dalam Caritas in Veritate (2009).
Melalui arus keprihatinan itulah istilah seperti “keutuhan ciptaan” (integrity of creation) menjadi idiom pastoral gerejani. Dalam arti itulah munculnya kesadaran ekologis dalam Gereja merupakan simptom dari trend besar yang berlangsung seluas dunia. Para pemikir progresif dalam bidang etika, sosial, politik, ekonomi, kebijakan publik, dan sebagainya secara eksplisit juga kembali meninjau konsep ‘kebaikan bersama’ (common good, bonum commune) yang kini secara eksplisit mencakup keberlanjutan dan keutuhan ekosistem bukan hanya bagi generasi sekarang tetapi juga bagi generasi mendatang (bdk. penjelasan RP. Herry Piyono SJ)
Photo credit: Ilustrasi, Pepohonan bakau di Gua Maria Bangka (Mathias Hariyadi)
Artikel terkait: Hari Studi Ekopastoral Sidang Sinodal KWI 2012: Sumber Permasalahan (2)