PEPERANGAN akhir yang ditempuh remaja pria yang menanjak dewasa Harry Potter mungkin terlalu mengerikan bagi pemirsa belia. Namun tontonan ini sebenarnya terasa sangat “kristen”, karena penuh dengan nilai-nilai keutamaan seperti persahabatan dan pengorbanan.
Begitu setidaknya uraian yang disampaikan Koran Vatikan atas film populer imajinatif yang digilai oleh hampir anak muda di seluruh dunia ini.
“Atmosfer di beberapa periode terakhir tampil sedikit agak mencekam, gelap namun mencapai puncaknya,” begitu uraian yang tertulis dalam Koran Vatican L’Osservatore Romano atas film berjudul “Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2”.
Kegelapan ini bisa jadi “mengganggu bagi audiens muda,” jelas pengupas film ini, Gaetano Vallini.
Kematian, yang jarang terjadi dalam film-film Harry Potter sebelumnya sungguh protagonis di sini. Jadi, tak heran bila film ini sebenarnya tak cocok untuk semua kalangan usia, kata Vallini.
“Kejahatan memang tidak pernah ditampilkan sebagai sesuatu yang memesonakan apalagi atraktif dalam Saga. Namun nilai-nilai persahabatan dan pengorbanan terasa begitu kentara,” jelasnya.
Dalam sebuah perjalanan cerita yang panjang dan unik, lewat alur kisah yang terasa menyakitkan akibat kematian dan kehilangan, sang pahlawan dan kawan-kawannya menjadi matang hingga siap masuk dalam realitas kehidupan dewasa yang kompleks.
Lewat ketujuh bukunya, JK Rowling mengenalkan tokoh Harry Potter pada anak-anak muda. Sekarang sekuel filmnya juga sudah ditayangkan hingga seri yang ketujuh, Harry dan kawan-kawannya pun sudah beranjak dewasa.
“Dan mereka benar-benar mengerti bahwa sihir hanyalah narasi preteks yang berguna dalam peperangan melawan hal-hal yang kasat mata dalam mencapai keabadian.” kata Vallini.
Membuat anak membaca buku
Kupasan kedua yang dilakukan Antonio Carriero menegaskan kembali satu poin penting tentang buku-buku Harry Potter sejak kemunculannya di Italia. Kisah-kisah ini benar-benar sanggup menggapai imajinasi jutaan anak di seluruh dunia dan membuat mereka mau membaca buku.
Katanya, kisah Saga ini benar-benar menonjolkan nilai-nilai bahwa orang-orang Kristen dan yang bukan Kristen mesti saling berbagi. Kisah ini juga menyediakan kesempatan kepada para orangtua keluarga Kristen untuk menyampaikan nilai-nilai baik yang ditampilkan dalam film ini yang juga diajarkan dalam kitab suci kepada anak-anaknya.
Musuh Potter, Lord Voldemort, “bukan representasi setan.” Karena dengan mudah kita akan berpikir demikian. “Dia hanyalah pria yang lebih memilih hal-hal buruk dalam hidupnya,” ujar Carriero. Voldemort telah memilih jalan untuk tidak mencintai sesama dan melihat dirinya sebagai pusat dunia.
Carriero menyebutkan, Voldemort bagai kebanyakan manusia modern yang berpikir bahwa mereka bisa berbuat apa saja tanpa Tuhan dan sesama, tidak percaya surga, namun takut dengan kematian.
“Padahal hidup abadi diperoleh lewat kematian. Tanpa itu tidak mungkin bisa terjadi. Dan Harry Potter, meski tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai orang Kristen meminta penyihir golongan hitam itu bertobat dan mencintai siapa pun supaya tidak mendapat hukuman dalam keabadian,” urai Carriero.
Kisah “Deathly Hallows” menunjukkan betapa dari hati yang tulus dan murni seorang anak muda bernama Harry dapat muncul kesediaan untuk mati demi sesamanya. Ini tentu saja merupakan pelajaran penting bagi setiap anak.
Film ini juga mengajarkan bahwa sangat mungkin mengubah dunia. Harry dan kawan-kawan setianya membuktikan bahwa melawan iblis dan menciptakan kedamaian dunia itu bisa dan mungkin dilakukan.
Kekuasaan, kesuksesan dan hidup yang gampang-gampang saja tidak membawa kedamaian dan kegembiraan. Karena itu, kita butuh persahabatan, hati yang murah hati, sikap berani berkorban dan kelekatan pada kebenaran yang jelas-jelas sering sulit dibayangkan oleh manusia-manusia sekarang.