Harta Warisan Bikin Keluarga Jadi Bubrah

1
974 views
Ilustrasi: harta uang. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Kamis, 18 November 2021.

Tema: Ketaatan iman.

  • 1 Mak. 2; 15-29.
  • Luk. 19: 41-44.

NASI sudah menjadi bubur. Airmata penyesalan tidak akan mampu mengubah keadaan.

Apa pun yang terjadi, ya sudahlah.

Memaknai secara baru itulah yang mungkin masih bisa dilakukan. Untuk memberi makna atas peristiwa.

Karena, tidak ada sesuatu pun yang tidak bernilai bagi dirinya sendiri. Sekalipun kepahitan menghampiri.

Tak ada lagi gunanya berkata seandainya. Mungkinkah memaknai kegagalan sebagai pembelajaran?

Bukankah hidup adalah ujian terus menerus? Jatuh bangun, sukses yang tertunda adalah irama kehidupan.

Kesadaran untuk tetap berkembang di dalam kebajikan dan kebaikan itulah yang memampukan seseorang tetap berjalan.

Ia mahkluk terseok-seok di tengah-tengah dunia ini.

Ada harapan yang kuat bahwa dunia akan berubah, bila pribadinya sendiri mau ikut berubah dan berani belajar dari pengalaman gagal.

Bangkit berdiri dari keterpurukan, berjalan meyakini, mengayunkan langkah adalah tindakan pertama dan utama.

“Mo, anak saya apes. Cintanya kandas. Keluarganya bahkan sampai ketipu sendiri oleh orang dalam,” keluh seorang umat.

“Kenapa? Bukankah keluarga mereka itu terkesan bahagia?” tanyaku super kepo.

“Ya Begitulah. Yang membuat saya jengkel adalah apa yang telah kuberikan kepada anakku sebelum perkawinan itu ternyata kini sudah dipindahtangankan ke menantu.

Itu sudah jadi keputusan anak saya. Betapa bodohnya dia,” tambah bapak sepuh ini.

“Awal hidup keluarga mereka baik-baik. Dari mereka, saya mempunyai tiga cucu. Semua anak saya tiga. Kepada masing-masing sudah diberikan warisan. Rasanya cukup untuk menghidupi dan menjadi modal perjuangan mereka selanjutnya.

Hubungan dengan besan juga baik. Tidak terjadi apa-apa. Namun setelah perkawinan mulailah besan saya mempengaruhi anaknya agar lebih dekat kepada mereka.

Kebetulan setelah melahirkan anak ketiga, anak saya mulai sakit-sakitan dan kadang di luar nalar,” jelasnya umat paroki.

“Kami tetap percaya akan Tuhan. Sejak lahir, ia tidak punya sejarah penyakit yang serius. Lahir normal dengan bobot cukup. Masa kecil yang berbahagia. Juga tidak berkekurangan apa pun.

Kami membesarkan dengan kasih, walau tidak memanjakan. Anak-anak kami bertumbuh menjadi pribadi yang baik, tidak neko-neko, dan selalu mau mennurut kata orangtua.

Demi kebahagiaan mereka, kami sepakat membagi warisan. Adil pembagiannya agar tidak ada lagi saling iri. Tapi, mereka malah menolak. Mereka tidak mau. Masing-masing sudah bekerja dan menyiapkan hidup mereka sendiri

Tapi kami sebagai orangtua selayaknyalah bisa memberi arahan kepada mereka.

Papa dan mama kan tidak tahu sampai kapan mama dan papa akan bersama kalian. Apalagi sudah punya keluarga masing-masing. Mama papa tidak ingin mencampuri. Bangunlah keluargamu dengan baik. Dan, terimalah bekal kehidupan dari papa mamamu,” itu harapan orangtua.

Akhirnya mereka menerima dengan catatan kalau papa mama sangat membutuhkan ini, maka semua masih hak milik papa dan mama,” demikian kata mereka.

“Kami sangat terharu dan bersyukur mempunyai anak-anak yang tahu menghormati orangtua sekaligus sadar mempertanggungjawabkan hidupnya,” kenang umat.

“Lalu masalahnya di mana Bapak?”

“Anak puteri kami mulai sakit-sakitan, Romo. Kena penyakit kanker dan sekarang sudah stadium 4. Sudah selama dua tahun ini, ia hidup sangat menderita karena penyakitnya itu. Sudah sering keluar masuk rumah sakit.

Pada masa-masa sakit itulah, semua warisan yang kami berikan atas nama anak kami tiba-tiba diubah, dialihkan menjadi nama suaminya.

Anak saya berpikir, kalau dia nantinya harus dipanggil Tuhan, urusannya repot kalau masih atas nama dia. Maka, dengan tulus hati dan tidak berpikir, berprasangka apa pun, dia mengalihnamakan hak atas warisan orangtua kepada suaminya.

Kini yang ada hanya penyesalan. Karena suaminya pergi. Tak tahu rimbanya. Tiga cucu sekarang ada  di tempat kami.

Kami ingin marah dengan anak kami, tapi tidak tega. Ia sedang sakit. Kami bawa dia pulang. Kami rawat di rumah. Sementara, menantu tidak dapat dihubungi, karena telah pindah alamat.

Memang anak saya juga kurang cermat berpikirnya sih. Ketika ia sedang parah-parahnya sakit, dia sampai berkata kepada suaminya, “Pi, aku sakit dan mungkin tidak bisa sembuh. Terserah papi mau apa. Papi dan anak-anak bahagia ya. Saya ingin menyiapkan hidup saya dengan lebih baik dan banyak berdoa.’

Itulah kata puteri saya kepada suaminya, Mo,” keluh bapak sepuh ini berlinang airmata.

Saya ingat kata Yesus, “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu.” ay 42a.

Tuhan, ikhlaskanlah kami dalam hidup ini. Sebab Engkaulah yang empunya segala- galanya. Amin.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here