ANGELINE Julia, seorang gadis keturunan Tionghoa menuangkan ’haru-biru’ kehidupannya yang diwarnai kekerasan fisik maupun mental serta perlakuan menyimpang dari orang terdekatnya ke dalam sebuah novel berjudul “Hitam Putih Dunia Angel”.
“Harapan saya, melalui novel yang saya tulis ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi teman-teman yang memiliki kehidupan ’belok’ seperti saya di zaman dulu, agar bisa kembali hidup normal dan kembali ke jalan Allah SWT,” kata Angelina Julia, yang ditemui saat meluncurkan novelnya di Bandung, Minggu.
Sepintas tidak ada yang berbeda dari sosok Angeline Julia, yakni seorang perempuan muda pada umumnya yang cantik, berkulit putih, terlihat ceria dan berambut panjang.
Namun siapa sangka, di balik sosoknya yang feminin terselip kisah yang kelam, mengharukan serta penuh perjuangan pada masa lalu seorang Angel, sapaan akrab Angeline Julia.
Kerasnya kehidupan seorang Angel sudah dimulai saat dirinya dilahirkan ke dunia. Begitu lahir, dirinya langsung dijual oleh ibu kandungnya kepada seorang keluarga kaya raya dan berpendidikan tinggi di Jakarta.
Gemilang harta yang dimiliki oleh ibu angkatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter, tidak lantas membuat Angel tumbuh menjadi gadis yang bahagia baik lahir ataupun bathin.
Kekerasan fisik dan mental dari ibu angkatnya yang membenci serta penanaman faham untuk membenci laki-laki dari sang ibu angkat mengakibatkan disorientasi kehidupan Angel kecil kala itu yakni tumbuh menjadi gadis jalanan dan seorang lesbian.
Dengan bermodalkan pakaian yang menempel di tubuhnya, Angel kecil nekad kabur dari “istana”nya di Jakarta menuju Yogyakarta hingga ke Kota Kembang Bandung.
“Usia 13 tahun saya kabur dari rumah orang tua angkat saya, di Jakarta ke Yogjakarta menggunakan kereta api. Saya kabur karena saya tidak tahan dengan perlakuan ibu angkat saya, bahkan saya menjadi pelampiasan nafsu seks ibu angkat saya,” kata Angel.
Selama menjalani masa-masa kelamnya di Yogyakarta, Angel menemukan hal-hal selama ini ia cari dari sebuah keluarga yakni perhatian dan kasih-sayang.
“Untuk bisa bertahan hidup di selama di Yogjakarta itu, saya harus ngamen, supir angkot, jadi buruh di pasar ikan dan lain-lain. Di sana saya sadar bahwa mencari uang Rp1.000 itu susah. Namun, selama pelarian saya di Yogyakarta dan di Bandung itu saya menemukan hal yang tidak bisa didapatkan atau dibeli dengan uang saat saya bersama ibu angkat saya, yakni kasih sayang dan perhatian,” kata dia.
Perjalanan spiritual
Habis gelap terbitlah terang, itulah kira-kira kisah perjalanan spritiual seorang Angeline Julia. Angel mengaku, dirinya menjadi seorang yang tidak percaya keberadaan Sang Pencipta (atheis) bukan karena tidak punya Tuhan namun karena tidak memiliki agama tetap.
“Saya dulu atheis tidak punya agama. Saya sempat menganut agama Kristen Katolik kemudian pindah ke aliran kepercayaan,” kata dia. Menurut dia, perpindahan seseorang dari agama sebelumnya ke agama saat ini biasanya disertai dengan berbagai peristiwa yang bisa dikatakan diluar batas kepercayaan.
“Kala itu, kerjaan saya mabuk-mabukan, dugem hingga suatu saat saya OD (over dosis) karena terlalu banyak minum dan masuk rumah sakit,” katanya. Selama masa kritis itu, Angel melihat sebuah cahaya putih dan ditarik naik ke atas cahaya itu kemudian melihat orang-orang sedang berbaris di atas sajadah (shalat).
“Ayo ikut aku, ayo ikut aku, begitulah kiranya kata-kata saat saya kritis karena OD mabuk-mabukan. Dan dari sana, saya memutuskan untuk memeluk agama Islam,” ujarnya.
Setelah memutuskan untuk menjadi seorang muslimah, Angel pun bertemu dengan calon suaminya yang sabar menuntut dirinya untuk melaksanakan segala perintah atau kewajiban di agama Islam.
“Dalam novel ini, tunangan saya diceritakan sebagai Adam. Saya belajar bacaan shalat dari dia. Dia dengan sabar mengajarkan segalanya tentang Islam kepada saya,” katanya.
Selain itu, sang tunangan pula, yang membuat angel kembali ke hakikat dasar percintaan seorang makhluk Tuhan yakni seorang perempuan mencintai laki-laki, bukan perempuan mencintai perempuan atau berhenti menjadi seorang lesbian.
Otodidak
Jika merunut kehidupan kelamnya, dari manakah seorang Angel mendapatkan kemampuan untuk menuliskan kisahnya ke dalam sebuah novel.
Angel menambahkan, karena menjadi seorang pengamen di Kota Yogjakarta ia pun berkenalan dengan beberapa seniman di kota tersebut, termasuk dengan sastrawan di kota yang terkenal dengan makanan gudeg tersebut.
“Pendidikan terakhir saya SMA, itu pun ikut ujian Paket C. Dan banyak yang bertanya dari mana saya bisa mendapatkan kemampuan untuk menulis novel. Jawabannya, adalah Mas Pauw, dia seorang sastrawan di Yogyakarta dan beliau lah yang membimbing saya selama pembuatan novel ini hingga jadi,” kata dia.
Terkadang dirinya tidak mempercayai bahwa seorang yang berpendidikan hampir tidak tamat sekolah menengah atas, mantan anak jalanan, mantan sopir angkot dan pengaman serta seorang lesbian, bisa menulis sebuah novel yang diharapkan mampu menjadi penerang bagi kaum-kaum yang ber-’belok’.