SETIAP detik, iklan-iklan di media cetak, elektronik dan internet, membombardir limitasi kebutuhan kita.
Apa yang disebut “cukup” ditarik ke wilayah ekstrem sampai titik “puas”. Realitas, dalam iklan, disulap menjadi hiper-realitas, yang terkesan mengada-ada, imajinatif, yang memuaskan hasrat.
Apalagi bulan-bulan saat pemilihan kepala daerah maupun nasional berlangsung, kita dikelilingi oleh baliho dan suguhan iklan politik, yang semuanya memancarkan hasrat akan kuasa. Tak bisa ingkar, kita sekarang hidup di ruang yang memuja hasrat. Kisah manusia-manusia agung dan bijaksana yang digerakkan akal budinya (Homo Sapiens), sekarang telah banyak berubah menjadi manusia-manusia bebas yang digerakkan hasratnya (Homo Desiderare).
Dalam berbagai mitologi Yunani kuno, hasrat ini terbentuk dari dua lapisan, karnal dan libidinal. (Alfatari Alin, 2006:95). Karnal adalah hasrat tubuh yang sifatnya material, sementara libidinal adalah hasrat tubuh yang sifatnya non-material. Misalnya, secara karnal saya menghasratkan sebuah HP model terbaru, agar secara libidinal saya memiliki kepercayaan diri ketika menentengnya di depan teman-teman.
Di era bangkitanya dominasi hasrat, manusia dianggap, semata-mata, makluk yang dipenuhi, bahkan terbentuk dari hasrat. Jacques Lacan, pemikir terkenal di awal era posmodernisme ini, misalnya mengatakan kalau ego kita dibentuk oleh hasrat.
Dengan demikian, kita tidak mungkin lepas dari hasrat, justru kitalah yang terkurung dalam hasrat. Deleuze & Guattari juga merangkumkan manusia sebagai “Desire Machine” (1999:28) yang kita terima sejak lahir ke dunia ini. Agama, negara dan keluarga, adalah tiga institusi yang selama ini memenjarakan hasrat. Karena itu, pengikut aliran ini memproklamasikan diri untuk menjadi atheist, anarchist dan orphan.
Di antara dua pulau
Sadar atau tidak, manusia nyatanya terapung-apung diantara dua pulau yang bernama kehendak Tuhan (Will) dan hasrat diri (Desire). Mana yang dipilih, mana yang diutamakan? Agama memberi koridor, hasrat itu dosa, mengikutinya akan celaka.
Manusia-manusia dunia berpikir lain, hasrat itu nikmat, mengikutinya membuat hidup terasa menyenangkan. Atau pada sintesis yang membahayakan, banyak manusia beragama yang motivasinya untuk memenuhi hasratnya sendiri, dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan. Di sini, bukan lagi Tuhan yang menciptakan kita, tetapi kita yang menciptakan Tuhan, seperti hasrat kita.
Sikap inilah yang dikecam Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27).
trims gua bs bc sesawi net