Meister Echart, mistikus kristen terbesar di abad pertengahan, barangkali bisa memberi cahaya pada persoalan ini. Ia mengatakan kalau kita harus mengosongkan diri dari hasrat.
Manusia harus meniadakan hasratnya (Desire), dan dengan demikian, memberi ruang kosong kepada Tuhan untuk berkehendak (Will). Jika jiwa manusia sudah penuh dengan hasratnya sendiri, Tuhan tak mungkin tinggal di sana. “Kosongkan dirimu, maka kamu akan dipenuhi,” demikian Echart, mengutip Agustinus dari Hippo. Echart selanjutnya mengatakan, “Bila Tuhan diharapkan masuk, maka makluk harus keluar.”
Dasar biblis pokok ajaran Echart, bersumber pada Matius 21:12 yang mengisahkan tindakan Yesus menyucikan Bait Allah. Dalam perikop itu diceritakan bagaimana Yesus dengan sangat marah (simbolisasi kehendak-Nya yang sangat tinggi) mengusir pada pedagang yang berjual-beli di Kenisah Allah.
Yesus membalikkan meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati sembari berkata, “Rumahku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” Bagi Echart, kenisah Allah adalah simbol mistik jiwa manusia. Jiwa kita ini harus dibersihkan dari hasrat “berdagang”, hasrat “berjual-beli”, hasrat “mencari untung semata”, hasrat “barter”, dengan Tuhan.
Tuhan bagai biro jasa
Jika jiwa kita ini dipenuhi dengan merkantilisme rohani, maka Tuhan tak ubahnya biro jasa asuransi yang akan melindungi kerugian karena “tindakan derma” kita, atau biro perbankan yang akan memberi bunga jasa ketika kita sudah “menabung perbuatan baik”.
Banyak orang baik dalam agama, yang berdoa, berpuasa, membantu sesama, tetapi ujungnya melakukan lobi kepada Tuhan agar Dia memenuhi hasrat tersembunyi kita: rasa aman, berkat, pahala dan surga.
“Sebagai pedagang, mereka berbuat seperti dalam ungkapan, quid pro quo, yang penuh semangat duniawi. Sebagai bentuk ketaan mereka, para pedagang menginginkan dan mengharapkan imbalan dari Tuhan.” (Syafa’atun, 2009:183). Dengan cara demikian, mereka melakukan tawar-menawar dengan Tuhan.
Maka, semangat hidup yang dianjurkan Echart adalah sikap tak lekat dengan hasrat (abegescheidenheit). Orang harus hidup tanpa alasan “mengapa”, seperti bunga mawar yang mekar di kebun, ia mekar bukan karena ingin dilihat dan dipuji orang, ia mekar begitu saja.
Sama dengan kisah “Burung Berkicau” Anthony de Mello SJ, kenapa burung berkicau, karena ia ingin berkicau, bukan karena ingin didengar dan dipuji orang. Hidup dalam wilayah ketiadaan hasrat, ibarat sebuah kenisah kosong tanpa pedagang di dalamnya, dan rumah ini adalah rumah yang nyaman untuk berdoa, sebab Tuhan menjadi Tuhan dan manusia menjadi manusia, bukan sebaliknya.
Hasrat membuat saya menjadi hidup dan penuh semangat. Tanpa hasrat saya hidup tanpa arti,hanya mengikuti arus,tidak punya keinginan dan keberanian untuk bertindak.Namun hasrat
ga terkadang berarti saya tidak melakukan apapun juga. Hasrat itu membuat saya rela dan berserah kepada Allah.Hasrat menjadi berkat terbesar dari Tuhan buatku asalkan hasrat itu tidak berubah menjadi ambisi sebagai pemenuhan ego saya. But as usual,it is easier said than done.