DI hari-hari menjelang Hari Pahlawan 2023 ini, muncul pertanyaan tentang apa yang membuat pribadi-pribadi pada saat itu rela berperang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
- Mengapa mereka tidak memilih untuk bersembunyi saja sehingga keselamatan diri mereka terjamin?
- Gelora macam apa yang membuat mereka mau maju ke medan laga dengan resiko yang sudah jelas: mati berkalang tanah?
Tanggal 10 November 1945 adalah tonggak kepahlawanan di negeri ini. Dari peristiwa tersebut, kita bisa menuai jiwa kepahlawanan yang semestinya tetap menjiwai perjuangan masyarakat Indonesia.
Kilas balik sejarah
Di hari-hari menjelang 10 November itu, masyarakat Indonesia dibuat geram oleh sebuah selebaran yang disebar melalui Komandan Perang Inggris di Jawa Timur, Mayor Jenderal Mansergh mewakili pihak Belanda. Mereka meminta seluruh pimpinan Indonesia, pemuda, polisi dan kepala radio di Surabaya menyerahkan diri mereka ke Bataviaweg atau Jalan Batavia pada 9 November 1945.
Selebaran ini merupakan reaksi atas tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby yang tewas terpanggang karena terkena lemparan granat di Gedung Internatio, Surabaya. Peristiwa itu dalam satu rangkaian dengan peristiwa di Hotel Yamato, 19 September 1945, ketika di negara Indonesia yang merdeka, Belanda memasang bendera mereka di atas menara hotel.
Keberanian para pemuda untuk merobek warna biru dalam bendera itu sehingga tersisa warna merah putih yang merupakan bendera Indonesia menjadi peristiwa yang menggelorakan semangat membela bangsa.
Permintaan untuk menyerah itu tentu dianggap sebagai penghinaan. Bangsa ini sudah merdeka dan tidak ada di bawah pemerintahan Belanda. Oleh karenanya, tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mengikuti perintah orang Belanda. Lalu bagaimana memaknai pembunuhan terhadap Brigadir Jenderal Mallaby?
Di sinilah terjadi standar moral ganda.
Orang-orang Belanda menganggap kematian Brigadir mereka sebagai sebuah kejahatan besar, sementara kematian sekian banyak rakyat Indonesia akibat penjajahan tidak pernah mereka perhitungkan. Dalam kacamata sebuah bangsa yang merdeka, ini adalah sebuah penghinaan.
Kematian ribuan orang tidak diakui, sementara kematian satu orang dianggap sebagai hal yang begitu besar. Nyawa orang Indonesia tidak dianggap sepadan dengan nyawa orang Belanda.
Kesadaran ini mengingatkan bahwa di sinilah sebenarnya akar dari penjajahan yaitu saat terjadi perendahan terhadap bangsa sendiri. Kita bukan bangsa kecil, kita bukan bangsa budak. Kita adalah orang merdeka.
Ir. Soekarno mengatakan “Di mana perbudakan berada, di sana tidak ada kebebasan; dan di mana kebebasan berada, perbudakan pun tidak ada.”
Di sinilah lalu ditemukan jawab tentang apa makna perjuangan 10 November. Warga bangsa ini tidak lagi ingin dirinya, bangsanya atau pun generasi penerus hidup sebagai bangsa budak. Lebih dari sekedar soal membunuh atau tidak membunuh, peristiwa ini menandakan sebuah kehendak untuk memberi kesempatan hidup merdeka bagi banyak orang, termasuk Anda dan saya hari ini.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Dalam diri pribadi-pribadi yang menjadi pahlawan di hari itu, salah satunya Soetomo, kita memanen citra manusia Indonesia yang dirumuskan dalam sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Dalam hal ini, kita tidak pertama-tama berbicara tentang adil maupun beradab, melainkan tentang kemanusiaan, tentang kedalaman pribadi manusia. Manusia Indonesia yang tergambar di dalam pribadi-pribadi pahlawan tersebut melambangkan dua citra manusia: manusia yang peduli dan manusia yang berani berjuang.
Kita bisa mengamati satu persatu.
Sikap manusia peduli mungkin memang menjadi ciri khas yang menghidupi Generasi 1945. Hal ini terutama karena mereka dihadapkan pada kenyataan tidak bisa hidup seorang diri sehingga ada rasa saling membutuhkan satu sama lain.
Tanpa kebersamaan, mereka tidak bisa melepaskan diri dari ikatan orang-orang Belanda, sehingga mereka memang dipaksa oleh keadaan untuk saling peduli. Situasi yang serba terbatas, keprihatinan dan penderitaan yang ditanggung bersama serta rasa senasib sepenanggungan menjadikan mereka pribadi yang peduli.
Dalam arti tertentu, mereka menikmati anugerah kesatuan karena tanpa persatuan itu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Menjadi pertanyaan bagi kita hari ini, mengapa kita tidak bisa bersatu ketika kita hidup dalam kenyamanan sebagai sebuah bangsa atau memang benar ungkapan kuno yang mengatakan “kenikmatan lebih membunuh daripada pedang.”
Jangan-jangan sifat peduli yang menjadi ciri dari seorang pahlawan sudah lari meninggalkan nurani manusia Indonesia hari ini.
Sikap berani berjuang demi sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran menjadi sifat kedua dari sikap para pahlawan. Kalau dalam dunia pewayangan hal ini dikenal sebagai sikap ksatria.
Tidak ada kata ragu-ragu, takut mati, menunda-nunda, memikirkan kepentingan diri atau sikap-sikap rendah lain dalam diri orang yang memiliki sikap ksatria. Dia hanya tahu bahwa ada hal yang harus dilakukan. Dalam bahasa pewayangan hal ini dikenal sebagia dharma, semacam kewajiban hidup atau kenyataan di depan mata yang hanya harus dihadapi, bukan disingkiri.
Rasa-rasanya saat ini, kita senang mendengar sikap ksatria ini, tetapi menjadi sangat berat untuk melaksanakannya. Mungkinkah sama seperti sikap peduli, sikap ksatria sedang perlahan meninggalkan bumi pertiwi ini. Layaknya orang yang jatuh cinta mengejar cintanya sampai dapat bahkan sampai ke ujung bumi.
Rasanya hari Pahlawan 2023 ini menjadi momentum bagi kita untuk kembali menggelorakan cinta kita kepada sikap peduli dan ksatria kita sebagai warga bangsa ini. Kalau memang sikap-sikap ini yang kita cintai, tentu kita mau meninggalkan sikap-sikap lain yang berlawanan dengan sikap-sikap tersebut.
Terlalu mahal harganya bagi negeri ini kalau harus merelakan kedua sikap yang sudah melahirkan banyak pahlawan di negeri ini.
Memerangi Kemiskinan dan Kebodohan
Salah satu hal yang membuat orang lalu kehilangan nilai-nilai hidupnya adalah kenyamanan dan kenyataan bahwa orang tidak menemukan ruang perjuangan yang seharusnya bisa dikejarnya.
Tahun 2023 ini, pemerintah mengajak kita untuk menyadari salah satu medan perjuangan yang perlu dipikirkan oleh semua warga bangsa yaitu tentang memerangi kemiskinan dan kebodohan.
Itulah sebabnya tema hari pahlawan tahun ini adalah “Semangat Pahlawan untuk Masa Depan Bangsa dalam Memerangi Kemiskinan dan Kebodohan.”
Sudah waktunya bagi kita untuk menyadari bahwa ada medan juang yang sama yang sedang kita gulati. Negeri ini masih dijajah oleh kemiskinan dan kebodohan.
Namun lebih dari itu, sama seperti pada masa penjajahan, yang lebih merusak dari penjajahan adalah mentalitas sebagai bangsa budak, sekarang pun yang lebih merusak dari kemiskinan dan kebodohan adalah mentalitas orang miskin dan mentalitas orang bodoh.
Mentalitas orang miskin terus menguat dalam kenyataan bahwa korupsi menjadi wabah di negeri ini. Orang-orang yang bermental miskin belum tentu miskin, tetapi masih terus rakus akan kepemilikan dan lupa caranya memberi.
Sementara, mentalitas bodoh tampil dalam diri orang-orang yang tidak bisa berpikir bahwa negeri ini baru akan maju kalau orang belajar tentang kedisiplinan, tepat waktu dan kejujuran.
Para pahlawan tahun 1945 adalah pribadi-pribadi yang benar-benar merdeka. Dalam peribahasa dikatakan “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai.” Artinya daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati. Ada harga diri dan mentalitas orang merdeka di hati para pejuang saat itu.
Saat ini, bangsa kita masih belum merdeka dari sikap rakus dan sikap acuh tak acuh yang melahirkan kemiskinan dan kebodohan. Kalau hal ini yang terus menerus terjadi, orang bisa mempertanyakan kapan lagi kita bisa menuai buah kepahlawanan. Mungkin pula upaya kita untuk merangkul pulang sikap peduli dan berani berjuang hanyalah tinggal angan-angan.
Selamat Hari Pahlawan. Jangan pernah matikan hati nurani yang terus mengundang Anda dan saya menjadi manusia yang adil dan beradab. Merdeka.
Martinus Joko Lelono
Imam Katolik, pengajar Pancasila di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.