MANUSIA-manusia yang tercerahkan tidak berhenti di sebuah perasaan sakit. Manusia-manusia agung ini menunggu rasa sakit itu berlalu, seperti seekor kumbang yang menunggu sekuntum bunga mekar dari kelopaknya.
Seakan tak mau kehilangan momen, kumbang itu menunggu dengan sabar satu kelopak membuka diri, untuk sekuntum bunga yang hari ini mekar dan esoknya layu.
Hidup kita ini seperti sepasang daun pintu yang terhempas ke sana kemari oleh apapun yang datang dan keluar, meskipun masih terpatri pada engselnya masing-masing. Begitupun apa yang datang, sakit dan senang, sedih dan gembira, mereka datang dan pergi, menghempas daun-daun pintu kehidupan kita, menciptaaan derai angin dengan dernyit engsel. Tetapi semua tetap pada tempatnya. Yang datang biarlah lewat, yang pergi biarlah berlalu. Rasa sakit itu muncul ketika kita menahannya untuk masuk, atau menahannya untuk keluar.
Dengarkan rasa sakit
Rasa sakit perlu dilihat, ia perlu didengar. Ia barangkali bagian diri kita yang sudah lama kita sembunyikan dalam penjara. Hidup dengan orang lain, membuat kita sering memenjarakan sebagian dari diri kita. Sebab begitulah memang kehidupan, tak semua bagian dari “aku” bisa mendapat kesempatan tampil dalam panggung kehidupan kita yang tak lama.
Layaknya benih yang ditanam petani, ada yang mati, ada yang kerdil dan ada yang menjulang tinggi. Begitulah, ternyata kita semua memiliki anak emas dan anak tiri, yang kita biarkan terlihat dan yang kita biarkan tersembunyi. Sakit hati adalah semacam unjuk rasa dari mereka-mereka yang selama ini kita penjara. Mereka ingin kita bebaskan. Mereka ingin kita dengarkan. Mereka ingin kita lihat.
Melihat rasa sakit menjalar di hati kita, sungguh sebuah keteguhan hidup yang tiada tara, seperti karang yang tetap berdiri di tempatnya, entah laut pasang atau laut surut. Tetapi, kita selalu tergoda dan godaan itu begitu menggiurkan. Kita tergoda untuk menghakimi setiap rasa sakit sebagai akibat dari sebab, dan karena itulah kita mencari kambing hitam. Selalu ada yang salah dan hendaknya bertanggung jawab atas apa yang membuat hati kita sakit. Dia bisa orang lain. Dia bisa kondisi.
Dia bisa Tuhan. Dia bisa diri kita sendiri. Mengapa kita tergoda untuk memberi sesuatu nama untuk rasa sakit kita? Mengapa kita menjadi daun pintu yang tak lembut berayun-ayun, ketika seseorang mendorongnya. Ya, menjadi daun-daun pintu yang bergerak, meski didorong ke dalam ia bergerak ke luar, dan ke dalam meski didorong keluar.
Yang terbaik adalah kita hanya melihat dan mendengar, melihat dan mendengar, melihat dan mendengar, selebihnya biarkan lewat tanpa palu penghakiman benar atau salah, bagaikan matahari yang tidak bergetar meskipun bayangannya bergetar di saat kita menggoyangkan mangkok yang berisi air yang memantulkan sinar matahari itu.
Jangan menghindar
Hidup ini tidak bisa menghindar. Jika kita menganggap kita benar, maka orang lain salah. Sebaliknya juga demikian. Kalau kita benar dan dipersalahkan, kita sakit hati. Jadi hanya karena mau menghindar, rasa sakit itu muncul tak terelakkan. Jika kita selalu menghindar, rasa sakit itu akan selalu mengejar kita. Bahkan ia bisa berlari secepat kita berlari, seperti bayangan kita yang selalu mengikuti kemanapun badan kita bergerak.
Berhentilah dan jangan menghindar, sebab hidup ini, sekali lagi, tidak bisa menghindar. Beradalah di tempat dimana kita berada, seperti daun pintu, dan biarkan yang lewat itu lewat. Sesederhana itulah kehidupan yang nampaknya rumit ini, dan serumit itulah kehidupan yang nampaknya sederhana ini. Membiarkan yang lewat itu lewat, seperti daun pintu.
The only medicine for suffering, crime, and all the other woes of mankind is wisdom
(Thomas Huxley)
selesai
Terima kasih,
artikelnya bagus 🙂
sama…sama semoga menginspirasi…