41 TAHUN mengabdi sebagai guru merupakan prestasi yang luar biasa. Perlu komitmen yang konsisten untuk mencapai prestasi tersebut.
Sudah tidak terhitung lagi jumlah murid yang pernah mengenyam pendidikan dengannya. Ia satu-satunya tokoh pendidik yang tidak tertandingi di Balai Semandang, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Guru tanpa tanda jasa kurun waktu 1953-1994
Adalah Hilarius Benediktus Rikah—selanjutnya disingkat HB Rikah- nama sang tokoh ini. Guru tanpa jasa ini mengabdi sejak tahun 1953 sampai 1994.
Ia merupakan pria yang sangat berwibawa. Rapi. Bersih. Senang memakai baju putih. Badan tinggi sekitar 175 cm. Kulit berwarna cokelat. Mata sedikit sipit. Suara bas. Kuku dipotong pendek.
Sangat disiplin mengelola waktu. Blak-blakan tanpa rasa takut. Tidak sungkan untuk menghukum siswa yang tidak disiplin.
Lahir 13 Januari 1934 dari pasangan Banjah dan Atju, di Kampung Selantak, sekitar 40 km sebelah selatan desa Balai Semandang. Orangtuanya menganut kepercayaan animisme. Petani tradisional. Berladang berpindah-pindah. Ibunya dukun. Mampu mengobati berbagai penyakit.
Tahun 1943 ia pernah berhenti sekolah di kelas II Sekolah Rakyat di Kampung Karab, karena sakit paru.
Kala itu masa penjajahan Jepang. Dua tahun kemudian di usia sebelas tahun, ia ikut terlibat bersama kepala Burung berperang mengusir penjajah Jepang.
Alat-alat perang sangat sederhana. Hanya bawa mandau, sumpit, tombak, dan bambu runcing.
Melanjutkan sekolah
Tahun 1948, HB Rikah kecil masuk sekolah lagi bersama tiga orang teman akrab berasal dari kampung yang sama. Mereka duduk di kelas II lagi.
Tahun 1949, ia bersama dua orang temannya yaitu Djolang dan Teken meneruskan pendidikan Sekolah Rakyat di Ketapang. Mereka menempuh perjalanan dengan perahu selama satu pekan. Jalan darat waktu itu belum ada.
Di Ketapang, mereka menginap di biara pastoran Passionis. Waktu itu mereka diterima oleh Pastor Raphael Kleyne CP dan Pastor Bernardinus Kinnenberg CP.
Dua hari kemudian, tanggal 12 Agustus 1949, ia dan temannya diserahkan oleh Pastor Bernardinus CP kepada kepala Sekolah Rakyat 6 di Kampung Kaum, Ketapang. Kepala sekolah SR waktu itu Radjab. Mereka dari kelas II langsung duduk di kelas IV. Sebab saat dites hasilnya memang pantas duduk di kelas IV.
Selama sekolah di Sekolah Rakyat 6 Ketapang hingga tamat kelas VI, ia tinggal di biara Pastoran Passionis. Di biara tersebutlah ia banyak belajar tentang agama Katolik. Tiap pagi ikut misa. Rajin membaca Kitab Suci. Para pastor banyak memberikan pelajaran agama Katolik.
Konsekuensi tinggal di pastoran harus membantu membersihkan biara. Di situlah displin mulai tertanam.
Tahun 1952 ia tamat kelas VI. Mau lanjutkan pendidikan ke SMP di Kota Pontianak. Tapi terbentur biaya.
Memberantas buta huruf
Setamat kelas VI, ia harus pulang ke kampungnya lagi. Merasakan sulitnya meneruskan sekolah ke jenjang berikutnya dia berangan-angan menjadi guru.
Sebelum pulang kampung, ia memberanikan diri untuk minta buku-buku pelajaran sekolah dan agama Katolik kepada Pastor Bernardinus CP. Buku-buku pun diberikan.
Tanggal 25 Agustus 1952 dia tiba di Kampung Selantak. Tidak lama istirahat dan santai. Suatu hari dia bersama lurah Selantak bernama Lasin bermusyawarah untuk memberikan pelajaran pemberantas buta huruf (PBH).
Dibukalah kelas pertama pelajaran pemberantas buta huruf. Respon masyarakat untuk belajar membaca dan menulis sangat positif. Pengajarnya pun HB Rikah. Alat tulis ditanggung oleh pelajar.
Ia tidak mendapatkan gaji sepeser pun. Sungguh sukarela dan ihklas. Memang tetap ada sumbangan. Bukan berupa uang. Tapi padi dari hasil ladang. Murid waktu itu berjumlah 20 orang.
Kegiatan belajar buta huruf pun berkembang. Hal ini menarik minat lurah Karab bernama Lorah. HB Rikah pun diundang ke Karab untuk bicara masalah sekolah dan agama. Hadir waktu itu lima puluh orang.
Membuka sekolah di Pergung
Tanggal 24 April 1953, ia mendapat undangan dari Lurah Canggai, Lurah kampung Pergung, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Jarak antara Selantak-Pergung sejauh 42 km.
Ia berangkat ke kampung Pergung tanggal 25 April 1953. Tinggal di rumah lurah. Sehari kemudian bertempat di rumah betang (pendopo) diadakan musyawarah. Tentu membahas tentang pendidikan. Hadir sekitar 300 orang masyarakat awam.
Ia mendapat dukungan penuh dari Lurah Kampung Paser, lurah Kampung Concong, lurah Kampung Deraman, lurah Kampung Kesiau, lurah Kampung Marau, lurah Kampung Muara Kasai, dan lurah Kampung Legong.
Dalam musyawarah disepakati sekolah resmi dibuka tanggal 27 April 1953. Bertempat di Kampung Pergung. Nama sekolahnya Sekolah Partikelir Rakyat. Tenaga pengajarnya pun HB Rikah. Gaji swadaya berasal dari masyarakat delapan kelurahan.
Sekolah dibangun secara swadaya. Gedung sekolah sederhana. Hanya lantai tanah, dinding bambu dan atap daun.
Pembukaan secara resmi sekolah dengan adat Penopusan Tampung Tawar oleh seorang tokoh kampung Pergung bernama Kokas.
Waktu penerimaan awal siswa ada 40 orang. Berasal dari delapan kelurahan. Buku-buku pelajaran disediakan oleh HB Rikah, kecuali alat tulis.
Selain rutin mengajar, ia melakukan penjaringan dan mendidik delapan orang untuk kursus pemberantasan buta huruf .
Waktu itu hampir 98% masyarakat masih buta huruf. Ia tidak pernah putus asa untuk mengajar. Untungnya, masyarakat cukup antusias untuk belajar membaca dan menulis.
Karena hanya seorang diri mengajar di Sekolah Partikelir Rakyat Pergung tersebut, maka ia memanggil Yohanes Codik untuk membantunya. Waktu itu Yohanes Codik masih mengajar di Kampung Gerai.
Tanggal 11 September 1954, ia menikah dengan gadis kampung Pergung bernama Daria Polania Nau. Dari pernikahan ini mereka mempunyai tujuh orang anak. Semua anak laki-laki memakai nama baptis para rasul.
Awal tahun 1965, Sekolah Partikelir Rakyat Pergung ditutup oleh pemerintah. Lantaran jumlah siswa yang tidak memenuhi.
Selain ditutup oleh pemerintah, juga karena keberadaan Sekolah Partikelir Rakyat Pergung mendapat protes dari tujuh lurah lainnya.
Mengajar keliling kampung
Siang hari ia mengajar di sekolah. Tapi malam harus mengajar dari kampung ke kampung. Ia melibatkan delapan orang yang sudah kursus. Maka dibuatlah jadwal mengajar.
Harus berjalan kaki lewat jalan setapak. Hanya berbekal lampu senter atau alat penerang lainnya. Kadang setelah mengajar, HB Rikah memberi pelajaran agama Katolik.
Ia mengajar pemberantasan buta huruf malam hari di Kampung Pergung, Kampung Pantong, dan Kampung Kesiau.
Sedangkan lainnya ada yang mengajar di Kampung Nanga Baram, Kampung Paser, dan beberapa kampung lainnya hingga tahun 1954.
Mereka semuanya tidak mendapat gaji. Sebagai imbalannya, para siswa dapat membantu bekerja di ladang milik guru. Unik memang waktu itu.
Menghidupkan kembali sekolah
Setelah Sekolah Partikelir Rakyat Pergung sempat ditutup, beberapa tokoh dan masyarakat masih peduli dengan keberlanjutan pendidikan.
Tokoh dan masyarakat meminta supaya sekolah dilanjutkan lagi. Tapi tempatnya di Mungguk Nibong (sekarang Balai Semandang). Tempat netral.
HB Rikah bersama Yohanis Codik dan beberapa tokoh lainnya mengajukan permohonan kepada Yayasan Usaba Ketapang agar membuka kembali sekolah.
Permohonan dikabulkan tahun 1965. Namanya SD Swasta No 05 Balai Semandang. Kepala sekolahnya HB Rikah. Ia mengabdi sebagai kepala sekolah hingga 1978.
Ia merangkap mengajar berbagai mata pelajaran. Jumlah murid kelas I-III waktu itu ada sebanyak 75 siswa.
Tahun 1973/1974, SD Partikelir Balai Semandang mengikuti ujian negara untuk pertama kalinya dengan jumlah 10 orang.
Guru multi talenta promotor sekolah
Awal berdirinya SD Swasta Balai Semandang, ia mengajar banyak mata pelajaran. Salah satunya menyanyi.
Pada hari-hari tertentu, siswa menyanyi. Lagu-lagunya diambil dari buku Jubilate. Bernuansa Gregorian. Ada lagu berbahasa Latin. Misalnya, Vivat Sacerdos. Siswa harus hafal semua lagu yang diajarkan.
Selain itu, siswa diajarkan cara membuat tanda salib. Juga doa-doa devosi lainnya. Doa Bapa Kami, Doa Salam Maria, Aku Percaya, Kemuliaan harus hafal. Ada doa-doa berbahasa Latin waktu itu: Pater Noster, Ave Maria.
Tiap hari pula beberapa siswa dipanggil ke depan dan berdiri. Mereka diminta mengulangi kembali doa-doa dan juga lagu-lagu gereja. Jika tidak hafal terpaksa harus mendapat sangsi.
Selain menanamkan rohani, dia juga mengajarkan lagu-lagu nasional. Jiwa patriot dan nasionalisme pada para murid harus terpatri.
Sebagai bukti, beberapa murid dipanggil juga ke depan kelas untuk menyanyi lagu-lagu nasional tertentu.
Latihan baris berbaris rutin diadakan. Menaikkan bendera juga. Melatih siswa untuk menjadi dirigen saat upacara juga tidak kalah penting.
Sering kali ia berkeliling mengitari ruangan. Tiba-tiba menunjuk seorang siswa untuk menghafal Doa Salam Maria secara spontan. Tidak hafal tentu ada sanksinya juga. Murid-murid pun sangat takut. Tapi semuanya berdampak positif. Siswa-siswa menjadi terbiasa.
Di situlah arti penting disiplin.
Disiplin ditanamkan. Kuku harus pendek. Juga rambut tidak boleh panjang. Saat pelajaran berlangsung tidak satu murid pun boleh ribut.
Ia juga mengajar para murid untuk menghafal perkalian; khususnya kelas III dan IV. Para murid wajib membawa potongan lidi sebanyak mungkin. Potongan lidi itu untuk berhitung.
Ada lagu mars khas Balai Semandang. Dan para murid pun juga harus hafal. Kata-kata dalam mars tersebut ada yang bernuansa promosi.
Tujuannya agar semakin banyak anak-anak di kampung tempat siswa tinggal tertarik untuk sekolah.
Para murid selalu diajarkan tata krama menyambut orang lain, termasuk para guru.
”Selamat pagi…. Tabik tuan” dikatakan dengan nada yang panjang. Itu contoh. Tapi punya pesan moral tinggi.
Untuk mengenalkan sekolah, para murid diajak mengunjungi beberapa kampung. Berjalan kaki lewat jalan setapak.
Murid berbaris sambil menyanyikan lagu-lagu nasional di dalam rumah betang (rumah adat) yang panjangnya sekitar 100-an meter.
Satu buah rumah betang dihuni sekitar 20 kepala keluarga.
Setiba di kampung para murid berbaris dan bernyanyi. Masyarakat banyak yang menonton. Alhasil, pelan namun pasti kelak akan ada anak-anak tertarik untuk sekolah.
Terlepas dari hal tersebut di atas, para murid kelas V dan VI pun diperkenankan untuk masuk sekolah siang. Murid diberi kesempatan mengaret (menyadap karet) pagi hari. Hasilnya untuk membantu orangtua. Dan juga untuk menabung.
Profesi lain yang sangat menarik adalah bertani. Bercocok tanam. Waktu itu dia sudah mempunyai wawasan bagaimana mengolah sawah. Tidak ada referensi. Hanya intuisi yang berkembang. Sementara yang lainnya masih suka berladang berpindah-pindah.
Ia mengajak murid kelas VI untuk bercocok tanam. Para murid ikut bercocok tanam merupakan kegiatan ekstrakurikuler. Murid akan mendapat nilai di rapor juga.
Di luar kegiatan mengajar di sekolah pada saat tertentu dia ikut dan hadir dalam kegiatan pesta pernikahan adat.Di situlah ada kesempatan untuk mengajar agama Katolik. Mulai dari cara membuat tanda salib, doa Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya, Kemuliaan. Waktu itu, masih banyak sekali yang mempunyai kepercayaan animisme.
Sejak tahun 1965 hingga hadirnya katekis pertama MA Suri, BA, ia sering kali memimpin ibadat umum sekaligus membawa homili atau kotbah saat beribadat di gedung sekolah SD Swasta No 05 Balai Semandang. Di situlah proses penyebaran ajaran agama Katolik.
Gereja Katolik bernama St Yohanes Rasul berdiri dan diresmikan oleh uskup Mgr Pujaraharja, Pr pada tanggal 30 Juni 1997.
Tanggal 31 Juli 1977 hingga 25 Oktober 1984 ia mendapat kepercayaan dari Paroki Balai Berkuak untuk membagikan hosti kepada umat Katolik stasi St Gabriel, Balai Semandang, dan sekitarnya.
Selama 41 pulalah ia telah menoreh banyak kesuksesan dalam pendidikan. Banyak murid yang sudah bergelar sarjana baik S1, S2 maupun S3. Juga banyak yang menjadi pengusaha, politikus, dan berbagai profesi lainnya.
Yang membagakan ia adalah telah menghasilkan seorang pastor pertama yaitu Pastor Matheus Juli Pr.
Pastor Matheus Juli Pr merupakan angkatan pertama kelas VI lulusan SD Swasta No 05 Balai Semandang.
Ia juga merupakan tokoh yang menginisiasi adanya nama Gereja Balai Semandang, yakni Yohanes Rasul. Nama itu diambil dari nama baptisnya Yohanes Codik.
Tanggal 11 Juni 2005 HB meninggal dunia. Karena jasa-jasanya yang luar biasa dan sebagai penghormatan maka ada 10 buah tiang yang ditancapkan mengitari makamnya. (Berlanjut)