[media-credit name=”silence” align=”aligncenter” width=”500″][/media-credit]DIAM, hening atau silentium dalam bahasa Latin menjadi makanan sehari-hari ketika aku masuk Seminari Menengah Mertoyudan.
Waktu itu aku tak paham kenapa peraturan untuk diam dan tenang di tempat-tempat tertentu seperti tempat tidur, ruang kelas, tempat cuci dan jemur pakaian, kapel dan beberapa tempat lain selalu didengung-dengungkan.
Bila tak bisa diam, kita semua atau setidaknya pembuat onar mesti menghadap romo pamong dan paling banter disuruh membuat refleksi sambil melakukan penitensi entah mengepel, mengambil kotoran babi atau mencabut rumput tapak liman di lapangan sepakbola.
Kebiasaan ini berlanjut hingga aku masuk Novisiat Santo Stanislaus Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah tempat menggodhog para yesuit muda. Peraturan dan aturan yang sama berlaku.
Rasanya tak hanya seminari menengah maupun novisiat tempatku dididik, seluruh biara atau rumah kongregasi atau ordo yang ada di Indonesia bahkan di seluruh dunia pasti memberlakukan hal yang sama.
Aku baru memahami keheningan dan diam ini menjadi modal pokok untuk bisa melakukan refleksi, introspeksi, menimbang-nimbang mengenai hidupku saat retret-retret kujalani.
Makin menjadi berarti kebiasaan hening ini ketika aku sudah keluar dari Serikat Yesus dan bekerja di sebuah perusahaan swasta dan tinggal di kota besar, Jakarta. Keheningan menjadi barang yang sangat berharga.
Suara bising di sana-sini, situasi kota yang sepertinya tak pernah mati dengan berbagai hal yang terjadi menjadikan keheningan makin mahal. Sampai-sampai aku merasa heran sekaligus pusing ketika tetanggaku yang tinggal satu kompleks perumahan denganku selalu menyetel lagu-lagu lama keras-keras seolah di dunia ini hanya ada dirinya. Untung aku tidak tinggal di sebelah rumahnya.
Mendengar suara Tuhan
“Kita butuh meluangkan waktu untuk berdiam diri di tengah-tengah kesibukan sehari-hari agar bisa mendengarkan suara Tuhan,” kata Paus Benediktus XVI dalam sebuah audiensi di Vila Kepausan, Castel Gandolfo, 10 Agustus lalu.
Silentium, katanya merupakan kondisi yang terbaik untuk mengumpulkan kembali seluruh pengalaman kita, mendengarkan Tuhan.
Paus lalu bercerita bahwa ‘silentium’ yang merupakan tradisi kuno sekali yang dilakukan para rahib ini menggabungkan dua elemen penting untuk kontemplasi hidup, mengagumi keindahan ciptaan yang berujung pada penciptanya dan keheningan itu sendiri sebagai cara menguasai kebisingan kota tempat kita tinggal.
Dalam sejarah pencarian manusia akan Tuhan, keheningan dan doa menjadi hal pokok, kata Paus. Bahkan dalam Perjanjian Lama, Tuhan bicara kepada Nabi Eliyah di Gunung Sinai dalam tiupan angin sepoi-sepoi yang menenangkan, bukan dalam suasana gempa bumi, guntur menderu-deru atau api yang menyala-nyala.
“Tuhan bicara kepada kita dalam keheningan. Karena itu kita harus tahu bagaimana mendengarkan suaraNya,” ujar Paus.
Jadi, tentu saja tidak mengherankan bila banyak orang zaman sekarang mulai gemar mengunjungi biara-biara untuk tinggal sebentar mengalami keheningan dan meninggalkan kota sejenak dari kebisingan.
Dengan menunjuk pada Bunda Maria sebagai guru yang mengajarkan keheningan dan doa, Paus menutup sambutannya dan audiensi di hadapan para peziarah yang sedang mendaraskan doa “Bapa Kami.”