Pengantar Redaksi
SEPULANG dari perjalanan pastoral mengunjungi Meksiko dan saat usai melakukan doa Angelus (Malaikat Tuhan) di Roma tanggal 21 Februari 2016 lalu, Fransiskus menyerukan harapannya agar hukuman mati dihapuskan selamanya. Atau, kata mantan Uskup Agung Buenos Aires Kardinal Jorge Maria Bergoglio dan mantan Provinsial SJ Provinsi Argentina ini, jangan ada eksekusi mati selama berlangsung Tahun Kerahiman Ilahi sepanjang bulan-bulan mendatang di tahun 2016.
Redaksi Sesawi.Net menghubungi beberapa sumber untuk dimintai tanggapannya dan komentarnya atas seruan Paus Fransiskus tersebut, namun dalam konteks sosial politik Indonesia. Dengan sendirinya, tanggapan para narasumber ini dilakukan dalam perspektif cara pikir Indonesia.
Berikut ini kami sarikan tanggapan dari para nara sumber kami.
———————
Demi Selamatkan Masa Depan, Hukuman Mati Cocok untuk Bandar Narkoba — the Silent Murderers
DEMIKIAN inti pendapat Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro SH, guru besar ahli tata negara Unika Parahyangan Bandung.
Pada bulan April 2012 lalu, anak kedua Prof. Koerni yakni Harrindaka Maruti tewas ditembak oleh perampok, ketika almarhum tiba-tiba ngonangi rumahnya di Bandung akan kemasukan maling. Prof. Koerni tentu saja sudah melaporkan kasus ini ke polisian. Namun hingga kini, kasus pelaporan itu tidak jelas kemana arah juntrungan-nya. Juga semakin tidak jelas lagi bisa mengindentifikasi siapa persisnya identitas maling yang hendak menggarong rumahnya hingga akhirnya menembak mati Harrindaka Maruti saat terlibat duel maut karena aksinya telanjur konangan dan merasa dihalangi.
Kepada Sesawi.Net, Prof. Koerni menceritakan sharing pribadinya dan tanggapannya terhadap laporan berita yang menyebutkan Paus Fransiskus telah menyerukan dihapuskannya hukuman mati untuk semua narapidana terhukum mati tanpa kecuali. Kalau bisa ya selamanya, demikian seruan Paus Fransiskus. Tetapi kalau hal itu dirasa tidak memungkinkan, seruan Paus itu semoga bisa terjadi setidaknya dalam kurun waktu Tahun Kerahiman Ilahi (2015-2015) ini. Ref: Pope terms Mexico, a journey of transfiguration, calls for an end to death penalty.
Menanggapi seruan Paus Fransiskus tersebut, Prof. Koerniatmanto Soetoprawiro SH, ahli hukum tata negara Universitas Katolik Parahyangan Bandung, menyatakan “tidak” untuk para bandar narkoba yang dia sebut sebagai the silent murderers. Ia mengimbau jangan ada lagi upaya sesat pikir oleh kelompok pemerhati HAM yang berjuang untuk ‘menyelamatkan’ para bandar narkoba ini dari hukuman tembak mati hanya karena issue HAM atau “belas kasih”.
Itu karena, demikian kata Prof. Koerni, sekalipun sudah masuk penjara, para bandar narkoba itu tidak pernah menunjukkan pertobatan. The silent murderers ini, demikian laporan pemberitaan koran nasional beberapa waktu lalu, toh masih saja tetap bisa mengendalikan bisnis haram ini di balik jeruji besi dan menggaruk untung milyaran rupiah.
Sementara pada sisi kehidupan lainnya, demikian kata Prof. Koerni, para pasien ketagihan narkoba semakin meradang. Para korban penggila konsumsi narkoba ini sering menggerus uang dan harta keluarga hingga membuat keluarga mereka jadi bangkrut miskin. Lebih menyedihkan lagi, para pecandu narkoba dan para pasien adiksi narkoba itu juga tak jarang akhirnya meregang nyawa karena tak berhasil disembuhkan dari penyakit ketagihannya atau menjadi korban over dosis pemakaian narkoba.
Berikut di bawah ini adalah isi sharing pribadinya kepada Sesawi.Net.
Menjadi derita keluarga
“Secara pribadi, saya memang lebih memajukan ungkapan belas kasih dalam urusan ini. Anak saya telah ditembak mati oleh maling yang hendak menyambangi rumah kami untuk merampok. Saya sungguh sedih sekali. Kami sekeluarga sungguh sangat-sangat berduka dan kedukaan mendalam itu masih terasa hingga ssekarang. Almarhum anak kami –alm. Harrindaka Maruti– merupakan harapan kami sekeluarga. Kakak kandungnya sampai sekarang juga masih terguncang hatinya. Ini semua menjadi salib seumur hidup bagi kami sekeluarga,” kata Prof. Koerni memulai sharing-nya kepada Sesawi.Net.
Tak mau terikat dendam
“Tetapi saya pribadi telah memaafkan si pembunuh anak saya itu. Sampai sekarang saya pun tidak tahu siapa sebenarnya si pembunuh anak saya itu. Saya juga tidak berminat ingin tahu, daripada saya memelihara dendam. Bagi saya, dendam berarti hidup saya berhenti di urusan itu, karena saya menjadi terikat pada urusan yang satu itu. Hidup menjadi macet di sana.”
“Kembali ke urusan hukuman mati. Dari uraian saya di atas, saya ingin menunjukkan bahwa saya tidak ingin pembunuh anak saya itu dihukum mati. Itu tidak ada gunanya. Anak saya tidak mungkin hidup lagi, jika hukuman mati itu diterapkan pada pembunuh anak saya itu.”
Jangan sesat pikir: Bandar narkoba itu “the silent murderers”
“Akan tetapi harus saya akui, saya melihat ada kepentingan lain dalam urusan perlindungan masyarakat luas. Beberapa waktu yang lalu, kita dibuat heboh dengan isu hukuman mati bagi para bandar narkotika. Saya lalu teringat akan ungkapan Stalin. Ia pernah mengatakan: ‘Kematian satu orang adalah sebuah tragedi, sementara kematian jutaan orang adalah sebuah statistik’.“
“Ungkapan Stalin itu ingin saya acukan pada hukuman mati segelintir bandar narkotika yang merupakan ‘silent murderers’. Uniknya, kematian mereka dipandang sebagai suatu tragedi kemanusiaan. Namun demikian, rupanya orang telah mengabaikan fakta bahwa jutaan manusia yang dibunuh oleh para bandar narkotika itu, demi keserakahan material. Jutaan manusia yang terbunuh (secara tidak kasat mata) itu rupanya hanya sekedar suatu catatan statistik.” (Baca juga: Indonesian professor: I forgave my son’s killer, but I support the death penalty)
“Telah sedemikian banyaknya yakni manusia-manusia anonim yang martabat kemanusiaannya terlindas oleh belas kasih kita terhadap para bandar narkotika itu. Bagi saya ini bukan sebuah balas dendam, melainkan upaya pencegahan agar mereka tidak melanjutkan proses pembunuhan demi milyaran dollar yang mereka keruk dari bisnis haram ini. Apalagi terbukti, mereka tetap melangsungkan bisnis setan itu di balik jeruji penjara, sambil menunggu eksekusi hukuman mati. Banyak pula pengedar narkotika kelas teri yang ‘lulus sekolah’ menjadi pengedar narkotika kelas kakap setelah mereka keluar penjara.”
Gereja Katolik peduli generasi masa depan?
“Saya akui saya mendua dalam hal hukuman mati ini, demi keselamatan masyarakat luas, demi masa depan kaum muda.”
“Adakah Gereja Katolik peduli dengan urusan ini? Saya sungguh tidak tahu. Saya faham, Gereja Katolik harus konsisten dengan teologi kehidupannya. Namun, pada hemat saya, Gereja Katolik juga perlu mengembangkan teologi yang menyelamatkan masa depan umat manusia itu sendiri.”
“Bagaimana caranya? Saya harus mohon maaf, saya tidak tahu jawabannya. Saya juga takut untuk masuk ke dalam urusan teologis, yang pada hemat saya bukan ranah (akademik) saya sebagai seorang awam katolik. Namun sebagai seorang yuris, paparan di atas itulah sikap saya tentang hukuman mati, khususnya bagi bandar narkotika.”
Kredit foto: Ilustrasi (Courtesy of Kalteng Pos)