Hidup dalam Dua Tradisi Berbeda

0
425 views
Ilustrasi: Cap Go Meh Festival in Singkawang, West Kalimantan, Indonesia, Friday 2 March 2018. (Mathias Hariyadi)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Rabu, 23 Maret 2022.

Tema: Penyempurnaan Hidup.

Bacaan.

  • Ul. 4: 1, 5-9.
  • Mt. 5: 17-19.

“WAH hebat. Keluarga besar ya? Mengagumkan sekali. Ini baru satu keluarga besar dari Papa ya?”

“Iya Romo. Dari keluarga Mama jauh. Mereka juga mengadakan sendiri.”

“Semua ini, 40-an orang dan Katolik semua?”

“Iya, Romo.”

“Apakah ada yang perkawinan beda agama atau Gereja?”

“Enggak ada. Sesuai dengan permintaan Papa. Walau almarhum Papa belum Katolik, tapi Papa menyarankan anak mantu Katolik.”

“Kalau Mama gimana?”

“Mama sih ikut Papa aja. Waktu dulu, kan perempuan itu harus ikut suami. Semua kata suami adalah perintah. Mama hanya sibuk di dapur, mengurus anak-anak.

Papa senang suasana itu. Almarhum Papa menikmati suasana dalam keluarga. Seolah-olah Papa itu raja. Tetapi Papa juga memberi kebebasan anak-anak untuk berbicara. Cara itu yang kami syukuri dari Papa, walau bukan Katolik.”

“Kenapa almarhum Papa punya pandangan seperti itu? Cenderung menganjurkan anak-anak menjadi Katolik?”

“Dulu Papa ingin, kalau mati, Papa minta didoakan. Juga kalau cengbeng. Di Katolik kan ada tradisi dan kebiasaan baik mendoakan jiwa para arwah. Almarhum Papa terkesan. Tidak fanatik. Boleh melanjutkan “tradisi baik”.

Almarhum Papa yakin akan selalu dikenang dalam perayaan ekaristi dengan intensi. Namanya disebut di dalam doa-doa.

Papa selalu bilang, “Jangan pernah melupakan leluhur. Papa ada berkat leluhur. Dan kalian juga ada untuk meneruskan martabat luhur para leluhur dan meneruskan yang baik.

Papa ini dari keluarga besar. Hidup tidak aneh-aneh atau tidak  mencemarkan diri dengan hal-hal yang dipandang tidak baik.”

“Betulkah Ma?” kataku ke mama.

“Betul, Romo. Setelah suami meninggal, barulah saya dibaptis. Saya selalu ingat semua kata-kata suami. Saya terus-menerus mengingatkan pada anak mantu dan cucu.

Kalau bukan karena usaha keras, kami tidak mungkin kami hidup tidak layak, Romo.

“Apakah papa termasuk pribadi yang totok?”

“Sangat Romo. Ia lebih mengutamakan keluarga. Kami diajari secara ketat bagaimana berbakti kepada orang tua; sembahyang dan menjaga nama baik leluhur.

“Bagaimana Papa melakukan itu semua, Ma?”

“Iya, almarhum suami dulu termasuk pengurus kepercayaan. Dituakan. Almarhum suami punya ingatan kuat. Tidak boleh dilewatkan perayaan-perayaan keagamaan dalam kepercayaan leluhur.

Saya sebagai isteri hanya mendukung dan ikuti semua perayaan-perayaan kepercayaannya. Kendati anak-anak Katolik, mereka selalu diajak.

Kami harus tahu juga doa-doa atau kegiatan-kegiatan kepercayaan papa. Jadi, anak-anak tahu bagaimana cara berdoa selain di Katolik.

Anak-anak selalu diantar Papanya ke gereja. Bahkan almarhum suami yang mengingatkan, memaksa dan menyadarkan.”

“Wah kok bisa begitu ya Ma?”

“Mungkin batin almarhum cocok dengan ajaran Katolik, Romo. Hanya Papa sebagai anak terbesar dan laki-laki dalam keluarganya harus memegang tradisi dan melanjutkan apa yang telah diterima oleh orangtuanya.”

“Pernah almarhum Papa melarang kalian ke gereja?” kataku ke salah satu puteranya.

“Tidak pernah Romo. Pernah suatu ketika ada bentrok waktu antara ke gereja dan kegiatan di kepercayaan papa. Kemauan Papa harus diikuti. Kami berbagi waktu. Sabtu-Minggu ikut Papa. Minggu sore baru ke gereja.”

“Ada nasihat almarhum Papa kah?”

“Papa pernah bilang, “Selama Papa hidup, kalian harus ikut menghormati kegiatan keagamaan papa. Nanti kalau papa sudah meninggal, kalian bebas. Tetapi kalian harus memberi perhatian, kalau mereka membutuhkan sesuatu. Itu saja Romo pesan Papa yang terakhir.”

“Terima kasih Romo mau datang dan Romo bersedia merayakan Ekaristi untuk mengenang lima tahun kepulangan Papa.”

“Saya kagum. Tersentuh pada kebeningan hati almarhum. Saya percaya, sikap terbuka dan berani belajar dari kebajikan dan kebaikan masa lalu, juga di kepercayaan yang lain berarti pula merintis jalan iman. Bagian perjalanan batin.”

Yesus berkata, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan Hukum Taurat atau Kitab Para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” ay 17

Tuhan sadarkan kami bahwa sejarah iman adalah rentetan tindak kebaikan dan keadilan. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here