[media-credit name=”Rico Jatmika Dharsono” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]HIDUP ini bagaikan jalan tol yang panjang. Selalu ada kendaraan yang berlari kencang mendahului laju kendaraan kita. Setiap kali ada mobil menyalip kendaraan kita, maka hati pun tertantang, mulai ikut-ikutan segera tancap gas untuk menyalip kembali. Setelah aksi uber-menguber, kita akhirnya berhasil menyalip kendaraan itu dan membiarkan dia melaju di belakang. Lantas kita bisa tersenyum puas karena te;ah berhasil menunjukkan diri sebagai leading driver. Namun, kepuasan ini hanyalah sesaat semata. Begitu kita menikmati laju kendaraan, tak disangka dari arah kanan –atau kadang malah dari kiri melalui bahu jalan—sudah ada orang lain lagi yang mampu menyalip laju mobil kita. Tak mau kalah gengsi, kita main tanpa gas lagi. Bejek abis pedal gas kita sampai mentok. Kita berhasil menyalip. Namun, dalam sekejap ada pengemudi lain yang juga berhasil menyalip kendaraan kita. Salip-menyalip tiada putus. Sekali waktu kita berada di posisi leading, namun itu hanya berlangsung sekejap saja. Tanpa henti Begitulah hidup kita ini. Kita senantiasa berjuang atau malah berambisi menjadi yang terbaik alias menempati posisi puncak dengan nomor 1 di punggung. Untuk bertengger di posisi atas, kita mengalahkan lawan: menyalip dia. Namun kemudian, muncul orang lain yang mampu menyalip kita. Kita kalahkan dia, tapi muncul lainnya…hingga muncul pesaing nomor 1, 4, 5, 6, … demikian seterusnya tanpa henti. Kita tak mungkin bertahan di posisi puncak selamanya. Kita bisa saja mengklaim diri pintar. Namun yang lebih pintar lagi. Kita bisa mengklaim diri berkecupan atau malah super kaya, namun ada orang lain lagi yang ternyata lebih berkelimpahan. Kita senang dipuja sana-sini karena dianggap hebat, ternyata di sana ada orang lain yang ternyata jauh lebih hebring daripada kita. Kalau kita menjalani hidup ini hanya berdasarkan ambisi untuk menjadi hebat, rasanya di sana selalu bermunculan “musuh’musuh” yang silih berganti selalu “menantang” kita. Akibatnya, hidup kita akan capek dan berlangsung dalam suasana ketegangan tiada putus. Lain halnya, kalau kita sekali waktu berhenti menyalip, kendurkan tancapan gas, mengemudikan mobil pelan, nah di situ kita akan menemukan sesuatu hal yang enak: ternyata mengemudi mobil secara konstan ini nikmat. Ada pengalaman “tidak biasa” terjadi dalam diri kita. Kita memutuskan berjalan pelan, ternyata masih ada juga para pengemudi lain yang berjalan lebih pelan lagi. Sepanjang jalan menyusuri jalan tol, ada saja kendaraan-kendaraan yang posisinya di muka kita, namun banyak juga yang berada di jajaran belakang. Kita tidak terlalu peduli, apakah berada di depan atau di belakang. Walaupun tidak bisa menjadi yang terdepan, ternyata kita pun juga tidak menjadi yang paling bontot. Selalu ada yang lebih datang kemudian dibanding laju hidup kita. Begitu juga dengan hidup kita ini. Manakala kita memutuskan rantai ambisi bersaing, maka semua lawan akan hilang dengan sendirinya. Yang terjadi, kita justru melihat dimana-mana malah ada kawan. Hidup kita bisa menjadi lebih santai dan bahagia. Jadi , apa esensi hidup kita ini? Selalu mencari lawan atau kawan? Rasanya tidak. Iman katolik selalu mengajarkan, hidup adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Kita hanya bisa menjalani anugerah ini dengan rasa syukur. Theopilus Joko Riyanto, dosen di Universitas Petra Surabaya.