MULAI Hari Minggu ke-11, 17 Juni kita sudah kembali ke Masa Biasa dalam tahun Liturgi. Kita kembali mengikuti Yesus dalam perjalananNya dan menemukan juga bahwa Ia sedang mengajak kita berjalan bersama Dia.
Kita diajak melihat hidup seperti ladang tempat benih ditanam. Benih itu akan tumbuh sendiri sampai akhirnya siap dipanen. Atau sebagai tanah tempat biji kecil ditanam dan akhirnya biji itu tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi burung-burung dan orang berteduh dibawahnya.
Hidup kita adalah tempat Allah menanam dan Allah yang membuat yang ditanamNya tumbuh dan berbuah, sampai panenan atau menjadi pelindung bagi yang lain. Hidup kita adalah tempat kebesaran, kemuliaan, kekuasaan Tuhan menjadi nyata.
Kesulitan kita menerima kebenaran ini adalah karena kita tidak merasa mengalami hal itu terjadi dalam hidup kita. Yang ada adalah kerja keras, kesusahan, kecewa, sedih, marah. Hal ini wajar karena yang tidak diceritakan dalam perumpamaan Yesus ialah kerja keras pemilik ladang untuk memelihara ladang agar benih itu tumbuh dan berbuah sampai panenan atau menjaga agar benih itu tumbuh dari pohon kecil sampai akhirnya kuat berdiri dan tumbuh besar sendiri.
Yang ditekankan Yesus adalah yang ditanam adalah benih; kecil, tak berarti, tidak kelihatan dan tidak menunjukkan sesuatu yang nampaknya nanti akan jadi hebat atau besar. Bagaimana seharusnya kita menanggapi pesan Yesus itu?
Apakah Anda sanggup?
Banyak orang cenderung berkata, ”Bukankah akan lebih berbahagia kalau kita sama sekali tak punya masalah?” Kalau demikian, Anda salah besar! Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada permasalahan. Namun, tahukah Anda bahwa di balik setiap masalah terkandung suatu peluang emas dan kesempatan yang besar untuk maju?
Ada kata-kata bijak dari Norman V Peale yang patut Anda renungkan. Dalam bukunya You Can If You Think You Can, ia mengatakan, ”Apabila Tuhan ingin menghadiahkan sesuatu yang berharga, bagaimanakah Tuhan memberikannya kepada Anda? Apakah Ia menyampaikan dalam bentuk suatu kiriman yang indah dalam nampan perak?
Tidak! Sebaliknya Tuhan membungkusnya dalam suatu masalah yang pelik, lalu melihat dari jauh apakah Anda sanggup membuka bungkusan yang ruwet itu, dan menemukan isinya yang sangat berharga, bagaikan sebutir mutiara yang mahal harganya yang tersembunyi dalam kulit kerang.”
Pernyataan ini bukan sekadar kata-kata indah untuk menghibur Anda yang sedang kalut menghadapi suatu masalah. Ini adalah perubahan paradigma dan cara berpikir. Keadaan apa pun yang kita hadapi sebenarnya bersifat netral. Kitalah yang memberikan label positif atau negatif terhadapnya. Seperti yang dikatakan filsuf Cina, I Ching, ”Peristiwanya sendiri tidak penting, tapi respons terhadap peristiwa itu adalah segala-galanya.”
Berikut ini contoh sederhana. Sebagai seorang fasilitator yang memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, saya pernah menghadapi penolakan dari klien semata-mata karena usia saya yang dianggap terlalu muda. Saya pernah menganggap ini masalah besar. Bagaimana tidak? Ini menyangkut kredibilitas saya. Saya kemudian memikirkannya berhari-hari.
Kepercayaan diri saya mulai terganggu. Lama-kelamaan saya sadar bahwa penolakan semacam ini adalah hal biasa. Justru ini adalah kesempatan untuk berkembang. Karena itu, saya segera menggali kebutuhan klien dan mencari pendekatan yang lebih dapat diterima. Saya terus meningkatkan kompetensi, sampai akhirnya saya dapat diterima oleh perusahaan tersebut. Kalau demikian, penolakan awal itu sama sekali bukan sebuah masalah, tapi sebuah peluang yang sangat berharga.
Pertumbuhan jiwa
Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh. Sayang, lebih banyak orang yang menganggap masalah sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mereka tak mampu melihat betapa mahalnya mutiara yang terkandung dalam setiap masalah. Ibarat mendaki gunung, ada orang yang bertipe Quitters/Penyerah.
Mereka mundur teratur dan menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung. Ada orang yang bertipe Campers/Si puas, yang mendaki sampai ketinggian tertentu kemudian mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang datar dan nyaman untuk berkemah. Mereka hanya mencapai sedikit kesuksesan tapi sudah merasa puas dengan hal itu.
Tipe ketiga adalah Climbers/Pemanjat yaitu orang yang seumur hidupnya melakukan pendakian, dan tak pernah membiarkan apapun menghalangi pendakiannya. Orang seperti ini senantiasa melihat hidup ini sebagai ujian dan tantangan.
Ia dapat mencapai puncak gunung karena memiliki mentalitas yang jauh lebih tinggi, mengalahkan tingginya gunung. Orang dengan tipe ini benar-benar meyakini apa yang pernah dikatakan Dag Hammarskjold, ”Jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena begitu ada di puncak, Anda akan melihat betapa rendahnya gunung itu.”
Semua masalah sebenarnya adalah rahmat terselubung bagi kita. Masalah-masalah itu ”berjasa” karena dapat membuat kita lebih baik, lebih arif, lebih bijaksana, dan lebih sabar. Anda baru dapat disebut manajer yang baik kalau Anda mampu memimpin seorang bawahan yang sulit, yang membuat para manajer lain angkat tangan.
Anda baru menjadi orang tua yang baik kalau Anda dapat menangani anak yang bermasalah, atau pun menantu yang keras kepala, yang melakukan sesuatu melebihi batas kesabaran Anda. Anda baru dapat disebut profesional kalau Anda mampu menangani pelanggan yang cerewet yang sering mengeluh dan banyak maunya.
Untuk mencapai kesuksesan, Anda perlu memiliki adversity quotient, yaitu kecerdasan dan daya tahan yang tinggi untuk menghadapi masalah. Kecerdasan tersebut dimulai dari mengubah pola pikir dan paradigma Anda sendiri. Mulailah melihat semua masalah yang Anda hadapi sebagai peluang, kesempatan, dan rahmat.
Anda akan merasa tertantang, namun tetap mampu menjalani hidup yang tenang dan damai. Berbahagialah jika Anda memiliki masalah. Itu artinya Anda sedang hidup dan berkembang. Justru bila Anda tak punya masalah sama sekali, saya sarankan Anda segera berdoa, ”Ya Tuhan. Apakah Kau tak percaya lagi padaku, sehingga Kau tak mempercayakan satu pun kesulitan hidup untuk saya atasi?” Dengan berdoa demikian Anda tak perlu khawatir. Tuhan amat mengetahui kemampuan kita masing-masing. Ia tak akan pernah memberikan suatu beban yang kita tak sanggup memikulnya.
Bukan soal sukses
Apakah kesimpulan dari renungan ini berarti kita harus jadi orang sukses dan hebat? Tentu tidak. Tidak semua orang jadi orang hebat dan punya peranan besar. Tapi semua orang layak dipercaya Tuhan untuk menumbuhkan dirinya berkembang menjadi seseorang yang layak dibanggakan Tuhan.
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit, Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang menghiasi tepi danau. Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air. Tidaklah semua menjadi kapten; tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu Jadilah saja dirimu…. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.
Tuhan membutuhkan kita menjadi tanah untuk menjadi ladang gandumNya atau menumbuhkan benih pohonNya. Tuhan sendiri yang akan membersihkan kita dari batu dan kerikil yang menghambat pertumbuhan dan Ia yang menjamin pertumbuhan gandum itu sampai pada panenan dan menjaga pohon itu sampai dapat menjadi tempat berteduh bagi yang lain.
Kita dipercaya Tuhan untuk menjadi tempat panenan disiapkan; pohon rindang ditumbuhkan. Jadi yang kita perlukan agar dapat mengalami dan mengamini pesan Yesus adalah keberanian untuk membiarkan diri ditumbuhkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Ini kabar baik bagi kita yang sedang berjuang dalam menjalani hidup ini. Amin.
K0 pertanyaan saya jawabannya gak muncul. . . .