TAHUN-tahun belakangan ini, makin banyak anak-anak sekolah memilih jalur pendidikan di luar sistem yang sekarang ini terjadi melalui lembaga sekolah, melainkan melalui jalur pendidikan di rumah sendiri. Nama kerennya adalah home schooling alias belajar di rumah atau di tempat lain.
Para murid yang mengikuti opsi home schooling dengan demikian tidak perlu mengikuti kurikulum reguler yang berlaku di sistem pendidikan sekolahan, melainkan menjalani ‘paket pembelajaran tertentu’ dengan bimbingan intensif mentor mereka di lembaga-lembaga home schooling ini.
Mengapa home schooling akhir-akhir ini menjadi fenomenal dan bahkan sudah menjadi semacam ‘kebutuhan’ yang tidak bisa tidak harus ada bagi uanak-anak berkebutuhan khusus? Menjawab pertanyaan krusial ini, Suhari Hari Utomo –pengajar lembaga home schooling Mitra Inigo di kawasan Serpong, Tangerang—mengatakan sebagai berikut.
Fenomena adanya home schooling itu terjadi, ketika murid di sekolah mengalami tekanan luar biasa sehingga –atas berbagai faktor penyebabnya—tidak lagi merasa hepi dan nyaman mengikuti ‘program’ pembelajaran yang berlaku di lembaga pendidikan sistem persekolahan. Di antaranya kewajiban guru untuk menyelesaikan seluruh paket ajaran sesuai target waktu dan muatan pembelajaran sebagaimana digariskan oleh lembaga pendidikan tanpa –misalnya—mempedulikan tingkat kemampuan masing-masing peserta didik.
“Istilahnya, kejar target begitulah. Padahal masing-masing murid itu punya kelebihan dan kekurangannya dan itu tak mungkin menjadi perhatian besar guru pengampu mata pelajaran,” terang Suhari, mantan frater Jesuit asal Paroki Ganjuran, DI Yogyakarta.
Suhari Hari Utomo sendiri punya dua anak dan sekarang keduanya sudah berstatus mahasiwa; satunya sudah rampung menempuh dua degree dan tinggal wisuda, lainnya masih di semester tujuh. “Kedua anak saya hasi produk program studi home-schooling,” terangnya dalam sebuah percakapan antar sahabat di Paguyuban Sesawi (Sesama Sahabat Warga Ignatian) di Parung Serab, Ciledug, Kota Tangerang, Minggu siang tanggal 11 Juni 2017.
Sesawi adalah forum paguyuban kekeluargaan antar para mantan frater dan pastor Jesuit se-Indonesia.
Kebutuhan keluarga sibuk
Pada bagian lain, Suhari Hari Utomo juga menjelaskan bahwa kebutuhan orang modern akan ‘bentuk’ pendidikan di luar sekolah ini mulai menjamur karena tingkat stres murid sekolah sekarang ini juga makin tinggi. Selain harus ‘kejar paket’ materi pembelajaran, para murid juga dihadapkan pada situasi-situasi lain yang mungkin membuat dia tidak merasa nyaman dan hepi di sekolah.
Taruhlah itu, kata mantan seorang editor buku ini, kondisi pertemanan sosial di sekolahan atau –lebih buruk lagi—tidak harmonisnya hubungan personal antara murid dengan pengampu pelajaran. Ia lalu memberi contoh tentang pengalaman anaknya sendiri ketika harus menghadapi paket ujian negara atas pelajaran olahraga.
“Anak saya biasa main organ atau piano, namun materi pengajarannya yang diuji adalah main seruling yang dia tidak kuasai. Nilai hasil ujian sudah bisa diduga tidak maksimal. Ini artinya sistem pendidikan formal melalui lembaga sekolah tidak mampu mengakomodasi kebutuhan riil masing-masing murid sesuai kapasitas dan kemampuan mereka,” terangnya.
Kasus lain menunjukkan, banyak murid mengalami ‘gagap’ ketika belajar di sekolah karena berbagai faktor yang antara lain tingkat stres yang bertubi-tubi dan terus-menerus. “Home schooling pada batas tertentu menjawab kebutuhan murid dan orangtua yang mengalami ‘kebuntuan’ tersebut,” jelas Suhari.
Pada kesempatan bincang-bincang santai ini, Lindy misalnya mengakui bahwa anak pertamanya yang kini sudah kuliah di Korea ini juga hasil ‘produk’ sistem pembelajaran home schooling.