Harian Kompas rada “nakal”. Edisi Minggu, 23 Juni 2024, memuat dua berita berjejer di halaman depan. Mungkin dimaksud menyindir keadaan yang sedang tidak baik-baik saja.
Artikel pertama berjudul “Turun, Jumlah Jemaah Meninggal Tahun Ini”. Isinya juga menyenggol putusan Presiden Tunisia, Kais Saied, yang mencopot Menteri Agama Ibrahim Chaibi, setelah 49 anggota Jemaah haji dari negara tersebut meninggal saat menunaikan ibadah haji.
Kais Saied menjatuhkan punishment kepada menterinya, karena dianggap bertanggung jawab atas “musibah” yang dialami jemaah-jemaah haji Tunisia.
Sementara artikel kedua berjudul “Soal Gangguan Pusat data, Kemenkoinfo Minta Maaf”, sekilas mengutip permintaan maaf atas “insiden” yang mendera bangsa Indonesia, karena Pusat Data Nasional tiba-tiba terkunci plus data pribadi, bisa jadi, musnah entah ke mana. Bahkan sampai hari ini, berselang tiga pekan sejak insiden itu berlangsung, keadaan masih tenang-tenang saja.
Lepas dari apa penyebabnya, siapa yang salah dan bagaimana sampai terjadi, single point accountability seharusnya bertanggungjawab dan mendapatkan “sesuatu” dengan proporsional.
Tiba-tiba saya ingat “Hukum Perilaku”. Secara eksplisit wanti-wanti apa yang bakal terjadi bila suatu perbuatan mendapat reaksi yang menyenangkan atau sebaliknya. “Perilaku yang mendapat ganjaran positif akan diulang, sedangkan yang mendapatkan ganjaran negatif akan dihentikan”.
Gaizka, gadis mungil berusia 5,5 tahun rajin membuat PR, karena tahu bila tugas usai dikerjakan, dia boleh main sepeda di taman depan rumah. Sementara, mainannya yang usai dipakai selalu ditata di tempatnya, karena bila berantakan dia tak diizinkan nonton film anak-anak di saluran YouTube.
Hukuman 2,5 tahun penjara plus denda 250 juta rupiah yang dijatuhkan pengadilan bagi seseorang yang dituduh korupsi 40 milyar rupiah, dianggap terlalu ringan oleh publik. Itu tak membuat para (calon) koruptor jera.
Banyak ahli Psikologi yang mengemukakan teori senada dengan versinya masing-masing. Salah satu diantaranya adalah Burrhus Frederic Skinner (1904–1980).
“Skinner believed that the best way to understand behavior is to look at the causes of an action and its consequences. He called this approach operant conditioning.” (https://www.simplypsychology.org/operant-conditioning.html)
Orang tiba-tiba mau tertib antri, tidak menyampah dan menyeberang di zebra cross, sesaat setelah mendarat di Bandara Changi, Singapore. Denda dengan nominal yang menguras dompet, akan menimpanya bila melanggarnya.
Terbang hanya dua jam dari Bandara Soeta, perilaku disiplin dan taat aturan mendadak muncul lantaran khawatir dibayangi punishment yang membuat kepala pusing.
Semua itu karena sistem yang tegak (system in place) di suatu masyarakat membentuk kebiasaan atau budaya sesuai dengan spiritnya.
“System creates culture”
Meski sudah berusia lebih dari 70 tahun, dan banyak mendapat kritik dari behaviorists, “Hukum Skinner” masih banyak dirujuk para praktisi dan teoritisi Ilmu Perilaku. Skinner bahkan menguatkan teorinya dengan menggunakan percobaan tikus dan burung dara.
Semuanya mengerucut pada adagium bahwa “pelajaran” yang dialami oleh makhluk hidup berulang kali membuat perilakunya terbentuk sesuai dengan pengalaman (baik atau buruk) yang didapatnya.
Penumpang MRT terlihat antri dengan rapi, (terpaksa) on time dan menjaga kebersihan lingkungan, karena sistem tegak di sana dan dikukuhkan dengan kokoh, sementara fenomena serupa tak terlihat di terminal bis antarkota, karena orang dibiarkan sembarangan dan sembrono.
Tak heran kalau guru memberi nilai bagus kepada murid pintar dan angka merah bagi yang malas belajar, karena konsekuensi yang diperoleh dari suatu tindakan (sangat) mempengaruhi tindakan apa yang akan dilakukannya kemudian.
“Behavior is a function of its consequences.” Grace Thompson (1872-1959), penulis terkemuka di Amerika.
@pmsusbandono
11 Juli 2024
Baca juga: Syaiful bikin rumah baru