TIBA-tiba saja kata atau istilah ‘suspensi’ kini lagi naik daun.
Istilah ini mengacu pada terminologi dalam Hukum Gereja melalui Kitab Hukum Kanonika (KHK) tentang bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada seorang imam (pastor) karena pertimbangan-pertimbangan tertentu menyangkut derajad kesalahan atau pelanggaran yang berakibat hak-hak imamat sang pastor ditangguhkan, digantung, atau dicabut.
Apakah untuk selamanya atau berlaku temporer sesuai kebutuhan? Ini yang penting. Menurut pemahaman yang kami miliki, suspensi tidak berlaku mutlak selamanya. Melainkan, hukuman suspensi akan dicabut seiring dengan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada pastor yang dikenai hukuman suspensi tersebut.
Baca juga: Breaking News: Mgr. Ignatius Suharyo Jatuhkan Hukuman Suspensi pada Pastor KAJ
Singkat kata, suspensi tidak harus berakhir dengan ‘pemecatan’ pastor dari statusnya sebagai imam dan pejabat Gereja.
Menjawab Sesawi.Net, Romo Yohanes Suratman Pr, pakar Hukum Gereja dari Keuskupan Purwokerto yang kini menjadi Pastor Kepala Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) di Tegal, Jawa Tengah, memberi keterangan singkat sebagai berikut:
- Hukuman suspensi dijatuhkan oleh kuasa pimpinan gerejani (Keuskupan) melalui kuasa Uskup, penjabat Uskup atau Administrator Apostolik kepada imam yang dinyatakan telah melakukan pelanggaran-pelanggaran berat.
- Pelanggaran-pelanggaran berat ini bisa saja menyentuh pada aspek kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan apabila subjek terhukum suspensi itu seorang imam/pastor anggota Ordo atau Tarekat Religius.
- Hal sama juga terjadi pada target penerima hukuman suspensi seorang pastor (imam) diosesan/praja yang dinilai tidak hidup sederhana, melanggar komitmen hidup selibat, dan tidak patuh atau taat kepada pimpinan Gereja dalam ini Uskup sebagai pemegang tunggal kuasa mengajar, kuasa pelayanan pastoral sakramental, dan kuasa kepemimpinan umat. Fungsi imamat setiap pastor itu terikat erat pada tahbisan imamat Uskup. Maka dimana sang pastor itu ditugaskan untuk berkarya — apakah itu di paroki atau pun karya-karya kategorial non parokial– maka dia wajib secara spiritual, moral, dan hukum taat dan patuh kepada pimpinan Gereja Lokal yakni Uskup.
- Dengan dijatuhkannya hukuman suspensi, maka dengan sendirinya fungsi imamat seorang pastor (imam) yang menjadi subjek penerima sanksi tersebut akan menjadi tidak efektif atau berdaya guna karena telah ‘dicabut’. Singkat kata, fungsi imamatnya ‘hilang’ dan tidak berdaya guna lagi.
Berlaku temporer
Menurut pakar Hukum Gereja Romo Yohanes Suratman dari Keuskupan Purwokerto ini,
- Hukuman suspensi tidak berlaku mutlak tetap selamanya, melainkan berlaku secara temporer sejauhmana mampu ‘menyembuhkan’ dan mentobatkan perilaku atau hidup imamat yang tidak tertib dari pastor penerima sanksi hukuman suspensi tersebut.
- Dengan demikian, fungsi suspensi tidak hanya menjadi sebuah hukuman tapi juga menyertakan unsur pembinaan agar imam yang bersangkutan bisa hidup menjadi lebih bermartabat lagi sebagai imam dan pejabat Gereja.
Seperti jamu herbal yang pahit atau obat kapsul yang juga pahit di lidah, namun mbakyu bakul jamu tetap saja laris dagangannya karena pembeli tahu bahwa jamu herbal pahit itu menyembuhkan atau membuat daya tahan tubuh kian prima. Juga dokter suka memberi obat kapsul pahit kepada pasiennya, karena tahu obat itu pahit namun menyembuhkan.
“Jadi, kalau hukuman atau sanksi berupa suspensi itu akhirnya menyembuhkan dan membawa sang pastor kepada kehidupan imamatnya yang membaik lagi, tentu saja hukuman suspensi kemudian dicabut lagi, ” tutur Romo Yohanes Suratman Pr yang mendapatkan gelar master-nya di bidang Hukum Gereja di Roma.
Sudah sering terjadi
Menurut catatan Sesawi.Net, kisah sebuah keuskupan di Indonesia pernah menjatuhkan hukuman suspensi kepada imamnya bukan hanya kali ini saja terjadi.
Beberapa tahun silam, seorang imam juga dikenai hukuman suspensi karena masalah ketaatan.
Intinya, sang pastor ini terlalu aktif, vokal, dan cenderung nggugu karepe dhewe (mau-maunya sendiri) sehingga susah diatur, diingatkan, dan kemudian juga sering melalaikan kewajibannya sebagai seorang pemangku reksa pastoral rohani. Sang pastor ini lebih mengesankan diri sebagai seorang aktivis sosial daripada seorang imam dengan fokus pelayanan pastoral kerohanian.
Sang pastor tersebut kini baik-baik saja, meskipun selama beberapa tahun lamanya tidak muncul ke publik dan juga tidak memimpin perayaan ekaristi di ruang publik sebagaimana layaknya para pastor paroki atau pelayanan kategorial lainya.
Sekarang ini, ia tetaplah seorang pastor yang baik. Tetap setia merayakan ekaristi individual di kapel sebuah rumah Jesuit. Sudah beberapa tahun lamanya pula, sang pastor ini telah kembali goes public melakukan pelayanan reksa pastoral sebagaimana kebanyakan pastor-pastor paroki lainnya.
Di beberapa tarekat religius pun ada beberapa pastor yang nyaris tidak pernah memimpin perayaan ekaristi secara publik di hadapan khalayak ramai. Kami tidak tahu apakah pastor ini terkena suspensi terbatas atau apa.
Yang pasti, marilah kita semua mendoakan para pastor yang tetap berjuang melakoni hidup imamatnya dengan setia meski banyak godaan dan tantangan. Kita juga tetap perlu mendoakan para pastor yang kini tengah galau hidup imamatnya karena satu lain hal sehingga laku hidupnya menjadi tidak lurus, tidak tertib. Kita berdoa juga untuk mereka yang tengah menata kembali hidup batinnya, semangat imamatnya di hari-hari penuh sepi karena tengah menjalani proses pembinaan lanjut agar kembali merekuh tugas dan fungsi imamatnya kembali secara sehat dan normative.
Kita semua manusia lemah berdosa.
Semoga rahmat Tuhan menyelesaikan dan menyempurnakan semuanya ini pada akhirnya.
Gratia Dei suppleat.
Smg suspensi ini bisa memberi pelajaran bagi pastor yang lain untuk lebih setia dengan janji imamatnya.