Puncta 28.07.23
Jum’at Biasa XVI
Matius 13: 18-23
DALAM kunjungan ke Stasi Kebuai, saya selalu singgah di rumah Pak Anang di Pangkalan Suka. Saya disuguhi pisang goreng dan kopi panas.
“Enak sekali pisang nipah ini, dari kebun sendirikah?” tanya saya.
“Tidak Pastor, ibu beli pisang nipah ini dari warung orang Jawa. Saya sudah mencoba berkali-kali menanam pisang nipah (kepok) di kebun, tetapi selalu gagal. Entah kenapa saya kurang tahu. Mungkin tanahnya tidak cocok untuk pisang nipah,” Pak Anang memberi penjelasan.
Biasanya jenis pisang itu mudah ditanam di mana saja. Pisang nipah akan tumbuh subur di tanah yang gembur dan banyak humus. Sebaliknya dia tidak mau hidup di tanah berkapur atau tanah berat.
Pisang nipah juga butuh tanah dengan resapan yang tinggi karena dia tidak mau hidup di tanah yang mengandung garam. Tidak boleh ada banyak genangan, karena akan merusak dan mengganggu pertumbuhan batang pisang.
”Kalau kita makan pisang goreng seperti ini pasti bukan hasil kebun sendiri, tapi ibu membeli di warung orang Jawa. Kalau hasil kebun sendiri ya ubi ini,” jelas Pak Anang.
Yesus menjelaskan tentang benih yang ditabur orang. Kondisi tanah di mana benih itu ditabur akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya.
Benih yang ditabur di pinggir jalan akan dimakan burung. Iman yang sudah ditanam dirampas si jahat. Benih yang jatuh di bebatuan bisa tumbuh tetapi hanya sebentar. Sesudah itu layu.
Seperti iman yang tumbuh di tanah gersang bebatuan, karena ada kesulitan dan hambatan kemudian mati. Benih yang dihimpit semak berduri juga demikian. Tipu daya kekayaan, kenikmatan, kesenangan menghimpitnya sehingga iman tidak berbuah.
Iman itu seperti benih. Jika ia jatuh di tanah yang baik, ia akan menghasilkan buah berlimpah. Orang itu mendengarkan sabda dan melaksanakannya.
Apakah kita memelihara benih iman yang ditanam Tuhan dalam diri kita? Atau tanah macam apakah kita ini? Hambatan-hambatan apa dalam diri kita yang membuat benih itu tidak bisa bertumbuh?
Kemalasan, kesibukan, tidak bisa ngatur waktu, tugas-tugas yang numpuk, mengurus anak-anak, sibuk dengan hobby pribadi.
Tuhan menghendaki agar kita menghasilkan buah. Hilangkan hambatan yang mengganggu tumbuhnya benih dalam diri kita. Niscaya hidup kita akan menjadi berkat bagi banyak orang.
Tanah subur disebut humus. Tanah yang subur memungkinkan banyak tanaman bisa tumbuh dan menghasilkan buah.
Marilah kita menjadi humus, tanah yang subur agar mampu menyuburkan kehidupan bersama. Dengan demikian akan menghasilkan buah-buah kebaikan.
Jalan-jalan di pinggir sawah pakai topi,
Mampir warung sate sambil minum kopi.
Hati yang subur penuh kerendahan hati,
Panjang umur banyak teman yang baik hati.
Cawas, mari menjadi humus.