“Aku ada sebagaimana aku ada saat ini adalah karena kasih-Nya. Aku yang ada di dalam balutan tubuh ini adalah aku yang percaya dan beriman kepada iman seorang Anak Manusia.“
Bagaimana aku mampu mengerti seorang bayi yang lahir ke dunia itu datang membawa damai? Apalagi kelahiran-Nya hampir membuat calon ibunya malu, karena malah baru saja bertunangan dengan calon ayahnya yang ternyata hanyalah seorang tukang kayu?
Bagaimana aku mampu mengerti seorang Anak Manusia yang tidak berdosa itu mampu menyelamatkan manusia di seluruh bumi?
Dengan kematian-Nya yang nasib hidupnya telah diperlakukan sama dengan seorang penjahat ulung; dengan tergantung di atas kayu salib di Bukit Tengkorak?
Membaca kisah perjalanan seorang Anak Manusia di muka bumi ini membuatku terheran-heran.
- Mengapa dunia sampai sedemikian membenci-Nya?
- Mengapa para pemimpin dunia politikus sangat tidak senang terhadap seorang Anak Manusia yang di saat usia-Nya masih sangat remaja (12) sudah mampu berargumentasi dengan para politikus dan para ahli agama saat itu?
Sangat merindukan-Nya
Suatu hari, aku begitu rindu pada Anak Manusia itu yang menjadi sangat terkenal d iseluruh dunia. Kerinduanku itu begitu dalam sehingga aku mengalami trance.
Merasa ngawang saat masih berada di dalam bus kota No. 25 jurusan Don Mills–Pape Station, Ontario, Canada.
Telingaku tiba-tiba terasa budheg atau pekak. Padahal, hari itu cuaca sangat terik, hawa terasa panas, dan awan terlihat sangat terang-benderang.
Yang kurasakan saat itu, suasana perjalanan di dalam bus itu tiba–tiba menjadi hening. Para penumpang terkesan seperti hanya bisa diam seperti robot; mereka hanya asyik menyaksikan ke satu arah pandangan. Ke arah jendela bus di depannya.
Aku duduk di tempat jok bagian belakang yang posisinya memang agak lebih tinggi dari jok-jok penumpang lainnya yang ada di depanku. Yang kulihat, tak ada satu pun dari sekian penumpang bus itu “menghadiahi” aku dengan senyum.
Semuanya pasang ekspresi wajah “dingin”. Kaku dan juga bersikap tak acuh.
Meski hanya sebentar saja
Pemandangan sosial yang acuh tak acuh ini berlangsung sangat sebentar saja. Terjadi hanya selama kurang lebih 20 detik. Namun, bagiku itu terasa sangat lama.
Lalu dari lubuk hatiku terdalam mulai muncul pertanyaan. Seperti itukah manusia modern saat ini?
Berperilaku sangat dingin, cuek, pasang wajah kaku, dan juga sangat individualistik. Tiba-tiba saja suara hatiku ingin bicara. Mari kita doakan saja para penumpang bus ini.
Sejenak kemudian, bus kota No. 25 ini berhenti di halte di mana aku harus turun berhenti di halte stop. Pemberhentian ini langsung menyadarkan aku.
Di era baru ini – era pasca pandemi- relah membuatku semakin mau lebih percaya lagi pada Anak Manusia itu.
Biarkan Dia meraja
Dunia seperti berputar pada porosnya. Tapi kali ini, dengan lebih slow motion. Ini jelas juga bukan karena lututku yang sakit sehingga memang telah memaksaku harus rela berjalan sangat pelan.
Tetapi Tuhan telah izinkan terjadinya pandemi Covid-19 berikut dengan semua konco-nya terjadi di dunia. Dengan dampaknya, sehingga bagi “pengikut” atau ke-12 murid-Nya itu kini telah menjadi berlipat ganda banyaknya di dunia yang umurnya semakin menua ini.
Jangan takut dengan Covid-19 atau vaksinnya, karena hidup dan matinya manusia tetap ada di tangan Tuhan.
Jadi, ya mesti tunggu apalagi?
Libatkan dan undanglah Si Anak Manusia itu “meraja” di dalam kehidupanmu. Sehingga Anak Manusia dapat berkarya dan menjadikan semua orang jadi “percaya”.
Banyak mukjizat telah terjadi di dalam hidupku. Terutama setelah aku dengan sangat sengaja telah melibatkan Anak Manusia itu masuk dan “meraja” di dalam hidupku.
Berubah banyak
Ada banyak perubahan telah terjadi di dalam diriku di era baru ini.
Aku merasa bahwa aku tidak ingin lagi terlalu “terikat” pada dunia. Kekesalan yang dalam terhadap almarhum ibuku -meninggal 23 Februari 2022 lalu- kini sudah hilang. Telah diganti dengan kasih-Nya yang sifatnya agape.
Aku merasa cukup “puas” dengan apa yang ada padaku seperti aku saat ini. Itu karena Anak Manusia yang kukenal itu telah mengubah alam pikirku.
Juga menjamah hatiku sehingga kemudian aku dimampukan melepas semangat pengampunan terhadap almarhum ibuku.
Melihat matahari yang tetap bersinar di sepanjang zaman, maka begitu pula keberadaanku di dunia ini juga dipanggil untuk “bersinar”. Suaraku ada dan aku bisa menyanyi.
Setiap pagi, aku katakan kepada diriku sendiri bahwa diriku harus maju dan maju untuk berkembang.
Aku cantik, dapat terbang di atas “keangkuhan hidup”. Layaknya seperti burung elang.
- Seperti angin yang berhembus kencang sehingga mampu mendorong kereta mainan.
- Seperti tali yang diikat dan siap untuk ditarik.
- Seperti deretan anak-anak tangga yang dibuat siap untuk dinaiki.
- Seperti kehadiran seorang murid untuk belajar.
Menjadi diri sendiri
Aku ada; bukan untuk menjadi seperti-Mu. Dan begitu pula Kamu ada; bukan untuk menjadi sepertiku.
Kadang-kadang kita memang tidak sejalan. Dan kadang-kadang juga sering tidak sependapat.
Namu pada akhirnya, yang pasti kita ada di sini untuk hidup dalam damai. Penuh cinta dan bukan karena rasa takut.