Pengantar Redaksi:
Problem teknis yang terjadi selama beberapa hari terakhir ini membuat artikel berita ini hilang dari peredaran. Dengan ini, kami rilis kembali.
———————-
RETRET sebagai kosa kata katolik pada umumnya dimengerti sebagai kegiatan menarik diri dari kegiatan sehari-hari guna menimbang-nimbang perjalanan hidup, melakukan refleksi, dan akhirnya merumuskan niat-niat pribadi untuk babak perjalanan hidup berikutnya. Menjalani proses panjang seleksi menjadi anggota KPK, demikian isi pengalaman Surya Tjandra Ph.D, sungguh ibarat menjalani hari-hari retret.
Yang hendak disampaikan Surya Tjandra itu sebenarnya satu hal penting, yakni bahwa proses panjang seleksi menjadi anggota KPK itu pada akhirnya berakhir dengan proses politik daripada proses seleksi yang mengandalkan kualitas, kompetensi, dan komitmen. Awalnya, kata dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya di Jakarta ini, semua tahapan proses di awal itu mengikuti norma umum yang berlaku: menjunjung tinggi asas profesionalitas, komitmen kuat untuk mengganyang korupsi, dan integritas pribadi.
Proses politik
Semua tahapan awal telah berhasil dia lakukan dengan baik dan bahkan mendapat nilai bagus. Namun, begitu memasuki ranah politik di DPR dan di partai-partai politik, maka yang kemudian berlaku adalah proses politik.
Maka, di situlah lalu terjadi lobbying, negosiasi, dan segala macam hal yang kadang di luar nalar seorang yang berkecimpung di dunia akademik. “Namun, saya sungguh menikmati semua proses itu ibarat sebuah retret kehidupan,” kata Surya Tjandra di acara diskusi bersama Kelompok Profesional dan Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (PUKAT KAJ) di sebuah akhir pekan di Jakarta, 2 September 2016 lalu.
Bahkan sebelum memasuki proses politik di DPR itu pun, kata Surya Tjandra, ia malah sudah dibisiki oleh seorang politisi bahwa dirinya pasti tidak akan mampu lolos seleksi. Secara humor, Surya pun lalu menyebut tiga ‘dosa asal’ yang bisa jadi telah ikut membuatnya gagal menjadi anggota KPK, sekalipun bahkan belum memasuki proses politik tersebut. “Kalau berhasil masuk jadi anggota KPK, maka barangkali saya akan menjadi orang keturunan Tionghoa pertama, penyandang disabilitas pertama, dan juga katolik,” katanya berseloroh.
“Maka, lengkap sudah ‘dosa’ saya,” kata alumnus Fakultas Hukum UI yang segera disambut derai tawa oleh para anggota PUKAT KAJ yang menghadiri forum pertemuan Jumat Pertama ini.
Seakan-akan menjadi orang penting
Dalam proses politik melalui lobbying dengan partai-partai politik itulah, sesuai pengalaman Surya Tjandra, dia mengalami betapa lihainya para politisi itu bermain cantik untuk mendesain situasi sedemikian rupa sehingga seakan-akan setiap calon anggota KPK bisa merasa dirinya sebagai ‘orang paling penting’ di negeri ini.
Bukan tekanan politik yang membuat Surya Tjandra lantas merasa neg, melainkan justru rayuan dan godaan untuk menjadi ‘selebriti’ itu. Entah bagaimana bisa diterangkan, kata dia, sepanjang proses politik melalui lobbying di partai-partai politik itulah masing-masing calon anggota KPK bisa membaui aroma sebuah amosfir politik bahwa seakan-akan setiap orang bisa merasakan dirinya sebagai ‘orang penting’ di situ.
Surya tak menampik fakta bahwa dengan menjadi anggota KPK, nama orang bisa langsung tenar dan menjadi ‘selebriti’ politik. Tapi justru itulah yang harus dihindari yakni kecenderungan orang memakai posisi politiknya untuk mendongkrak pamornya sebagai ‘orang penting’ di negeri ini. “Untunglah, sekarang sudah mulai diatur bahwa Ketua KPK jangan lagi banyak omong atau memberikan pernyataan kepada media,” ungkap Surya.
Berprestasi kalau bisa mencegah korupsi
Menurut Surya Tjandra, KPK baru boleh dibilang berprestasi dan itu jelas sangat membanggakan, kalau KPK telah mampu dan berhasil mencegah tangkal praktik-praktik korupsi; bukan sebaliknya yakni baru menelisik kasus-kasus korupsi yang sudah terjadi. Karenanya, kata dia, dulu ia sangat berminat ingin bisa menjadi anggota KPK, karena ingin berkontribusi memperbaiki manajemen internal di lembaga non pemerintah anti rasuah ini.
Sayang, ambisi Surya Tjandra itu akhirnya gagal di tengah jalan, ketika di proses politik itulah nilai yang dia dapatkan dari Senayan berupa angka nol besar alias tidak mendapatkan dukungan politik sama sekali di Panitia Seleksi Komisi III DPR RI.
Memeluk politik
Lantas, sudah patang arangkah Surya Tjandra untuk sekali waktu bisa berkontribusi lagi di ranah publik?
Tidak juga. Sekali waktu, ia akan mendaftarkan diri kembali dan siapa tahu karena perjalanan waktu seleksi melalui proses politikitu berhasil dia lalui dengan ‘selamat’.
Mengapa demikian? Itu karena salah seorang politisi di Senayan pernah membisiki dia tidak akan lolos di proses politik karena umurnya masih dianggap ‘bau kencur’.
Kalau pun keinginannya untuk berkontribusi mencegah tangkal korupsi melalui KPK itu lagi-lagi mental alias gagal di tengah jalan, maka salah satu cara yang ingin dia tempuh guna berkontribusi bagi bangsa dan negara ini adalah menjadi seorang politisi. Justru karena belajar dari pengalaman mengikuti proses politik itulah, Surya mengaku ingin terjun ke dunia politik praktis untuk bisa berkontribusi melalukan perubahan-perubahan.
Mahar menjadi kendalanya untuk mewujudkan ambisi kedua pasca gagalnya masuk menjadi anggota KPK ini.
Meski politik itu ‘kotor’ karena penuh liku-liku lobbying, Surya Tjandra mengaku berminat terjun ke kolam kotor ini. “Apa pun yang terjadi di kancah politik praktis itu, tapi politik ya harus kita ‘peluk’,” tandas mantan aktivis perburuan yang mendapat gelar doktoral di bidang hokum perburuhan di Leiden, Negeri Belanda ini.