SEORANG ibu dengan puterinya, Sarah, duduk di sebuah bangku panjang di sebuah taman. Mereka berkulit putih.
Di bangku sebelah, duduk ibu yang lain, juga bersama puterinya, yang sedang bermain “lumpur putih”. Mereka berkulit hitam.
Sarah memandang ke arah bangku sebelah, dan tiba-tiba bertanya kepada ibunya:
“Mom, why are they black?”.
Sang ibu terperanjat. Pertanyaan yang “tidak sopan”.
“Tetangga” melongok ke arah mereka. Wajah-wajah kecewa dan penuh tanda tanya.
Sang ibu putih belum juga menjawab. Sarah mempertegas sekali lagi.
“Ibu, mengapa mereka hitam?”.
“Ketidaksopanan” terjadi kembali. Wajah-wajah kecewa tambah menggumpal.
Ibu Sarah segera menguasai keadaan. Jawaban brilian keluar dari bibirnya
“Ya, mereka hitam, tapi cantik bukan?”.
Pada awalnya, Tuhan mencipta manusia berkulit hitam dengan hati yang cantik. Tuhan sangat mencintai mereka.
Suatu saat, Tuhan melintas di sebuah taman. Dilihatnya seorang anak perempuan yang sedang bermain. Tangannya yang mungil penuh dengan lumpur putih. Puteri hitam sedang membuat boneka berwarna putih untuk teman bermainnya.
Terkesanlah Dia.
DiputuskanNya untuk mencipta manusia berkulit putih, agar puteri hitam mempunyai teman bermain.
Ibu putih menutup ceritanya dengan sebuah kalimat yang sangat menyentuh.
“Inside we all are black. We all are same”.
Kedua puteri cantik, hitam dan putih, bergandengan tangan menuju lapangan hijau yang lebih luas.
Penonton tahu itu kisah fiktif, lakon carangan (bukan sebenarnya). Tapi, sebagai alat pendidikan dan kemanusiaan, jawaban itu luarbiasa. Cerita happy ending.
Video pendek gubahan Stan Sieradzki berdurasi 3:28 menit itu dibuat pada tahun 2017. Sebagai alat pendidikan untuk kampanye anti-rasisme, anti-diskriminasi. Sungguh mulia.
Kemudian, ada pertanyaan yang menggelitik.
“Apakah perasaan rasis sudah ada sejak manusia lahir?”.
Apakah bayi sudah membawa sikap diskriminatif? Apakah gen atau DNA rasis melekat sejak seseorang dilahirkan?.
‘“Is racism − in the sense of discrimination against “the other” − innate in us?”. (Gil Diesendruck, Bar-Ilan University, Psychology Department).
Membedakan “saya” versus “dia” atau “kami” bukan “mereka” melekat sejak manusia lahir. Ia merupakan self-defense mechanism, alamiah, menyertai hidup manusia. Mekanisme itu diciptakan dan (mula-mula) bermanfaat.
Namun, naluri bisa berkembang liar dan berubah negatif dan kontra-produktif “didukung” dan “diperparah” oleh lingkungan sekitar. Masyarakat bisa “memeliharanya menjadi alat yang berguna” atau “menjerumuskannya menjadi senjata yang membunuh kemanusiaan kita”.
Contoh lain.
Derek Chauvin, tersangka pelaku pembunuhan George Floyd di kota Minneapolis, hingga membuat Amerika Serikat luluh-lantak, “dituduh” lahir dan besar sebagai seorang rasis. Mungkin tak persis seperti itu.
Tuduhan bahwa Derek benar-benar seorang rasis, terbantahkan. Isteri Derek seorang mantan ratu kecantikan dari Laos. Namanya Kellie May, berkulit sawo matang. Kellie ber-“kulit berwarna”, meski “bukan hitam”.
Derek tak bisa disebut sepenuhnya rasis. Intervensi psikologis dalam jiwanya, yang berlangsung sepanjang hidupnya, di Amerika, telah mencetak kepribadiannya menjadi dual personality. Memadu kasih dengan Kellie, berlaku kejam terhadap Goerge.
Proses pembentukan karakter dan kepribadian Derek rumit dan taut-menaut karena berada dalam masyarakat yang serba multi; etnis, ras, bangsa dan agama.
Rasisme muncul di negara maju sampai miskin, di masyarakat kulit berwarna putih, hitam, sawo matang, merah, atau kuning.
Tak hanya itu. Rasis “berteman” dengan diskriminasi dalam segala bentuk dan beraneka ragam. Agama, tingkat sosial, suku, jender, pekerjaan, atau posisi di tempat kerja.
Orang yang menjadi korban diskriminatif di suatu aspek, mungkin, menjadi pelaku di aspek yang lain. Begitu seterusnya, berbelit, rumit dan kompleks, seperti “dadung kepluntir”.
Ironisnya, itu bisa terjadi di mana saja. Di pusat-pusat tempat yang kemanusiaan seharusnya dimuliakan. Tempat ibadah, rumah sakit, kantor pemerintahan atau tempat kerja. Kadang sporadis, tak jarang masif.
Praktik diskriminatif melawan hakekat kemanusiaan yang paling hakiki, yaitu meniscayakan bahwa manusia diciptakan setara.
Rasisme pada khususnya dan diskriminatif pada umumnya, semakin mengerikan. Dunia semakin hiruk-pikuk dengan perbedaan. Menjadi kewajiban setiap insan, warga dunia, untuk terus berjuang menghapuskannya, dengan cara-cara non violence.
Kalau berdiam diri, suatu saat pedang tajam itu akan berbalik menghujam kita. Hidup manusia berakhir, saat kita bergeming ketika nilai-nilai kemanusiaan terancam.
“Our lives begin to end the day we become silent about things that matter to humanity.” (Anonim)
@pmsusbandono
8 Juni 2020