Ibu Rebut Anak Kandungnya dari Keluarga Pengadopsi

0
278 views
Ilustrasi: Ibu dan anaknya. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Rabu, 30 Maret 2022.

Tema: Ikatan Batin.

Bacaan.

  • Yes. 49: 8-15.
  • Yoh. 5: 17-30.

ROMO saya lagi pusing. Saya tidak bisa lagi berkata-kata harus bagaimana,” kata seorang suami.

“Ada masalah apa Pak?”

“Isteri saya itu loh, Romo.”

“Kenapa?”

“Akhir-akhir ini, kami bertengkar dan kadang tidak bisa dikendalikan. Ia mau mengingkari perjanjian yang telah dibuat. Ia tidak mau mengerti dan tidak mau peduli tentang risiko yang akan dihadapi.

Saya sudah bilang kepada dia, ‘apakah engkau ingin merusak masa depan kita? Bahkan orang-orang yang selama ini mencintai keluarga kita? Apakah kita ingin menelan ludah sendiri?

Kalau engkau tidak mau mengurung niatmu, apakah engkau tidak malu dengan dirimu sendiri? Apakah dengan cara itu engkau lebih bahagia? Bisa jadi orang-orang yang selama ini sangat dekat dan akrab dengan kita, hancur.’

“Masalahnya apa?”

“Bukan masalah pribadi Romo. Kalau hubungan saya dengan isteri baik. Tidak ada masalah apa pun. Tetapi masalah ini terkait perjanjian masa lalu.

Begini Romo, tapi mohon Romo merahasiakan ya. Kalau bocor, hanya akan merusak keakraban di antara keluarga kami.

Isteri mempunyai dua kakak. Isteri anak yang terakhir. Kami mempunyai tiga anak.

Kakak yang pertama hanya punya satu anak; yang nomor dua tidak punya.

Mertua saya pernah meminta supaya salah satu dari anak kami diadopsi ke kakak ipar. Kami setuju Romo, dengan catatan kalau lahir lagi. Sementara ketiga anak kami laki-laki semua.

Jadi, kami sekeluarga besar terutama dengan mertua sudah berjanji. Dengan senang dan ikhlas merelakan karena diasuh kakak sendiri. Tidak jauh dan bukan dengan orang lain.

Sementara mertua memberi banyak warisan kepada anak-anaknya. Dalam hal ini, kami tidak khawatir. Isteri saya sangat akrab dengan kakak-kakaknya. Saya kagum dalam hal ini.

Tibalah saat isteri saya melahirkan. Lahirlah anak perempuan kami Romo. Tapi karena sudah ada perjanjian begitu lahir, langsung dibawa kakaknya.

Awalnya kami rela karena kami dapat melihat setiap saat. Dan kami tidak akan menuntut dan tidak akan membocorkan.

Untung pada saat itu anak-anak yang lain masih kecil. Tidak mengerti apa-apa.

Semua berjalan lancar dan tidak terjadi apa-apa. Hubungan kami sebagai keluarga besar tetap akrab, dekat dan hangat. Tidak terjadi apa-apa. Fine-fine aja.

Setelah anak itu selesai kelas 9, mulailah ibunya sering sedih, melamun, dan menangis.

Sering ke rumah kakaknya dan kebetulan satu kota untuk berkunjung. Saya tahu pasti ia ingin dekat dengan puterinya.

Sementara kakaknya tidak keberatan asal tidak membocorkan perjanjian yang telah dibuat.

Sampailah suatu saat dia berbicara kepada saya dan ingin membatalkan perjanjian itu.

Saya mengatakan tidak mungkinlah. Biarlah dia tinggal di sana. Toh, kita tetap bisa menganggap itu anak sendiri di hati. Setiap saat bisa bertemu dan dapat diajak jalan-jalan.

Kakak ipar bilang, “Perjanjian tidak bisa dibatalkan.

Disitulah Mo, dia tidak sependapat. Ia ingin mengatakan kepada anaknya bahwa sebenarnya dia adalah puterinya. Dan dialah ibu kandung aslinya.

Dia bersikeukeuh untuk mengambil puterinya itu kembali. Ia pun sudah berbicara dengan kakaknya. Yang terjadi adalah ribut besar. Mereka sama-sama mencintai. Sama-sama merasa sebagai anaknya sendiri.

Kedua mertua sudah meninggal.

Ia sudah berencana untuk membawa kasus ini ke ranah pengadilan. Ia sudah mencari informasi siapa yang dapat mendukung keinginan dia.

Untungnya, isteri saya terbuka. Segala sesuatu yang dia rasa, pikirkan selalu diberitahukan kepada saya.

Tentu saja, saya tidak setuju Romo. Puteri itu sudah menjadi sambungan nyawa kakak ipar.

“Minta nasihat Mo, bagaimana meredakan emosi isteri saya Mo?”

“Syering parents aja,” kataku spontan.

Yesaya mencatat, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” ay 15.

Tuhan, ajari aku berbahagia bila melihat orang  lain bergembira. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here