Ibu Sekaligus Ayah Untukku  

2
1,604 views
Ilustrasi: Ibu dan Anak by Romo Suhud SX.

BELA berstatus seorang pelajar, mahasiswi di salah satu Universitas di Kota Malang, Jawa Timur. Latar belakang kehidupan keluarga Bela sangat sederhana dan kebutuhan makan-minum serba cukup dan terbatas.

Prinsip baginya, biar miskin dalam materi tetapi kaya dalam cinta kasih. Ayahnya sudah meninggal dunia dipanggil Tuhan sejak Bela berumur dua tahun karena terkena serangan jantung.

Menggugat Tuhan

Semenjak kepergian ayahnya, Bela sempat menggugat pertanyaan yang kiranya sangat kontradiktif.

  • Mengapa Tuhan memanggil ayahku dengan secepat itu?
  • Apakah ayahku telah menjalani peziarahan hidup fana ini dengan baik?
  • Mengapa orang baik cepat di panggil Tuhan dibandingkan dengan orang jahat?
  • Apakah mungkin Tuhan menganggap orang baik itu telah menjalani ziarah kehidupannya dengan baik?

Sehingga lebih baik, ia segera dipanggil dalam Kerajaan-Nya, sedangkan orang yang kurang baik masih diberinya kesempatan lebih banyak untuk memperbaiki hidupnya.

Setelah ayahnya meninggal, Bela di bawah asuhan ibunya. Ibu sekaligus ayah untuk Bela.

Pekerjaan ibunya bekerja sebagai pelayan restoran di suatu kota yang kebetulan letaknya tidak jauh dari desanya. Demi menunjang segala kebutuhan keluarga, ibunya bekerja keras tanpa memikirkan kesehatannya.

Malam hari, selalu menyisihkan waktu untuk membuat nasi bungkus untuk dijual di kios-kios, demi sedikit menambah penghasilan. Apalagi anak kesayangannya Bela masih kuliah. Ia tidak mau Bela dropout karena kurang biaya perkuliahan.

Itulah narasi pendek yang masih melekat di ingatan Bela. Setiap kali Bela terhimpit oleh cobaan ia selalu memikirkan ibunya. Di satu sisi, ia berkemauan kuat ingin menjadi sarjana. Tetapi di sisi lain, ia selalu memikirkan keadaan ibunya.

Bagaimana ibunya sungguh-sungguh bekerja keras untuknya, meskipun tidak mempedulikan dirinya adalah seorang perempuan yang lemah.

Dipandang rendah

Tentang pengalaman masa silamnya ketika orang-orang memandang rendah dan kotor tentang keluarganya. Dinodai dengan kata-kata yang pedas, bahkan disirami dengan caci maki yang membakar di hati.

Bela teringat “mulut singa” dari orang-orang yang berkata, “Bagaimana mungkin seorang ibu miskin, bisa membiayai perkuliahan anaknya?”

Hidup dan kebutuhan sehari-hari sangat susah, makan nasi dingin dicampur garam, labu dijadikan daging istimewa, daun singkong menjadi sayur rahmat; apalagi atap rumahnya sedikit lagi akan roboh.

Yang lebih tersakiti lagi, ketika Bela membayangkan kembali ungkapan sambal itu, bagaikan jiwa tertusuk pedang. Hampir ia menyerah dan ingin putus perkuliahannya demi bekerja untuk membantu ibunya.

Ia selalu ingat pesan Injil yang mengusik pikirannya, membuatnya ingin berlari dari dunia ini, “Lebih baik seekor unta masuk lubang jarum, dari pada orang sepertiku masuk universitas” (bdk. Mat 20: 24).

Pernyataan ini selalu dibayangkan Bela hingga membuat dirinya kehilangan self-confidence (percaya diri).

Menjadi berkat

Di aspek lain Bela menjadi tanda berkat bagi sesama. Berkat ketika mampu mengekspresikan talentanya dalam berbagai jenis keterampilan.

Keterampilan dalam bidang menyanyi dan menari. Dan bahkan di kelasnya ia menjadi anak yang cerdas, tekun berdoa, bertindak sopan dan juga banyak disukai oleh teman-temanya, karena ia sering dijuluki oleh teman-temanya sebagai “malaikat penghibur”.

Tiada hari ia lewatkan untuk bersembah sujud dan mengandalkan hari-harinya bersama Tuhan dan Bunda Maria.

Setiap momen yang telah ditentukanya, ia menimba kekuatan spiritual (rohani) dengan mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari minggu, juga dipercayakan oleh Pastor Paroki sebagai kordinator kor bersama umat dan mengajar anak-anak untuk menari.

Semua umat dan Romo Paroki selalu mengamini kehebatannya dengan suara yang merdu menyanyikan mazmur, sehingga membawa umat dalam suasana yang penuh kedalaman rasa.

Kemajuan identitasnya sebagai pelatih menjadi buah bagi Gereja, berkat kerja keras dan ketekunan Bela membawakan kelompok kornya kaya dalam iman dan mantap dalam cinta kasih.

Ia selalu merasa kesal dan gelisah, ketika momen Ekaristi dan karya-karya amal kasih lainnya kadang terpaksa dia lewatkan. Menurutnya, Ekaristi dan karya amal kasih merupakan lahirnya cinta kasih dan kebaikan. Bahkan Bela mempercayainya segala sesuatu yang ia lakukan bersumber pada kekuatan Kristus yang selalu menyertainya.

Berubah sikap

Namun entah apa yang merasuki hidupnya, tiba-tiba saja Bela berubah sikap. Sikap yang awalnya dijuluki sebagai anak yang hebat, penghibur, rajin ke Gereja, aktif dalam kegiatan amal kasih. Kini terkulai di dalam sangkar kecemasan.

Ia berubah sikap menjadi anak yang pendiam, aneka jenis tunas keraguan dalam dirinya dan bahkan ia menggugat eksistensi Tuhan:

  • Tuhan apa yang Engkau inginkan dariku?
  • Bagaimana mungkin hal itu terjadi, ibuku saat ini sakit terinfeksi Covid-19 tak ada siapa-siapa yang membantu dan merawat ibuku? Ayahku telah Engkau panggil (seperti kisah keraguan Bunda Maria dalam Luk 1:34).

Bela tidak punya saudara-saudara kandung, karena ia anak tunggal. Ia hanya berharap pada kenyataan, masih ada harapan di dalam keraguan.

Setelah kabar tentang ibunya terinfeksi Covid-19, Bela mulai berpikir meragukan tentang Tuhan dan ke-Mahakuasaan-Nya.

  • Apakah Tuhan sungguh-sungguh ada di dalam dunia yang nyata?
  • Bukankah aku telah memberikan yang terbaik untuk Tuhan?
  • Masihkah Tuhan egois membiarkan ujiannya untuk keluarga sederhanaku, mengapa bukan orang lain yang punya segalanya.

Di tengah situasi pahit yang memenjarakan hidupnya, Bela percaya bahwa mendung tak selamanya hujan, malam tak selamanya gelap pasti ada bintang. Apalagi ia selalu dikuatkan oleh kata-kata ibunya”

“Nak kamu harus rajin belajar, itu adalah tugasmu yang paling utama dan juga jangan lupa berdoa. Kamu tidak boleh cepat menyerah seperti pasir ketika terjadi abrasi, kamu harus tetap kuat, karena setiap pencobaan adalah kesempatan untuk bangkit dan memulainya dengan hal yang baru. Kamu harus menjadi sarjana yang berlaku benar dan bertindak sopan.”

Sebab di era aneh ini, pendidikan tidak hanya untuk mencerdaskan semua orang.

Akan tetapi, pendidikan adalah bisnis. Alat penghasil uang. Pendidikan hanya bisa diterima oleh mereka yang kaya meski bodoh, yang kaya dan pintar, atau sedikit bagian untuk yang pintar, tapi miskin.

Sementara, orang-orang bodoh yang miskin tidak akan pernah mendapatkan pendidikan yang layak.

Pesannya singkat tetapi mendalam, kata-katanya sederhana tetapi menyentuh.

Mendobrak ungkapan kasih itu, tepat apa yang dikatakan oleh Raden Ajeng Kartini bahwa “Habis gelap, terbitlah terang”.

Teladan Bunda Maria

Sama halnya kisah Bunda Maria ketika Malaikat Gabriel menyampaikan salam istimewa kepadanya bahwa ia dikandung dari Roh Kudus.

Bunda Maria mengalami kegelapan hidup yang total. Akal dan hatinya sedikit dicemari keraguan.

Mengapa?

Karena hal itu menjadi mungkin bagi Maria. Menarik pertanyaan filosofis Maria “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”

Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (lih. Luk 1:35-35).

Bunda Maria memiliki kekuatan hati untuk menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya. Keraguan Maria ketika banyak orang Yahudi sezamannya menilai tentang kehamilan dari Roh Kudus.

Maria cemas memikirkan tentang perasaan Yusuf. Akan tetapi Maria tidak menaruh benci dan dendam bagi orang-orang yang telah melukai hatinya.

Mungkinkah kebencian tak akan berakhir apabila di balas dengan kebencian. Kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Seperti perasaan Maria: “Ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.” (Lih. Luk 2:51).

Bagaikan cermin

Dari sekian komentar-komentar pedas yang bagi Bela sangat tertusuk, namun ia selalu ingat bahwa “sesama merupakan cermin bagi diri kita”.

Karena cermin tidak pernah memanipulasi suatu kenyataan.

Cermin menampilkan apa adanya. Dengan perbandingan sederhana ini, kecemasan dan keraguannya berangsur menghilang.

Spontan terlintas dalam benaknya falsafah hidup Sokrates, “Hidup selalu harus digugat, dipertanyakan, hidup yang tidak direfleksi tidak pantas dihidupi.”

Sungguh suatu motto yang mampu mengusir kecemasan dan keraguan yang semula tak bertepi.

Kubulatkan tekatku tanpa menghiraukan komentar buruk yang masuk. Apalagi ibuku telah disembuhkan dari Covid-19 berkat pertolongan orang-orang di sekitarnya.

Mungkinkah itu Tuhan yang nyata?

Meskipun Tuhan bekerja lewat rupa dan berbagai cara. Sungguh Tuhan itu ada di balik misteri yang tak terpecahkan oleh akal budi manusia.

Di luar dugaanku, aku ternyata mendapat peringkat tertinggi di kelas dan dibarengi beasiswa yang kiranya cukup membiayai perkuliahanku sampai akhir.

Dipeluk dengan siraman kasih kehadiran teman-teman separoki untuk mengunjungi dan menghiburku.

Ternyata tepat janji Tuhan: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaraanya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Lih. Mat 6:33).

Terwujudlah sudah impianku. Impian yang sempat mengundang pertanyaan yang bukan-bukan tentang kepribadianku.

Saya teringat, pesan spiritual St. Paulus yang selalu menguatkanku untuk tidak mudah pesimis dengan kemampuan yang terbatas;

“Aku bersyukur karena kelemahanku. Dengan demikian Tuhan yang akan menguatkanku. Tuhan akan menggunakan kelemahanku untuk menunjukkan kekuatan-Nya.” (2 Kor 12:10).

Jadi, dalam kegelapan ada terang, dalam suasana pesimis ada alasan nyata untuk berharap.

Menepis keraguan

Ungkapan itulah yang bisa menyakinkan Bela untuk bisa mendobrak keraguan serta kecemasan dan segala pandangan awalnya itu hilang seketika: tatkala Bela merasakan secara langsung kehidupan sebagai seorang pelajar.

Menjadi seorang mahasiswi ternyata tidak serumit dan semudah yang dibayangkan, bahkan ternyata mengasyikan juga.

Di universitas aku dididik, dibina, menjadi lebih manusiawi dan dilatih untuk berpenampilan lokal, tetapi berpikir global.

Di universitas, bagiku adalah jalan yang harus dilalui untuk mengalami rasa dan menggapai impian.

Mungkinkah fides dan ratio harus kuimbangi.

Di universitas aku belajar mengolah budi di Gereja saya belajar mengasah hati. Menanamkan prinsip ora et labora, belajar dan bersikap disertai dengan pemikiran rasional dengan hati yang penuh iman.

Berpikir secara kritis, bertindak dengan penuh bijak, menyadari akan talenta yang kumiliki, melayani dan belajar mencintai semua orang tanpa ada rasa memilih, karena aku tahu menjadi seorang manusia berpendidikan dan beriman tidak berbuat sesuka hati. Tahu jaga dan menempatkan diri.

Sebab kata kakekku, “Jaga harga dirimu jangan sampai kau tak punya harga diri demi cinta, dihargai bukan berarti dirupiahkan.”

Hidup adalah dua sisi antara kebaikan dan keburukan. Aku selalu siap menghadapinya apa pun persoalannya; seperti kata Maria “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38).

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here