Ikhlas

0
342 views
Ilustrasi - Hidup bahagia tanpa dendam. (Ist)

Renungan Harian
Senin, 13 Juni 2022
PW. St. Antonius dari Padua
Bacaan I: 1Raj. 21: 1-16
Injil: Mat. 5: 38-42
 
SUATU sore saya kedatangan tamu seorang teman. Kedatangannya sungguh-sungguh menjadi kejutan bagi saya, karena saya sama sekali tidak menduga akan dikunjungi teman saya itu.

Teman saya itu sudah lama sakit sehingga tidak memungkinkan untuk bepergian cukup jauh. Dia hanya tinggal di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tiduran.

Maka saat berjumpa sungguh menjadi perjumpaan yang menggembirakan, karena dia terlihat sungguh sehat dan segar.
 
“Wah, luar biasa, aku senang melihat kamu segar dan sehat. Jujur aku tidak menyangka bahwa kamu bisa sampai di sini. Kamu akhirnya berobat ke mana?” tanya saya sebagai sapaan.

“Aku tidak berobat ke mana-mana, dan obat dari penyakitku yang sudah bertahun-tahun itu adalah ikhlas,” jawabnya.

Dia menangkap kebingunganku dengan jawabannya maka dia melanjutkan:

“Wan, sesungguhnya apa yang menyebabkan aku sakit begitu lama dan seperti kamu tahu sudah banyak dokter yang membantu dan tidak sembuh adalah dendam.

Kamu tahu betapa aku benci dan dendam dengan sahabatku yang menjadi rekan bisnisku.

Aku pernah cerita bahwa dia mengkhianati aku dan membawa lari uang yang amat banyak dari bisnis berdua.
 
Benar Wan, aku selalu bilang ke kamu dan ke semua orang bahwa aku sudah mengikhlaskan apa yang dia bawa. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak pernah mendendam dan aku sudah mengampuni tetapi sesungguhnya tidak.

Aku selalu berpikir bagaimana saya membalas dia, aku selalu berdoa bahkan agar dia celaka biar dia tahu rasa.

Setiap hari, setiap saat aku selalu dihantui dengan pikiran untuk balas dendam sementara di depan semua orang aku mengatakan bahwa aku tidak dendam.

Semua itu berakibat rusaknya kesehatanku.
 
Puji Tuhan aku disadarkan bahwa aku harus sungguh-sungguh mengampuni dan mengikhlaskan semua. Suatu saat aku sudah putus asa dengan semua ini, dan aku berpikir lebih baik aku mati. Aku merasa sudah tidak berdaya untuk melampiaskan dendamku dan dengan kondisiku merepotkan dan membebani keluargaku.

Saat aku berpikir kematian, ada hal yang mengganjal yaitu dendam itu. Aku berpikir bahwa aku akan mati dengan tidak damai.

Aku ingin mati dengan damai. Saat itu aku sadar bahwa kalau aku mati harta dan semuanya sudah tidak berguna lagi, maka aku pikir sudah saatnya aku melepaskan sungguh-sungguh.
 
Wan, disaat seperti itu aku berdoa dan hanya satu doaku aku mengatakan pada Tuhan bahwa aku sudah merelakan semua itu dan aku sudah mengampuni dia. Aku sekarang sudah siap untuk dipanggil.

Tapi anehnya justru malam itu aku bisa tidur nyenyak yang selama ini tidak pernah kualami sehingga pagi hari aku bangun rasanya lebih ringan dan segar.

Sejak saat itu berangsur-angsur aku menjadi sehat. Aneh ya Wan, disaat aku rela untuk mati tetapi justru diberi hidup. Aku jadi sadar bahwa apa yang membuat aku sehat adalah ikhlas.

Dendam hanya menghasilkan penyakit, mungkin kalau aku bisa membalas, dia pasti akan membalas juga nanti anak-anakku dan anak-anaknya saling membalas dendam.

Memang ikhlas butuh perjuangan panjang harus mengalami sakit yang luar biasa tetapi hasilnya membuat aku menjadi lebih hidup.”
 
Kisah teman saya menyadarkan saya  bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan hanya akan merusak diri sendiri dan orang lain tetapi membalas kejahatan dengan kasih memberi hidup yang lebih baik.

Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Tetapi Aku berkata kepadamu: “Janganlah kalian melawan orang yang berbuat jahat kepadamu. Sebaliknya bila orang menampar pipi kananmu, berilah pipi kirimu.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here