INJIL bagi hari Minggu Biasa XXV tahun B kali ini (Mrk 9:30-37) memuat pernyataan Yesus yang kedua kalinya kepada murid-muridnya mengenai kesengsaraan, salib, serta kebangkitannya. Sesudah itu, ia juga memberi pengajaran agar dalam mengikutinya para murid tidak berpamrih bakal mendapat kedudukan. Sebelum mendalami pengajaran ini, marilah ditengok sejenak maksud serta makna pemberitahuan mengenai sengsara tadi bagi komunitas para murid waktu itu.
PERNYATAAN TENTANG KESENGSARAANNYA
Walaupun diakui sebagai Mesias oleh orang-orang yang paling dekat dengannya, Yesus sendiri menyebut diri sebagai “Anak Manusia”. Ia bahkan menegaskan bahwa dirinya akan ditolak, disalibkan, tetapi akan dibangkitkan. (Lihat ulasan Injil Minggu lalu, Mrk 8:27-35). Pernyataan ini muncul sampai tiga kali dalam Injil Markus, Matius dan Lukas. Yang pertama, Mrk 8:31-33//Mat 16:21-23//Luk 9:22, yang kedua Mrk 9:30-32//Mat 17:22//Luk 9:43b-45 dan yang ketiga, Mrk 10:32-34//Mat 20:17-19//Luk 18:31-34. Pernyataan pertama diikuti pengajaran khusus bagi siapa saja yang mau mengikutinya, yakni agar mereka sedia “menyerahkan nyawa”, maksudnya berdedikasi penuh Mrk 8:34-38//Mat 16:24-28//Luk 9:23-27. Pernyataan yang kedua dilanjutkan dengan pengajaran untuk tidak mencari kedudukan tinggi, melainkan bersikap seperti anak kecil Mrk 9:34-37//Mat 18:1-5//Luk 9:46-48. Pernyataan ketiga ditegaskan dengan pengajaran mengenai kesediaan melayani satu sama lain Mrk 10:35-45 Mat 20:20-28 (Lukas tidak menyertakan padanannya). Dari ikhtisar ini kelihatan bahwa arah ke salib dan kebangkitan itu memang sulit dipahami, bahkan oleh murid-murid terdekat yang sudah lama mengikutinya sekalipun. Jalan untuk memahami kenyataan salib dan kebangkitan itu ialah kesediaan untuk menerima tanpa mementingkan diri ataupun mencari kedudukan yang tinggi. Inilah yang diberikan dalam pengajaran yang mengikuti setiap pernyataan tadi.
Semakin dekat ke Yerusalem, Yesus semakin berusaha agar para murid terdekatnya memahami arah ke salib dan kebangkitan tadi dengan ikhlas. Murid-murid sulit memahami mengapa ia perlu mengalami penderitaan hingga kematian di salib. Mengapa Yang Maha Kuasa tidak menyertainya dengan bala tentara surga dan dunia untuk membangun kejayaan umat di hadapan para penentang-penentangnya. Pertanyaan seperti ini ada dalam lubuk hati mereka. Juga dalam hati kecil kita. Mengapa perlu sampai sejauh itu. Mengapa dia, dan juga kita, seolah-olah dibiarkan sendirian di hadapan kekuatan-kekuatan yang kini semakin mengancam kita.
MENGHADAPI KEKUATAN JAHAT DENGAN SALIB
Kekuatan jahat perlu ditekuni dengan salib, seperti yang dilakukan Yesus. Baru dengan demikian daya gelap akan dapat dikuasai dan diubah menjadi kekuatan terang. Namun demikian, perlu disadari bahwa salib tidak identik dengan apa saja yang dirasa sebagai penderitaan. Ada banyak kesusahan yang bukan salib dan mestinya bisa dihindari dan diatasi dengan kebijaksanaan hidup dan ikhtiar. Pelbagai ketimpangan ekonomi dan ketakadilan di masyarakat bukan salib, melainkan musibah sosial yang mesti ditangani dengan serius. Menyebutnya sebagai salib tidak membawa manfaat apapun kecuali menutup mata pada kenyataan. Dan mengurangi makna salib yang sesungguhnya. Yang perlu diterima sebagai salib ialah yang dihadapi oleh Yesus sendiri, yakni penolakan manusia terhadap kebaikan ilahi. Inilah realitas yang jahat yang hanya dapat dihadapi dengan salib.
Penderitaan serta kematian Yesus itu akan berakhir dengan kebangkitan. Unsur yang paling membedakan salib dengan penderitaan biasa ialah ada tidaknya kaitan dengan kebangkitan. Bahkan salib dan kebangkitan ialah satu realitas dengan dua muka yang tak dapat saling dipisahkan. Bila tidak ada kebangkitan, maka tak dapat dikatakan penderitaannya mengalahkan yang jahat. Juga tidak dapat ditegaskan bahwa ada kebangkitan tanpa salib. Seperti dalam peristiwa pemberitahuan pertama, para murid juga kurang menangkap maksud pemberitahuan kedua.
SIAPAKAH YANG TERBESAR?
Adegan beralih dari sebuah tempat di Galilea yang namanya tidak disebut ke sebuah rumah di Kapernaum, juga di wilayah Galilea. Di rumah inilah Yesus menanyai para murid tentang apa yang mereka bicarakan di perjalanan. Mereka diam tak berani menjawab, karena mereka tadi bertengkar mengenai siapa di antara mereka yang terbesar. Mereka cukup tahu, tidak sepatutnyalah mereka berpikir demikian. Tetapi Yesus tidak memarahi, melainkan mengajak mereka untuk mengenal diri dengan lebih baik. Mereka kini bukan lagi orang luar dan pengikut baru. Mereka telah berjalan bersama dia dari tempat ke tempat, sudah melihat yang diperbuatnya bagi orang banyak dan ikut serta melayani mereka. Murid-murid ini ialah Yang Duabelas, kalangan paling dekat dengannya sendiri. Mereka inti umat yang baru yang akan memperkenalkan Yang Ilahi kepada segala bangsa. Inilah orang-orang yang memang mempunyai niat mengikuti Yesus. Kok malah kini memperebutkan kedudukan siapa yang lebih penting. Memang mereka masih butuh belajar membuat diri searah dengan dia yang mereka ikuti.
Yesus pun memberi mereka pengajaran khusus mengenai apa itu menjadi yang pertama. Ia tahu tiap orang mempunyai hasrat menjadi orang penting. Orang yang tidak memiliki dorongan ke arah itu juga sulit menemukan makna hidup. Tetapi yang membuat penting ada bermacam-macam. Dan tidak selalu benar dan cocok dengan pilihan hidup yang sudah mulai ditempuh. Inilah keadaan para murid waktu itu. Kini sang Guru membantu mereka untuk semakin menemukan diri.
Diajarkan bahwa yang ingin menjadi yang pertama, hendaklah menjadi yang berdiri paling belakang dan melayani semuanya. Jelas hendak ditunjukkannya bahwa mementingkan orang lain bakal membuat pengikut Yesus menjadi besar. Dia sendiri menjalankannya. Perjalanannya ke salib dan kebangkitan itu sebuah ziarah yang bakal menyelamatkan umat manusia dari kungkungan kuasa yang jahat yang tak dapat dipecahkan kecuali dengan pengorbanan dan keikhlasan untuk itu.
Para murid diajar untuk menerima anak kecil, artinya menerimanya sebagai yang penting meski ia tak dapat menonjolkan diri pernah berbuat banyak dan berjasa, dst. Ia diterima bukan karena yang diperbuatnya melainkan karena berharga tanpa jasa sendiri. Itulah spiritualitas yang sepantasnya berkembang dalam diri para murid dalam mengikuti guru mereka.
SEBUAH PERBANDINGAN
Ada manfaatnya bila hal di atas dipahami bersama dengan pengajaran yang diberikan setelah pemberitahuan kesengsaraan yang pertama dan yang ketiga. Titik berat dalam pengajaran yang disampaikan setelah pemberitahuan sengsara yang pertama ialah kesediaan berdedikasi utuh dalam mengikuti Yesus (Mrk 8:34-38). Injil mengungkapkannya dengan “merelakan nyawa”. Tetapi yang ditekankan bukan sisi pengorbanan melulu, melainkan sisi keuntungannya. Dikatakan, siapa yang kehilangan nyawanya “karena aku dan karena Injil” malah akan mendapatkan keselamatan bagi dirinya (Mrk 8:35). Jadi tekanan bukan pada kemartiran atau berani mati demi agama dan iman. Tafsiran ke arah itu kurang membantu dan malah bisa disebut meleset. Yang dituju ialah keberanian untuk menanggalkan serta meninggalkan pikiran-pikiran sendiri mengenai apa itu mengikut Yesus dan membiarkan diri dituntun olehnya dan dengan demikian dapat mengalami sendiri apa itu berjalan bersama dia. Jadi “kehilangan nyawa” di situ ialah membuka diri untuk menerima kekayaan batin yang sejati. Spiritualitas ini memberi arti pada “menyangkal diri dan memikul salib dan mengikuti dia” yang dikatakan sebelumnya (ay. 34). Bukan memikul salib apa saja, melainkan ikut ambil bagian dalam meringankan salib yang dipanggul Yesus. Itulah salib yang bermuara pada kebangkitan.
Nanti sesudah pemberitahuan kesengsaraan yang ketiga kalinya, diceritakan bagaimana Yakobus dan Yohanes meminta Yesus agar mereka dapat duduk di kanan dan kirinya dalam kemuliaannya kelak. Yesus menanyai mereka apa mereka bersedia minum dari cawan yang diminumnya dan dibaptis dengan baptisan yang diterimanya. Maksudnya, menjadi senasib sepenanggungan. Mereka menyatakan sanggup. Sekalipun demikian, Yesus menukas, ia tak berhak memberikan kedudukan yang mereka inginkan itu karena hanya diberikan kepada yang pantas menerimanya, siapa pun orang itu (Mrk 10:35-40). Kemudian Yesus menambahkan, siapa ingin menjadi besar hendaknya menjadi orang yang mau melayani, yang mau menjadi yang pertama hendaknya ada di bawah, sebagai hamba, seperti ia sendiri (Mrk 10:43-45).
Dari ketiga pengajaran tadi dapat dilihat apa artinya mengikuti Yesus. Pertama-tama, tentu bukan meniru-niru dia, melainkan membiarkan diri dibentuk olehnya sendiri. Kedua, alih-alih beragenda mau jadi orang besar, ada ajakan bersedia datang kepadanya tanpa apa-apa yang dapat diperhitungkan sebagai jasa yang patut mendapat ganjaran. Akhirnya, mengikuti dia itu berarti membiarkan diri dituntun oleh Yang Maha Kuasa sendiri ke tempat dan kedudukan yang sudah disediakan oleh-Nya. Memang kini belum dapat diduga macamnya namun Bapa yang Maha Baik tentunya akan memberikan yang terbaik Inilah iman yang ditumbuhkan Yesus dalam diri murid-muridnya.
Salam hangat,
A. Gianto